Mahasiswa FK UII Raih Juara 3 Nasional Poster Publik SCORE CIMSA
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) kembali mengharumkan almamater. Kali ini mahasiswa angkatan 2020 yaitu Muhammad Rafi Falah, Fajrian Haikal Faros, dan Tsaniya Ahda Indrayani mengukir prestasi sebagai juara 3 dalam acara Poster Public Competition yang diadakan oleh Standing Committee on Medical Education Center for Indonesian Medical Students Activities (SCOME CIMSA) Nasional 2021. Tema lomba tersebut adalah mengenai persebaran dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia. Kompetisi berlangsung secara daring dari 15 Februari – 3 Maret 2021 dengan diikuti mahasiswa dari rumpun kesehatan di seluruh Indonesia.
“Kami mengambil keputusan untuk memilih subtema mengenai “Multidiscipline Strategies To Tackle The Maldistribution Of Doctors Toimprove Equal Quality Of Healthcare” karena melihat fakta jumlah dokter di Indonesia sebagai care provider dalam persebaran nya masih belum merata. Indonesia juga belum mememenuhi standar yang sudah ditentukan dari WHO mengenai pelayanan dokter kepada masyarakat. Sehingga kami ingin menemukan solusi atas permasalahan tersebut yang bisa bermanfaat untuk masyarakat luas,” papar Tsaniya Ahda Indrayani.
Poster dengan judul “Katakan Keren untuk Maldistribusi Dokter di Indonesia” menjelaskan bahwa jumlah keseluruhan dokter di Indonesia saat ini adalah 81.011, artinya 1 dokter harus melayani 3.332 pendudukan. Kota Jogjakarta sendiri dengan jumlah penduduk mencapai 3.680.000 hanya memiliki 2414 dokter yang perbandingannya adalah 1: 1500. World Health Organization (WHO) menerapkan standar idealnya pelayanan dokter adalah 1:1000 dibanding penduduk. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menjelaskan jika persebaran dokter belum merata terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
Jumlah dokter di Pulau Jawa mencapai 46.225 sangat timpang dengan jumlah dokter yang ada di Pulau Papua yang hanya berjumlah 1.112. Hal tersebut terjadi karena berbagai faktor seperti kondisi sosial ekonomi yang kurang terutama di daerah pedalaman yang membuat dokter enggan untuk mengabdi disana. Selain itu juga kurangnya fasilitas memadai mulai dari fasilitas kesehatan itu sendiri dan juga fasilitas umum. “Kami tentu sangat prihatin, karena bagaimanapun dokter bukanlah sekadar pekerjaan namun juga panggilan jiwa. Bukan masyarakat yang mendekati kita, tapi harusnya kitalah yang mendatangi mereka,” jelas Fajrian Haikal Faros.
Melalui poster ini kami mencoba memberikan solusi untuk masalah diatas dengan mengembangkan kebijakan penempatan dokter terutama dokter internship yang difokuskan di daerah 3T. Selain itu stigma buruk mengenai daerah 3T juga harus dihilangkan. Daerah 3T justru merupakan tempat yang harus kita semua rangkul, agar masyarakat tidak merasa dikucilkan. Standarisasi dokter dan pengiriman tim professional dokter yang terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dan perawat agar dapat mengatasi masalah kesehatan masyarakat.
“Mungkin yang paling sulit adalah rasa tulus dalam menjadi dokter. Bayangan tentang menjadi dokter dengan fasilitas nyaman serta gaji yang besar akan berbanding terbalik saat kita mengabdi pada daerah 3T. Namun, kita harus mengingat kembali niat kita saat kuliah kedokteran. Dalam hadits disebutkan jika sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat. Lewat profesi ini kita membantu orang lain barangkali hanya bantuan kecil. Tapi, betapa banyak kebaikan lain yang akan lahir lewat tubuh yang sehat,” tutup Muhammad Rafi Falah. (UAH/RS)