Membangun Rumah Perdamaian Antar Umat Beragama
Indonesia menjadi salah satu negara yang cukup erat dengan pluralisme. Mulai dari suku, budaya, bahasa, hingga agama dan kepercayaan. Toleransi sudah seyogyanya menjadi atribut sehari-hari bagi bangsa ini untuk dapat damai hidup berdampingan. Namun faktanya, diskriminasi dan intoleransi masih mewarnai berbagai sektor kehidupan kita.
Dalam survei The Wahid Institute pada 1520 responden, menunjukkan bahwa 59,9% responden memiliki kelompok minoritas agama yang dibenci. 92,2% diantaranya tidak setuju jika kelompok tersebut harus hidup di wilayah mereka secara berdampingan. Survei lain dari Setara Institute 2018 menunjukkan, terdapat gangguan yang menimpa kelompok minoritas agama di Indonesia. 13 diantaranya dirasakan oleh gereja kristen, 2 kali dirasakan oleh pura, dan 1 kali dirasakan oleh klenteng.
Feby Lestari Supriyono, S.S., M.IP., Presidium Gema Pakti Provinsi Jawa Tengah – Pustakawan UNSOED menyatakan, kami (Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan YME) sudah dijajah, didiskriminasi oleh negara sendiri selama 71 tahun lamanya. Hal ini disampaikan dalam Seminar Agamawan Muda dan Masa Depan Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana FIAI UII pada Jumat (26/02).
Sejak keluarnya putusan MK No 97/PUU0XIV/2016, menurutnya penghayat kepercayaan mulai merasakan angin segar karena akhirnya mendapatkan pengakuan oleh negara dan dapat dicatatkan secara administrasi. Namun sayang, banyak aparat yang belum paham regulasi penghayat, akhirnya saat pelayanan tidak maksimal dan masih mendiskriminasi.
Romo Peter Bruno Sarbini, SVD., M.Ag., dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang mngatakan penggunaan terminologi mayoritas dan minoritas sering menjadi pemicu terjadinya gesekan dan ketidakharmonisan relasi antar umat beragama. Sungguh dikhawatirkan akan menimbulkan nasionalisme religius dan nasionalisme etis dan lebih jauh mengarah ke disintegrasi.
Sementara Dr. Mohamad Ali, M.Pd., Kaprodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta mengemukakan permasalahan kaum minoritas berakar dari praktik pendidikan agama yang kurang tepat. Pendiri bangsa sudah memilih pola konvensional dalam menangani masalah agama. Praktik pendidikan agama yang berjalan sekarang masih cenderung tekstual, normatif, eksklusif dengan menganggap hanya dia yang benar, muatan ibadah yang terlalu banyak/dominan, dan bersifat deduktif”.
“Pola ini membuat lulusannya mengarah pada kesalehan ritual tetapi memiliki kesalehan sosial politik yang keropos. Saya mengusulkan praktik pendidikan agama perlu dikembangkan ke arah kontekstual, inklusif, dan induktif, sehingga lebih menghargai kekayaan tradisi keagamaan,” ungkapnya.
Perpecahan bangsa yang mengatasnamakan agama memang terbukti masih kerap terjadi. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” seolah tidak berlaku dalam konteks perbedaan agama. Indonesia merupakan negara kebangsaan yang berketuhanan, bukan negara agama yang memperlakukan hukum agama tertentu. Saat ini banyak dijumpai kalangan agamawan muda yang punya semangat keagamaan yang sangat tinggi namun pengetahuannya terhadap agama sendiri maupun agama orang lain sangat terbatas, bahkan dangkal.
Sikap berlebihan dalam beragama sering mengesampingkan keberadaan kelompok lain yang berbeda, terkadang malah mengecilkan minoritas. Menurut Romo Peter penting untuk mengenalkan pendidikan kebhinekaan baik formal maupun informal, jika tidak maka intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan atas nama radikalisme itu saling bergayut karena mengikis rasa kebangsaan dan kebersamaan dan mengancam kerukunan masyarakat majemuk.
Sejatinya, semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Mungkin caranya saja yang harus berbeda, namun tujuannya tetap satu yaitu ilahi. Disampaikan Ir. Ahmad Saipudin Mutaqi, M.T., Jemaat Ahmadiyah Indonesia, perdamaian bisa didatangkan dari pribadi yang damai, pribadi yang sudah ikhlas dan selesai dengan dirinya sendiri, barulah ia menularkan ke orang lain. (VTR/RS)