Berani Berkata di Tengah Isu Keadilan Gender
Speak Up menjadi suatu hal yang sulit dilakukan oleh hampir semua orang terutama kaum hawa. Hal itu yang dikatakan Kalis Mardiasih, seorang penulis opini yang sudah menciptakan beberapa karya, di antaranya buku Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar! dan Muslimah yang dibahas dalam acara Pesona Ta’aruf Universitas Islam Indonesia (PESTA UII) tahun 2020. Agenda yang dimoderatori oleh Fadillah Adkiras, S.H., selaku Pendiri dan Ketua Umum Komunitas Gender Srikandi UII 2019-2020 ini dilaksanakan pada Jumat (11/9) secara daring.
Menurut Fadillah, mahasiswa harus dibebankan untuk memiliki sikap yang kritis dan analitik terhadap semua hal termasuk keadilan gender. Sebab keadilan gender tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat dan menjadi hal penting di kehidupan kampus. “Sejatinya kampus melahirkan pandangan-pandangan dan kebijaksanaan dalam jalan pemikiran. Salah satu kebijaksanaan dalam berpikir yang harus dibebankan kepada mahasiswa adalah keadilan gender yang merupaka isu sosial, HAM, dan landasan negara kita negara hukum,” jelasnya.
Sementara itu, sang pemateri menyampaikan bahwa setiap orang memiliki keinginan untuk menggapai sesuatu atau melakukan hal tertentu. Namun, sayangnya masih ada penghalang bagi seseorang untuk bergerak hanya karena gender. Padahal tercatat jelas dalam QS. Al Hujurat: 13 bahwa orang yang paling mulia adalah yang taat kepada Allah. Selain itu di QS. Al-Baqarah: 30-33 bahwa Allah menjadikan setiap orang sebagai khalifah bumi dengan melakukan hal-hal baik.
“Jadi kalau ada perempuan jadi aktivis, arsitek, supir, itu sebenarnya tidak masalah. Karena kita semua sama di hadapan Allah yang beda hanya ketakwaannya. Namun sayangnya di lingkungan kita laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman sosial yang berbeda. Perempuan itu rentan mengalami marjinalisasi atau peminggiran perempuan, stigmatisasi atau pelabelan buruk, subordinasi atau dipandang rendah, beban ganda, dan juga kekerasan,” ujarnya.
Lebih jauh, Kalis menyampaikan bahwa jenis kekerasan bermacam-macam, di antaranya kekerasan verbal, ekonomi, dan psikis. Kekerasan psikis dikelompokan menjadi kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender online. Kekerasan verbal dapat berupa ucapan kasar, kekerasan ekonomi seperti meminjam uang setiap minggu di orang yang sama, sedangkan kekerasan psikis merupakan perbuatan uang menimbulkan ketakutan, hilangnya rasa kepercayaan diri, dan timbul rasa tidak berdaya.
“Kekerasan seksual banyak macamnya seperti pelecahan seksual, pemerkosaan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, dan lainnya. Kalau kekerasan berbasis gender online, seperti peretasan, pencemaran nama baik, harassment, pemalsuan profil, penyebaran identitas di medsos, penyebaran foto tanpa consent, honey trap, pornografi, dan juga outing,” sebutnya.
Di sisi lain, Kalis menyebut satu dari tiga perempuan pernah menjadi korban kekerasan. Serta 80% lebih korban enggan melapor karena berbagai alasan seperti takut disalahkan, males berurusan dengan banyak pihak, tidak mau mengingat-ingat masalah yang dihadapinya. Ia menjelaskan jika terjadi kekerasan terdapat beberapa stape yang perlu dilakukan, diangaranya tidak menyalahkan diri sendiri, mengumpulkan barang bukti misal rekaman percakapan, lalu cerita kepada orang terpercaya atau konsultan, setelah itu dapat melaporkan kepada pihak berwajib.
Oleh karena itu, kata Kalis diperlukan jiwa kritis di setiap orang terutama perempuan yang rentan mengalaminya. Selain itu penting juga menciptakan lingkungan yang aman. Salah satu upaya terciptanya lingkungan aman adalah adanya aturan UUD tentang kekerasan dan pelecehan seksual. Sedangkan di lingkungan kampus, maka kampus dapat membuat regulasi pengamanan, sanksi tegas bagi para pelaku, dan pendampingan bagi korban. “Kampus memiliki tanggungjawab menciptakan ruang aman. Prinsipnya adalah perlindungan, kesetaraan, dan kerahasiaan. Jadi kalau korban cerita harus dijaga rahasianya,” tegasnya. (SF/RS)