Pers Mahasiswa Yang Jadi Corong Demokrasi di Kampus
Keberadaan pers mahasiswa memberikan injeksi keberanian karena dunia pers. Pasalnya pers mahasiswa tidak dibatasi oleh berbagai kepentingan sebagaimana pers umum. Di samping itu, gaya bahasa pers mahasiswa juga cenderung lebih blak-blakan dalam menyampaikan kritik.
Sebagaimana diulas oleh Wisnu Prasetya Utomo, dalam kegiatan Bincang Sejarah Komunikasi ke-9 melalui live Youtube belum lama ini. Kegiatan itu mengangkat tema “Meletakkan Sejarah Pers Mahasiswa dalam Kajian Media di Indonesia”.
Wisnu Prasetya Utomo menyampaikan keresahannya tentang masih minimnya literatur pers mahasiswa di Indonesia. “Saya berusaha mencari riset-riset secara umum yang berkembang pesat baik secara metode/perspektif yang digunakan maupun objek yang diteliti sehingga melahirkan buku saya berjudul Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan pada 2013”, ujar pengajar di UGM tersebut.
Ia menambahkan pers mahasiswa Indonesia turut dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku kala itu. Misalnya saat Soekarno mewajibkan pers harus memiliki afiliasi politik entah kepada partai politik maupun kelompok-kelompok politik. Pada pers mahasiswa, di tahun 1955 Bung Karno pernah mendesak agar pers mahasiswa membentuk poros organisasi tingkat Asia Afrika. Harapannya pers mahasiswa di negara-negara berkembang bukan hanya jadi community paper seperti dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto. Pers juga diharapkan menjadi pembangunan karakter suatu negara.
“Ketika kita berbicara pers umum maka kita akan melihatnya sebagai institusi politik, sosial, ekonomi, dan lainnya. Banyaknya benturan kepentingan membuat arus utama pers tidak bisa bebas. Karena ia dipengaruhi berbagai bidang seperti politik, ekonomi, dan lainnya”, imbuhnya.
Hal ini berbalik 180 derajat dengan karakter pers mahasiswa yang cenderung berani melabrak kaidah jurnalistik. Bukan karena tidak memahami kaidah jurnalistik, namun seringkali terdapat problematika yang muncul ketika pers arus utama bersandar pada kaidah jurnalistik.
“Ketika sistem politik otoriter dominan, Rosihan Anwar kala itu pernah memberikan kritik pada Kompas. Kompas memberikan kritik pada pemerintah dengan gaya bahasa yang berputar sehingga orang yang dikritik tidak menyadari bahwa ia sedang dikritik”, pungkasnya. (FNJ/ESP)