Pentingnya Konsep Bangunan Hijau dan Sehat

Program Studi Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar webinar seri #1 pada Sabtu (5/9). Agenda yang bertemakan Bangunan Hijau dan Mitigasi Covid dalam Perspektif Kontraktor ini diisi oleh pemateri dari PT Pembangunan Perumahan, Wawan Setiawan, S.T., MBUSS. Kegiatan dilakukan selama dua sesi. Sesi pertama membahas bangunan hijau dan bangunan sehat (Healthy Building), sedangkan sesi kedua membahas upaya mencegahan pandemi Covid-19 di PT Pembangunan Perumahan.

Wawan Setiawan menyatakan selama ini bangunan mengonsumsi sumber daya yang besar, antara lain energi dunia dan air sebesar 35%, sampah 25%, dan emisi gas rumah kaca 40%. Menurutnya bangunan hijau adalah bangunan gedung yang memenuhi persyaratan bangunan gedung dan memiliki kinerja terukur secara signifikan dalam penghematan energi, air, dan sumber daya lainnya melalui penerapan prinsip bangunan gedung hijau sesuai dengan fungsi dan klasifikasi dalam setiap tahapan penyelenggaraannya.

“Inti green building adalah efisien di energi, air, sampah, dan sumber lainnya. Jadi tidak hanya fokus pada hijaunya saja. Diperlukan juga kerjasama antara arsitek dan kontraktor agar bangunan desainnya standar dan tidak banyak sampah yang dihasilkan dari material yang dipakai,” jelas Wawan.

Lebih jauh, Wawan menyebut prinsip bangunan hijau di Indonesia ada enam, yakni pengembangan situs yang sesuai, efisiensi energi dan konservasi, konservasi air, sumber daya dan siklus material, kualitas kesehatan dalam ruangan, dan pengelolaan lingkungan bangunan. Selain itu strategi mencapai bangunan hijau secara umum adalah passive design dan active design. Desain pasif lebih menjurus bagaimana pemanfaatan kaidah-kaidah arsitektur untuk mendapatkan desain yang optimal terutama berhubungan dengan panas yang diterima bangunan dan penggunaan material bangunan dari lokal.

“Sedang desain aktif biasanya dilakukan kalau pasif tidak bisa digunakan. Dibutuhkan teknologi-teknologi yang tinggi dimanfaatkan seperti lampu LED yang mengonsumsi energi rendah, eskalator atau lift yang energinya rendah. Jadi dua startegi ini diharapkan ada kerjasama yang baik antara arsitek dengan engineer,” tambah Wawan.

Upaya atau alternatif yang dapat dilakukan desain pasif di antaranya dalam hal orientasi bangunan, rasio jendela ke dinding, kinerja kaca atau koefisien perolehan panas matahari, perangkat peneduh dan sistem fasad ganda. Sedangkan alternatif mencapai desain aktif dapat dilakukan dalam hal sistem AC yang sangat efisien, benar, dan tidak terlalu besar. Selain itu dalam hal pemulihan panas, kontrol otomatis melalui BAS atau BMS, serta sistem dan desain pencahayaan berforma tinggi.

Wawan memberi contoh di PT Pembangunan Perumahan dalam praktek pembangunan hijau fokus kepada green leadership. Terdapat lima kepemimpinan hijau untuk pembangunan berkelanjutan, yakni pengambilan keputusan jangka panjang, saling ketergantungan, partisipasi dan transparansi, kesetaraan, serta pencegahan proaktif. “Jadi kalau kontraktor mau beli bahan atau material maka diberi pesan apakah efek dan dampak dari material itu bagi lingkungan,” ujarnya.

Wawan menuturkan terdapat enam langkah dalam menekan gangguan lingkungan, yakni gangguan lingkungan selama konstruksi, menekan sampah konstruksi, menekan penggunaan sumber daya alam seperti material kontruksi, menekan penggunaan energi selama kontruksi, menekan menggunakan air saat kontruksi, serta kesehatan dan keselamatan. “Selain itu PT PP rutin juga melakukan uji emisi seperti tingkat kebisingan dan getaran. Sehingga selama proses pembangunan tidak menggangu lingkungan sekitarnya,” jelas Wawan.

Di sisi lain, Wawan mengungkapkan bahwa dirinya bersama tim kerjanya sedang proses berdiskusi untuk menyiapkan healthy building. Sebab menurutnya 90% manusia hidup di bangunan. “Jadi kalau bangunan tidak sehat maka penghuninya juga tidak sehat. Di indeks tercatat bahwa bangunan yang menjadi tempat tertinggi penyebaran Covid, di antaranya terminal, stasiun, mall, rumah sakit, dan sebagainya,” sebutnya.

Untuk bangunan tidak sehat terdapat ciri-ciri antara lain banyak orang berkerumun, fentilasi kurang bagus, dan jarak tidak baik. “Hal yang diangkat dalam bangunan sehat yakni kualitas dan aliran udara, monitor CO2, kebisingan, kenyamanan visual, kenyamanan termal, penahanan kimiawi, dampak penularan dari material dan jarak, perawatan peralatan HVAC, dan pilihan material dalam ruangan,” pungkas Wawan.

Di akhir sesi, Wawan menyebut green building fokus kepada penghuni sedangkan healthy building memiliki fokus kepada bangunan. “Namun keduanya memiliki persamaan seperti akustik, pencahayaan, kualitas air, parkir sepeda, area merokok, dan kualitas udara dalam ruangan. Green bulding mulai bergeser menjadi healthy building, sehingga arsitek harus mempersiapkan diri kalau green building saja maka pandemi tidak akan berakhir,” tutupnya. (SF/RS)