Gugurnya Tiga Panglima dalam Perang Ghazwah Mu’tah
Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) melanjutkan kajian mengenai kisah Perang Ghazwah Mu’tah pada Kamis (28/8) bersama Ustadz Sulaiman Rasyid, S.T. Kajian ini membahas proses kemenangan kaum muslimin meskipun ketiga panglima perang yang ditunjuk oleh Rasulullah Saw, yakni Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Rawahah gugur dalam peperangan.
Ustadz Sulaiman mengatakan bahwa perang ini menjadi salah satu perang dahsyat kaum muslimin untuk mengajak orang kafir memeluk Islam. Dalam perang ini seperti tercatat dalam artikel kajian sebelumnya, bahwa jumlah pasukan musuh sebanyak 200.000 orang dengan senjata pernah banyak. Sedangkan kaum muslimin hanyalah 3.000 orang yang memiliki persediaan senjata terbatas.
Allah berfirman dalam QS. Al-Anfal ayat 65 dan 66 yang berbunyi, “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada 20 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 200 orang musuh. Dan, jika ada 100 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 1.000 orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu 100 orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 200 orang kafir; dan jika diantaramu ada 1.000 (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan 2.000 orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
“Meskipun tadinya satu banding 10, Allah meringankan menjadi satu banding dua. Tapi, di perang Ghaswah ini malah satu banding 70. Tapi, mereka tetap sepakat untuk melanjutkan peperangan karena rasa cintanya kepada Allah. Meskipun gugur, maka mati syahid yang didapat,” ucap Ustadz Sulaiman.
Ustadz Sulaiman bercerita pagi harinya pukul delapan peperangan dimulai di daerah Mu’tah yang merupakan gurun tandus yang kering, terbuka, tanpa ada pohon satu pun. Meski demikian, menurutnya daerah tersebut menjadi satu sisi yang menguntungkan bagi kaum muslim sebab mereka lebih berpengalaman dari musuh, tujuan prajurit muslim berperang adalah mati syahid sedangkan prajurit musuh kebanyakan tidak mengetahui tujuannya karena hanya mengikuti pimpinan, sehingga dari sinilah mental kaum muslimin lebih kuat dan yakin.
Dalam perang ini kata Ustadz Sulaiman terjadi selama dua ronde. Dalam ronde pertama ketiga panglima gugur secara bertahap. Panglima pertama, Zaid bin Haritsah wafat dalam keadaan syahid akibat ujung tombak penghujam tubuhnya. Lalu pasuka diambil alih oleh panglima kedua yakni Ja’far bin Abu Thalib. “Perang Mu’tah ini adalah perangnya Ja’far. Dalam perang ini ia tidak pernah mengambil langkah mundur sekalipun, jadi maju terus. Ini menunjukan keberanian beliau. Ia meloncat dari kudanya lalu membunuh kudanya. Alasannya agar dirinya tidak dapat kabur. Ini untuk menguatkan tekadnya berperang karena Allah,” kata Ustadz Sulaiman.
Lebih lanjut, Ustadz Sulaiman berkisah bahwa tangan kanan Ja’far bin Abu Thalib yang sedang memegang bendera muslim terpotong oleh musuh. Seketika ia langsung mengambil bendera tersebut dengan tangan kirinya. Tidak berhenti, musuh memotong tangan kiri Ja’far. Lalu ia mengambil benderanya lagi dan menjepitkan tongkat bendera dengan sisa-sisa kedua lengannya yang telah bertetesan darah. Kuatnya Ja’far, musuh lalu memenggal lehernya.
“Setelah perang, sahabat mencari jasad Ja’far. Dan ditemukan jasadnya di antara orang yang meninggal akibat perang. Lalu ditemukan juga ada 90 lubang bekas tusukan tombak, pedang, dan panah musuh mengenai tubuhnya kecuali punggungnya. Ini bukti kalau Ja’far tidak pernah melangkah mundur dalam perang, meskipun ditusuk dipotong tangannya ia tetap maju, hingga akhirnya mati syahid. Sebagai gantinya, dalam sabda Muhammad, bahwa Allah mengganti kedua tangannya dengan sayap bagaikan malaikat,” tambah Ustadz Sulaiman.
Setelah gugurnya Ja’far, peperangan semakin sengit. Abdullah bin Rawahah pun langsung memimpin pasukan dengan mengambil bendera dari Ja’far. Saat itu juga, Abdullah berusaha meneguhkan dan memaksa dirinya untuk maju dan memimpin, sebab kata Ustadz Sulaiman ia sempat merasa ragu karena jumlah pasukan dan senjata perang muslimin kurang. Selain itu pula, kedua panglima perang sebelumnya telah meninggal. “Dikatakan Abdullah ‘aku bersumpah wahai jiwaku, turun sekarang ke medan tempur. Aku turun atau aku yang memaksamu turun?’ Dan ia berkata juga, ‘wahai jiwaku kalaupun tidak mati sekarang, maka engkau juga akan mati dalam keadaan lain.’ Jadi dia ngomong sama jiwanya sendiri. Kenapa engkau menunda-nunrda, maka majulah! Akhirnya ia meninggal dan mati syahid,” lanjut Ustadz Sulaiman.
Setelah gugur ketiga panglima, perang pun menuju ronde kedua. Seperti pesan Rasulullah jika ketiga panglima gugur, maka pasukan harus memilih pemimpinnya sendiri. Lalu terpilihlah Khalid bin Al Walid yang baru tiga bulan masuk Islam namun sudah berpengalaman menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya, pasukan muslim memenangkan peperangan sebab ia membuat strategi memecah pasukan muslimin menjadi dua sayap. Ketika malam tiba, masing-masing sayap menempati posisi yang ditentukan hingga pada pagi harinya, dua sayap itu menyerang musuh secara berbarengan. Serangan tiba-tiba dari dua arah ini membuat pasukan musuh terkejut. Mereka mengira pasukan muslimin mendapat tambahan pasukan. Sehingga pasukan muslimin berhasil menghancurkan dan memukul mundur pasukan musuh.
Mundurnya pasukan musuh, Khalid menginstruksikan pasukannya untuk tidak melakukan pengejaran. Namun, berbalik mundur ke Madinah. Pertimbangannya adalah apabila pasukan musuh menyadari strategi yang dilakukan pasukan muslim, maka pasukan musuh akan kembali menyerang mereka dengan kekuatan penuh. Berita pasukan muslim berhasil memukul mundur musuh disambuh suka cita oleh kaum muslimin lainnya. Rasulullah mengatakan bahwa mereka sama sekali bukan orang-orang yang melarikan diri dari medan perang, karena insya Allah mereka akan kembali berperang.
“Meski pertempuran sangat besar, namun dilaporkan hanya 12 orang dari pasukan muslim yang terbunuh. Padahal jumlah total jumlah korban perang seluruhnya sangatlah banyak. Bahkan sembilan pedang Khalid bin Walid terputus dan hanya sisa satu pedang ke 10 dari Yaman,” ungkap Ustadz Sulaiman.
Tak lupa, Ustadz Sulaiman menurutkan beberapa hikmat yang dapat dipetik dari kisah Perang Ghazwah Mu’tah, di antaranya adalah Ja’far rela kenikmatan fisiknya dikorbankan demi Allah hingga ia diberi gantinya dengan kedua sayap. Hal ini menunjukan dari ujung rambut sampai kaki dilangkahkan kemanapun akan dimintai pembalasannya. “Ketika masa muda, tumbuh dewasa dihabiskan untuk menjaga agama Allah dengan akal dan kecerdasannya maka Allah akan menjaga akal dan kecerdasannya di masa tua sehingga ia tidak pikun, bahkan menjaganya sampai akhirat,” ucap Ustadz Sulaiman.
Selain itu, kata Ustadz Sulaiman dipilihkan Khalid bin Walid sebagai panglima ke empat perang padahal belum lama bergabung Islam menunjukan bahwa tidak ada senior junior dalam kehidupan, semua setara. Sebaiknya dalam kehidupan sehari-hari saling menghargai antar usia, jabatan, bahkan prestasi. “Celakanya banyak orang yang rugi karena ia merasa terlalu pintar sehingga tidak berbagi ilmu dengan lainnya. Maka tidak akan bertambah ilmunya karena sombong dan malu,” tambahnya.
Di akhir kajian, Ustadz Sulaiman berpesan bahwa zaman sekarang bukanlah perang fisik seperti zaman Rasulullah, melainkan sekarang perang ilmu. Meski demikian, kisah peperangan Rasulullah dengan sahabat penting utuk dapat diambil teladannya. Kebanyakan anak sekarang mengambil teladan dari fiksi atau dongeng yang tidak nyata. Sedangkan untuk perang menghadapi perang ilmu dapat diatasi dengan rutin mengikuti majelis ilmu yang terstruktur dan urut. “Semakin rutin mempelajari akidah dan tauhid maka akan makin paham bahwa bumi ini hanyalah semesta serta tumbuh rasa cinta kepada Allah yang begitu tinggi,” tutupnya. (SF/RS)