Komunikator Andal di Industri Migas
Dalam industri minyak dan gas, gesekan selama proses negosiasi terhadap pihak-pihak terkait acapkali terjadi, seperti kesepakatan pembagian lahan ataupun fasilitas. Dibutuhkan tim yang tidak hanya kaya akan ilmu, tapi juga berpengalaman dalam komunikasi sehingga dapat menciptakan kepercayaan satu sama lain.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk Respol Goes to Campus: Value of Communication in Oil and Gas Industry and Respol Case Study yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) bekerja sama dengan 75 kampus di Indonesia, termasuk salah satunya Program Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) pada Kamis, (23/7) secara daring.
Mengutip dari Jindan (2018), Ir. Amir Faisal Jindan, MIB, MP memulai dengan menjelaskan bahwa ada dua fase krusial dalam membangun tangga komunikasi, yakni building networking dan building value. Langkah awalnya adalah proses perkenalan. “Di titik ini, terkadang dibutuhkan orang lain untuk mengenalkan siapa diri kita,” tuturnya.
Kualitas diri yang baik meliputi pengetahuan, sikap, dan karakter. Menurut Amir, memudahkan pribadi seseorang dapat diterima dikalangan yang lebih luas, yang mana menempatkannya di titik penerimaan.“Jika sudah diterima, dia harus menjadi orang yang memenuhi komitmennya,” ungkapnya.
Karena dengan begitu, seorang komunikator akan lebih mudah disukai. Tangga terakhir adalah kepercayaan yang meliputi transparansi dan kejujuran seorang komunikator. “The trust will be forever,” imbuh Amir.
Lantas apa yang perlu dibekali oleh sarjana baru agar dapat ‘nyemplung’ ke dunia industri? Apakah dengan modal cum laude dan sedikit teori di atas cukup untuk memenangkan hati para pemberi kerja? “Industri justru lebih melirik mereka yang punya pengalaman,” ungkap pria yang akrab dipanggil Pak Jindan itu.
Lebih lanjut, ia memaparkan hasil observasinya yang mana, sebagian besar, sejalan dengan apa yang Mochtar Lubis ungkapkan pada bukunya, Manusia Indonesia (1977), bahwa etos kerja orang Indonesia dinilai kurang kuat dalam mempertahankan keyakinan dan cenderung plin-plan.
“Ada tiga kelemahan utama, kurang disiplin (kudis), kurang rapi (kurap), dan kurang teliti (kutil). Yang mana jika digabungkan akan menghasilkan kurang mandiri (kuman),” papar pria yang sudah 25 tahun berkecimpung di dunia migas itu. Hal ini, menurutnya akan berujung pada menurunnya kepercayaan diri pekerja dimana ekspektasi yang tinggi dilihat sebagai ancaman.
Meskipun demikian, nyatanya, dalam proses meng-halalkan wilayah tertentu untuk dijadikan lahan proyek, seorang komunikator tidak hanya membutuhkan kemampuan bahasa, tetapi juga dituntut untuk fleksibel dan sensitif terhadap isu sosial. Amir mengaku sempat mengalami negosiasi yang cukup panjang perkara pembagian tanah yang tumpang tindih dengan perusahaan lain.
Tidak tanggung-tanggung, Amir bahkan mengaku beberapa oknum di masyarakat tertentu tidak takut ‘menyandera’ aparat sembari mengorek ‘pajak preman’ terhadap pekerja proyek. Selain menjadi momok, isu ini juga termasuk dalam tanggung jawab seorang komunikator andal.
“Sebagian dari mereka bahkan ada yang bersumbu pendek. Banyak perjanjian dan kompensasi yang harus dibuat perusahaan dan disepakati bersama pihak-pihak terkait seperti dinas, pemerintah daerah, dan elemen masyarakat untuk menghindari miskomunikasi,” tuturnya.
Terakhir, Amir berpesan bahwa komunikasi bukan hanya perihal menyampaikan pesan, tetapi bagaimana mencipatakan hubungan baik dan kepercayaan dengan bahasa yang tepat dan waktu yang tepat. Karena dengan menciptakan kepercayaan, masyrakat lebih mungkin untuk tertib dan kooperatif. (IG/RS)