Perang Dagang dan Pandemi Mengguncang Perekonomian
Belum usai perang dagang antara Amerika dengan China, hubungan antar dua negara adikuasa ini semakin memanas dengan adanya pandemi Covid-19. Keduanya berseteru soal dalang di balik pandemi ini. Diungkapkan dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia (FBE UII), Listya Endang Artiani, S.E., M.SI., CSRS, bahwa perang dagang antara Amerika dan China serta pandemi Covid-19 memberikan dampak besar bagi aktivitas perekonomian, baik di negara berkembang maupun di beberapa negara maju.
Dalam kajian bertemakan “Ekonomi dan Pandemi: Perang Dagang dan Ancaman Resesi Ekonomi” yang diselenggarakan Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII secara daring, pada Sabtu (11/7), Listya Endang Artiani menyampaikan, perekonomian Indonesia sudah menurun bahkan sejak sebelum virus Corona (Covid-19) masuk ke Indonesia.
Perang dagang antara Amerika dengan China serta pandemi Covid-19 memiliki dampak yang besar bagi Indonesia. Menurut data yang dihimpun dari Bank Indonesia, kondisi ini meningkatkan angka kemiskinan. Peningkatan kemiskinan ini terjadi pada masyarakat yang biaya hidup per harinya di bawah USD 1,9. Tak hanya itu, dampak perang dagang juga membuat ekspor sawit Indonesia menurun hingga 17%. Penurunan ekspor sawit juga difaktori oleh kebijakan-kebijakan beberapa negara untuk kepentingan negaranya.
Disampaikan Listya, ekspor otomotif, besi, baja, serta alumunium pun turut terganggu. Padahal faktanya Indonesia bisa meraih keuntungan hingga USD 241,2 juta dari ekspor otomotif dan USD 70 juta dari ekspor aluminium. Melemahnya sektor keuangan di Indonesia merupakan salah satu dampak yang paling terasa. Amerika menerapkan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga yang lebih tinggi dari biasanya. Hal ini membuat para investor mengambil modal dari negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Menurut data dari International Monetary Fund (IMF), proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia turun hingga 0,3% pada bulan April 2020. Berdasarkan kondisi pandemi saat ini, mayoritas harga komoditas pertanian mengalami peningkatan, sementara harga komoditas logam mengalami penurunan. Secara spesifik, Listya mengatakan minyak kelapa sawit pada triwulan pertama 2020 menguat menjadi USD 725/metrik ton. Komoditas pertanian lain yang akan mengalami kenaikan antara lain beras, gandum, kopi arabika, kedelai, serta cokelat.
Di samping itu, kebijakan pemerintah dalam melakukan pembatasan aktivitas sosial menyebabkan turunnya permintaan industri bahan baku. Harga aluminium, timah, seng, dan tembaga menurun pada triwulan pertama 2020. Meningkatnya ketidakpastian dan validitas pasar keuangan pada triwulan pertama 2020, mendorong permintaan logam mulia. Rata-rata harga emas pada triwulan pertama 2020 meningkat hingga 21,4%.
Lemahnya perekonomian saat ini membuat Indonesia berada pada resesi ekonomi. Listya menyampaikan beberapa indikator resesi ekonomi, di antaranya adalah ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi, melambat bahkan merosotnya pertumbuhan ekonomi, serta nilai impor yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai ekspor. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai ekspor Indonesia turun hingga 28,9% di bulan Mei 2020 bila dibandingkan dengan bulan Mei 2019. Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi dengan negara yang sedang berseteru, yaitu Amerika dan China. Pasalnya BPS mencatat China menduduki peringkat pertama sebagai negara yang melakukan ekspor impor dengan Indonesia, sedangkan Amerika di posisi kedua.
Selain itu, resesi ekonomi juga dilihat dari tingginya tingkat pengangguran. Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS, sejak tahun 2016 pengangguran di Indonesia selalu mencapai angka di atas 6 juta orang. Angka pengangguran selalu dikaitkan dengan angka kemiskinan di Indonesia yang masih relatif tinggi. Inflasi serta deflasi juga turut andil dalam indikator resesi ekonomi. Inflasi di Indonesia sempat tidak ada pada musim lebaran 2020. Hal ini terjadi karena rendahnya demand pada musim lebaran di tengah pandemi Covid-19. Berdasarkan seluruh indikator tersebut, Indonesia sudah memasuki fase resesi ekonomi.
“Oleh karenanya, pemerintah membangun kebijakan dengan Bank Indonesia sebagai bentuk usaha menstabilkan perekonomian. Salah satu hal yang dilakukan adalah dengan menciptakan mekanisme burden sharing atau pembagian beban antara pemerintah dengan Bank Indonesia untuk mempercepat pemulihan ekonomi,” terang Listya. (VTR/RS)