Melestarikan Bahasa Daerah Berbuah Beasiswa Luar Negeri

Kemajemukan dan keunikan bahasa menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Sayangnya, rendahnya minat untuk mengkaji dan melestarikan bahasa daerah, membuatnya tidak terdigitalisasi dengan baik. Maka dari itulah kelangkaan sebuah bahasa perlu didokumentasikan demi pelestarian budaya di dalamnya. Gagasan inilah yang menjadi topik utama dalam ELT Stuff: Shaping a Better World through Languages yang digelar oleh Program Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Islam Indonesia (UII) pada Jumat (19/06) secara daring.

“Ketika memiliki kemampuan bahasa yang dimiliki orang lain, empati meningkat karena kita dapat berkomunikasi secara personal terhadap mereka dan budayanya,” ungkap Kunto Nurcahyoko, seorang dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pamane Talino, Kalimantan Barat. Ia juga melihat bahwa kemampuan bahasa meningkatkan peluang untuk mengakses dunia profesional dan personal.

Indonesia dikenal sebagai negara dengan bahasa terbanyak di Asia Tenggara. “Tercatat, Indonesia menduduki peringkat ke dua, setelah Papua Nugini, sebagai negara dengan bahasa terbanyak. Jumlahnya mencapai hingga 710 bahasa,” jelas salah satu kontributor Asia Tenggara organisasi Wikitounges itu.

Lebih lanjut, menurutnya orang Indonesia memiliki kemampuan untuk menguasai bahasa asing yang luar biasa. “Sebagai orang Indonesia yang melihat kemajemukan bahasa, kita perlu bersyukur,” tambahnya.

Aktif di Wikitounges

Di Wikitounges, Kunto menjelaskan bahwa misinya adalah mendokumentasikan dan mendigitalkan bahasa yang rawan punah. Mengarsipkannya dalam bentuk digital, membantu bahasa tersebut bertahan di era keterbukaan seperti sekarang. “Sehingga kita ada orang yang ingin belajar, ataupun meneliti bahasa tersebut kita dapat dengan mudah menghubungkan pihak tersebut langsung dengan penutur aslinya,” jelas Kunto.

“Ada satu desa namanya Desa Sempatung di Kalimantan Barat. Desa ini memiliki bahasa namanya Be’Ei,” tutur Kunto. Bahasa ini tidak memiliki struktur tertulis seperti bahasa pada umumnya dan penutur aslinya hanya berjumlah kurang dari seribu orang.

Berbeda dengan bahasa lain yang memproduksi bunyi dengan menghembuskan nafas, Bahasa Be’Ei mengharuskan seseorang untuk menarik nafas sambil memproduksi bunyinya. “Bayangkan ada satu peristiwa terjadi yang menghilangkan seribu orang penutur ini dalam semalam, seluruh budaya dan bahasanya bisa hilang tanpa terdokumentasi,” tutupnya.

Berbuah Beasiswa ke Harvard

Bahasa tidak hanya membawa Kunto dalam melindungi bahasa daerah, tetapi juga meraih beasiswa. Dalam proses mencari dan mendapatkan beasiswa, selain mencari informasi, Kunto juga menekankan pentingnya mencari orang yang sudah pernah mendapatkan beasiswa itu.

“Ciptakan sebuah lingkup pertemanan yang fokus untuk mengejar beasiswa tersebut kalau perlu,” tuturnya. Sama seperti belajar bahasa asing, Kunto menyarankan agar aktif dan percaya diri selama proses mencari beasiswa.

“Jika tidak percaya diri, ya harus percaya diri. Tidak ada jalan lain. Cari teman, berani belajar untuk salah, sehingga tahu itu salah. Karena tidak akan ada orang yang datang ke rumahmu pagi-pagi hanya untuk menawarkan beasiswa. Terlebih resume itu dibangun tidak hanya satu bulan, tetapi empat bahkan lima tahun,” ungkapnya.

Harvard adalah salah satu pilihan utama Kunto saat mencari beasiswa. Meskipun begitu, Kunto justru pernah memiliki kejadian tidak mengenakan yang mengubah kesannya terhadap kampus tertua di Ivy Leagues itu.

“Saat masih mahasiswa, saya bersama enam teman lainnya mendaftar MUN Conference di Harvard. Namun, karena masalah finansial kampus, entah kenapa hanya tiga dari kami yang diperbolehkan untuk berangkat,” ungkapnya lebih lanjut.

“Dengan pertimbangan panjang, Saya akhirnya tidak jadi berangkat. Saya tambah malu karena Ibu sudah terlanjur cerita kepada teman-teman arisannya bahwa Saya akan berangkat,” tuturnya.

“Tapi yang membuat Saya benar-benar terpukul saat itu adalah, ada salah satu orang yang berkata bahwa Saya tidak pantas pergi ke Harvard. Saya pulang dan berpikir apakah orang kampung seperti Saya benar tidak pantas pergi ke Harvard?” ungkapnya.

“Sejak kecil memang Saya agak pemalu, namun Saya sangat menyukai belajar bahasa,” Tapi ternyata bahasalah yang membawa anak pemalu itu ke Harvard,” pungkas Kunto. (IG/ESP)