,

Problematika Penanganan Medis Covid-19

Penanganan medis Covid-19 dinilai perlu dikaji dan diperhatikan kembali. Di antaranya adalah terkait dengan penunjang pemeriksaan. Muncul pertanyaan bagaimana jika sampai terdapat ketidakseragaman dalam melakukan penanganan medis, baik dari masalah keilmuan, sumber daya manusia, ataupun fasilitas penunjang kesehatan.

Berangkat dari problematika tersebut, Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (IKA FK UII) menyelenggarakan Mini Symposium Series IKA secara daring pada Senin (1/6), bertajuk Menyikapi dari Banyak Disiplin Ilmu tentang Pandemi COVID-19.

Penanggung Jawab Laboratorium Rumah Sakit UII yang juga merupakan alumni FK UII angkatan 2001, Dr. Nuur Naafi Ulloh M.Sc, Sp.PK memaparkan tantangan aspek diagnostik Covid-19 di Indonesia. Menurutnya terdapat persoalan dengan adanya ketidakseragaman kemampuan laboratorium, baik dalam hal sarana-prasarana, ataupun sumber daya manusia itu sendiri.

“Adanya kemampuan laboratorium yang tidak seragam, bisa terkait sarana dan prasarana serta sumber daya manusianya sendiri, tidak hanya dirasakan oleh rumah sakit swasta, bahkan rumah sakit rujukan juga mendapati masalah yang sama,” jelasnya saat memaparkan materi Problematika Pemeriksaan Penunjang Sederhana Laboratorium dan Penunjang Spesifik (Rapid Test dan SWAB) Bagi pasien Terduga Covid-19.

Selain ketidakseragaman fasilitas dan sumber daya manusia, koordinasi terpadu dalam melakukan berbagai tes terkait diagnosis juga masih menjadi tantangan. “Kadang-kadang kita bingung dengan tes antibodi, antigen, PCR, alur, pelaporan, dan interpretasi. Untuk awal-awal itu masih belum rapi,” tandasnya.

dr. Nuur Naafi menuturkan bahwa pengadaan Reagen (pereaksi kimia) pemeriksaan oleh swasta/mandiri, terutama untuk rapid test antibodi, masih belum terkoordinasi dengan baik. Untuk pemeriksaan secara massal, masih terkendala dari sisi sumber daya manusia dan sarana-prasarana.

Kepala Instalasi/Dokter Spesialis Radiologi RSUD BESEMAH Pagar Alam Sumatera Selatan, dr. Haryo Chandra Kusuma Sari, Sp. Rad dalam paparannya menyampaikan materi terkait problematika pemeriksaan penunjang radiologi untuk membedakan dengan tepat, antara Covid-19 dengan gangguan paru-paru lainnya.

dr. Haryo menuturkan bahwa radiologi dan patologi klinik adalah penunjang untuk melakukan diagnosis dari Covid-19. Radiologi sendiri memiliki fungsi untuk mengetahui ada atau tidaknya gejala pneumonia, baik pneumonia khusus yang terkait Covid-19 maupun yang tidak.

Kendati Radiologi menjadi salah satu penunjang diagnosis Covid-19, dr. Haryo mengatakan bahwa Radiologi sendiri tidak direkomendasikan untuk skrining secara luas. “Untuk skrining dalam skala yang luas, misal untuk suatu daerah, desa atau kota, semua diperiksa radiologinya. Itu sebenarnya tidak direkomendasikan,” ungkapnya.

Karena pemeriksaan Radiologi tidak dilakukan dalam skala yang luas, dr. Haryo mengatakan bahwa ada indikator tertentu untuk melakukan pemeriksaan radiologi terhadap pasien. “Ini dilakukan dikala ada kecurigaan Covid-19. Misal ada kontak, riwayat perjalanan, ditambah dengan gejala-gejala klinis lainnya. Pemeriksaan ini juga dilakukan bilamana ada rencana tindakan medis tertentu, seperti operasi, atau melahirkan,” paparnya.

“Pemeriksaan radiologi juga bisa dipertimbangkan pada pasien-pasien tanpa gejala (asimptomatis) atau pasien dengan gejala ringan yang akan dirawat inap,” imbuh dr. Haryo yang merupakan alumni FK UII angkatan 2002.

Terkait dengan infeksi dan gejala dari Covid-19, dr. Rina Hayati, Mked. (ORL-HNS), Sp. THT-KL, alumni FK UII angkatan 2004, menjelaskan bahwa tidak semua orang yang terpapar menjadi terinfeksi. Sedangkan pasien yang terinfeksi sendiri tidak selalu mengalami gejala pernafasan berat. Terdapat tahapan-tahapan dalam melakukan diagnosis yang berkaitan dengan gejala-gejala yang dialami penderita.

“Ada tahapan-tahapan gejalanya, untuk tahap pertama itu merupakan masa Inkubasi, tanpa gejala, dari sini virus belum atau sudah bisa terdeteksi. Kemudian masuk dalam tahap kedua berupa gejala ringan. Ini menandakan sudah adanya virus. Apabila dalam tahap kedua ini, tubuh tidak bisa menahannya lagi, akan masuk dalam tahap ketiga dimana akan mengalami gejala pernafasan yang cukup berat,” ujar dokter penanggung jawab Rumah Sakit Bhayangkara Polda Lampung, saat menjadi moderator Mini Symposium Series.

Beredar berita bahwa dokter THT lebih mudah terpapar dan memiliki resiko yang lebih. Menanggapi kabar ini, dr. Rina menjelaskan bahwa dari interaksi dengan pasien penderita, dokter THT cenderung lebih rentan terpapar.

“Untuk THT sendiri, pemeriksaannya memang sangat riskan dalam kondisi sehari-hari. Karena tidak jauh-jauh dengan membuka mulut, hidung, dan untuk jarak memang tidak bisa dihindari, harus dari jarak dekat,” ungkapnya. (FSP/RS)