Meneladani Imam Ghazali Bersikap di Tengah Krisis

imam al ghazali - berita uii

Krisis multidimensional tidak hanya terjadi di masa kini namun juga di masa lampau. Imam Al-Ghazali merupakan ulama besar yang menjadi saksi di saat krisis masa akhir Abbasiyah. Selain pertentangan antar mazhab, serbuan kerajaan Kristen Eropa masa itu juga mewarnai krisis. Hal ini membuat rakyat khawatir dan takut beraktivitas. Zaman itu memberikan gambaran yang memiliki kemiripan dengan masa pandemi Covid-19 saat ini.

Hal ini kemudian mendorong Program Studi Pendidikan Agama Islam UII menggelar kajian dengan pemateri Kurniawan Dwi Saputra, Lc., M.A pada Kamis (7/10). Dalam kajiannya, ia membahas siasat Imam Al-Ghazali dalam menghadapi krisis multidimensi pada zaman ia hidup. Kajian ini diharapkan dapat memberi pelajaran bagaimana mengambil sikap pada krisis modern.

Al-Ghazali adalah mujaddid atau pembaharu Islam yang juga dikenal sebagai Hujjah Al-Islam, karena karya-karyanya yang dapat membantah argumen-argumen dari para filsuf. Menurut Kurniawan, terdapat tiga aspek tahapan yang dilakukan Imam Al-Ghazali dalam menghadapi krisis multidimensi.

“Pertama, dalam aspek politik Imam Al-Ghazali menulis banyak buku yang berisi nasihat untuk para pemimpin atau penguasa dengan cara ilmiah, santun, dan beradab. Di antara buku-buku tersebut adalah kitab Al-Thibr al-Masbuk yang ditulis untuk Muhammad bin Maliksyah, serta Ihya Ulumuddin”, jelas dosen FIAI UII itu.

“Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan kerusakan raja-raja (pemimpin), dan kerusakan raja-raja disebabkan kerusakan ulama, kalau saja bukan karena qadhi dan ulama suu’ maka kerusakan raja-raja akan minimal karena takut kritikan mereka”. (Kutipan dalam Ihya Ulumuddin)

Kurniawan berpesan, “Penting bagi kita sebagai seorang akademisi atau pembelajar, apabila kita berkarir nanti integritas adalah hal yang perlu kita pertahankan, karena kerusakan masyarakat itu pokoknya ada di ulama.”

Kemudian, dalam aspek intelektual Al-Ghazali berperan aktif mengikuti diskursus menghadapi krisis intelektual pada masa itu. Ia banyak menulis buku, di antaranya adalah Tahafut al-Falasifah, Maqashid al-Falasifah dalam bidang fikih, dan Fadhaih Bathiniyyah. Karya terakhir mengkritisi kelemahan argumen doktrin Taklim Bathiniyyah yang menyatakan ilmu pengetahuan harus berasal dari imam yang maksum, serta Al-Quran memiliki makna batin yang hanya bisa dimengerti dan ditafsirkan oleh imam maksum.

Sedangkan dalam aspek sosial, Al-Ghazali melakukan revitalisasi ilmu agama sebagai respon terhadap maraknya kecenderungan rasionalis ekstrem dalam filsafat, serta doktrin ta’lim kelompok-kelompok bid’ah. Oleh karena itu, ia mengingatkan pentingnya mengamalkan ilmu agama dengan semangat Akhlakul Karimah, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, Al-Ghazali juga melakukan revitalisasi semangat keagamaan. Ia berpendapat dalam konteks internal umat islam sendiri ada masalah karena saat itu agama dilakukan hanya sebagai formalitas tanpa adanya semangat keagamaan. (VTR/ESP)