RUU Cipta Kerja Lebih Memihak Kepentingan Pemodal

Rancangan Undang-Undang Omnibus law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) telah resmi diserahkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meski digadang-gadang mampu mempermudah jalannya berbagai kegiatan usaha, meningkatkan investasi, serta memperluas lapangan kerja, namun RUU ini menuai banyak kontroversi. Salah satunya yakni potensi munculnya berbagai persoalan di bidang hukum, perlindungan buruh, dan lingkungan. Keinginan untuk meningkatkan investasi dan lapangan kerja tidak berjalan harmoni dengan teori pembentukan peraturan perundang-undangan, status UU sektoral, perlindungan buruh, kecenderungan sentralisasi kewenangan kepada pemerintah pusat, ketentuan pidana, arah kebijakan investor, dan perlindungan lingkungan.

Sebagaimana tergambar dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum (FH) UII pada Jumat (6/3) di VIP Room Gedung Moh. Yamin FH UII. FGD menghadirkan dua orang pembicara yaitu Dr. Zairin Harahap, S.H., M.Si (Dosen Departemen Hukum Administrasi Negara FH UII) dan Prof. Dr. Ari Hermawan, S.H., M.Hum. (Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan FH UGM) serta dipandu fasilitator Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M. (Dosen Departemen Hukum Tata Negara FH UII). Acara

Dr. Zairin Harahap menyampaikan akan banyak permasalahan dan disharmoni di berbagai bidang hukum apabila RUU tersebut diterapkan nantinya. “Judul dari RUU ini adalah Cipta Kerja yang seharusnya lebih condong untuk memberikan perlindungan hukum serta menciptakan lapangan kerja, namun kenyataannya substansi dalam RUU tersebut justru condong kepada pemodal”, kritiknya.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Prof. Dr. Ari Hernawan pun menambahkan bahwa jika pemerintah serius untuk menciptakan lapangan kerja, maka pemerintah harus mendengarkan aspirasi pihak terkait. “Jangan sampai terjadi situasi buruh di hadapan pemerintah menjadi lemah dan pemerintah menjadi lemah di hadapan investor”, tegasnya.

FGD juga membahas berbagai permasalahan teknis dan konseptual dalam RUU Cipta Kerja dan diteruskan dengan perumusan sikap sivitas akademika FH UII. Dalam kegiatan ini, setiap dosen perwakilan departemen hukum FH UII dan perwakilan mahasiswa menyampaikan pandangannya terkait problematika RUU Cipta Kerja.

Berdasarkan hasil FGD, sivitas akademika FH UII merumuskan sikap sebaiknya RUU Cipta Kerja ditunda untuk disahkan dan lebih baik merevisi berbagai UU sektoral terlebih dahulu. RUU Cipta Kerja juga dinilai memiliki problem prosedur pembentukan dan substansial yang cukup serius. Problem prosedur pembentukan dan substansial tersebut berpotensi menggiring RUU Cipta Kerja pada pertentangan secara konstitusional. (MRA/ESP)