Tahun 2019 Masih Menyisakan Banyak Persoalan Hukum
Tahun 2019 menyisakan berbagai problematika bidang hukum yang patut untuk direfleksi, direnungi, dan dicarikan solusinya. Hal ini guna mewujudkan pembangunan hukum yang menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Beberapa catatan hukum di tahun 2019 antara lain: kontestasi Pemilu 2019 yang penuh dinamika dan hilangnya 700-an nyawa petugas pemilu; pembahasan beberapa RUU kontroversial di masa-masa akhir DPR periode 2014-2019; upaya pelemahan KPK secara sistematis sejak dari pemilihan sosok pimpinan KPK dan pengesahan Revisi UU KPK; konflik agraria yang tak kunjung selesai; hingga berbagai pelanggaran HAM yang masih terjadi.
Isu inilah yang kemudian dikupas oleh Pusat Studi Hukum FH UII melalui seminar “Refleksi Akhir Tahun 2019 Bidang Hukum: Peluang dan Tantangan ke Depan” yang dilaksanakan pada Sabtu (29/12) di Ruang Sidang Lt. 3 Fakultas Hukum UII.
Terdapat 4 sub-tema dalam seminar ini, pada sesi pertama yaitu Konflik Agraria dan Prospek Pengaturannya yang disampaikan oleh Mukmin Zakie, S.H., M.H, selaku Kepala Pusat Studi Hukum Agraria FH UII dan Kus Sri Antoro, Sp., M.Si. selaku Direktur Pusat Studi Keistimewaan DIY Universitas Nahdlatul Ulama. Dan tema kedua yaitu mengenai Pemberantasan Korupsi dan Prospeknya ke Depan, yang disampaikan oleh Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. Pakar Hukum Pidana FH UII dan Ari Wibowo, S.H., M.H. selaku Kepala Pusat Studi Kejahatan Ekonomi FH UII.
Disampaikan Mukmin Zakie, konflik agraria marak terjadi di tahun 2019 yang berkaitan status kepemilikan. Karena alasan untuk meminimalisir konflik, pemerintah dan DPR justru menyusun RUU Pertanahan yang penuh kontroversi. Materi muatan dalam RUU Pertanahan kuat diduga bermuatan pragmatis dan hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok masyarakat. Semangat RUU Pertanahan juga bertentangan dengan semangat UUPA Tahun 1960.
“Terkait konflik agraria di Indonesia yang semakin meningkat tiap tahunnya. Adapun wujud konflik tersebut yaitu konflik vertikal antar warga negara dan konflik horizontal antara warga negara dengan pemerintah”, ujarnya.
Upaya penyelesaian konflik agraria masih menggunakan pendekatan keamanan yang cenderung represif. Melihat tanah adalah unsur yang sangat dekat dengan manusia tidak hanya berdasarkan aspek ekonomis, melainkan aspek sosial, kultural, religio kosmis dan magis.
“Belum tersentuhnya akar permasalahan konflik agraria menjadi persoalan yang selalu terlupakan oleh berbagai pihak, bergesernya aspek filosofis UUPA dari pro rakyat menjadi pro modal menjadi sebab terjadinya konflik agraria di berbagai tempat. Hal tersebut mengakibatkan adanya tumpang tindih hukum yang merujuk pada UUPA.” Ungkap Kus Sri Antoro.
Isu Pelemahan KPK dan Disrupsi Industri Keuangan
Tahun 2019 juga menorehkan catatan upaya pelemahan sistematis agenda pemberantasan korupsi. Pasca pemilihan pimpinan KPK yang penuh kontroversi, DPR dan pemerintah menggulirkan Revisi kedua UU KPK. Pada UU hasil revisi, KPK ditempatkan di bawah kekuasaan eksekutif, kewenangan pimpinan yang dibatasi oleh kehadiran lembaga pengawas, hingga penempatan pegawai KPK sebagai bagian dari ASN.
“Perlu adanya proporsionalitas antara upaya pencegahan dan penegakan hukum terkait dalam tindak pidana korupsi, dikarenakan saat ini paradigma yang ada seringkali berfokus pada aspek penegakan saja, kurang melihat aspek pencegahannya”, kritik pembicara Dr. Mudzakkir.
Sesi kedua seminar membahas tentang Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Penyelenggaraan Equity Crowdfunding di Indonesia (perspektif Hukum Pasar Modal dan Hukum Islam) yang disampaikan oleh Dr. Khotibul Umam, S.H., M.H. (Pakar Hukum Perbankan Islam FH UGM) dan Inda Rahadiyan, S.H., M.H, selaku Ketua Pusat Studi Pasar Modal FH UII. Dan pembahasan terakhir mengenai Menimbang Amandemen UUD NRI Tahun 1945 Kelima yang disampaikan oleh Dr. Nanik Prasetyaningsih, S.H., M.H, merupakan Pakar Hukum Tata Negara FH UMY dan Allan Fatchan Gani W, S.H., M.H, selaku Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII.
Era disrupsi menghadirkan berbagai inovasi yang mengubah tata kelola industri yang sudah mapan. Salah satu sektor industri yang terdampak adalah industri keuangan. “Salah satu bidang yang terdisrupsi oleh teknologi yaitu bidang keuangan.” ungkap Inda.
“Saat ini kita semua memanfaatkan layanan industri keuangan. Maka dari itu hukum harus mengikuti perkembangan tersebut untuk mengatur dan melindungi. Sayangnya inklusi jasa keuangan di Indonesia dan ASEAN tidak sejalan dengan orang yang bisa mengakses, hal ini dapat terlihat dengan rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk berinvestasi”, tambahnya.
Dr. Khotibul Umam turut menimpali, “Perkembangan era globalisasi menjadi tantangan tersendiri dalam bidang keuangan syariah. Maka ke depan banyak hal yang dapat digantikan dengan algoritma teknologi dalam memenuhi kebutuhan terkait bidang keuangan”.
Sesi bidang hukum tata negara membahas mengenai Amandemen UUD 1945 yang kelima. Amandemen merupakan salah satu cara untuk mengejar ketertinggalan hukum dengan perkembangan kebutuhan manusia. Pengaturan konstitusi atau penyempurnaan sistem ketatanegaraan perlu terus diupayakan.
“Berbicara soal konstitusi berkaitan dengan pembahasan pembatasan kekuasaan. Adapun fungsi konstitusi yaitu mengatur terkait struktur ketatanegaraan, hubungan antar struktur ketatanegaraan dan jaminan hak asasi manusia.” ungkap Allan dalam penyampaian konstitusi.
Perubahan konstitusi dari amandemen pertama hingga amandemen keempat mengalami perubahan besar demi menyempurnakan konstitusi tersebut, tentunya demi menciptakan situasi ketatanegaraan yang kondusif. Banyaknya kekurangan dalam amandemen terakhir, sehingga menjadi suatu perdebatan apakah perlukah dilakukan perubahan.
“Jika hanya untuk mengakomodir kebutuhan kekuasaan saat ini menjadi tidak perlu. Akan tetapi apabila merujuk pada teori konstitusi, diperlukan perubahan sebagai bentuk pembaharuan hal-hal yang perlu disempurnakan dalam sistem ketatanegaraan”, tegas dari Dr. Nanik. (MRA/ESP)