,

Pemindahan Ibukota Bisa Wujudkan Pemerataan dan Keadilan Sosial

Rencana pemindahan ibukota baru ke Kalimantan Timur menimbulkan berbagai perdebatan. Pro dan kontra dari berbagai kalangan menjadi bahan diskusi yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Selasa (10/12) Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Indonesia mengadakan diskusi bersama akhir tahun 2019 tentang Kajian Kritis Rencana Pemindahan Ibukota di Auditorium Gedung Moh Natsir. 

Perdebatan yang banyak terjadi membutuhkan banyak kajian dari berbagai bidang keilmuan. Para ahli dihadirkan untuk menyampaikan setiap kajiannya dari sudut pandang yang berbeda dengan mendatangkan Ir. Heru Cahyono, Prof. Ir. Sarwidi, MSCE., Ph.D.,IP-U., H. M. Jazir, ASP., Prof. Dr. Siti Irene A.D.,M.SI., Dr. Wing Wahyu W.,MAFIS., CA.,Ak., dan Ir. Suparwoko, MURP., PhD. 

Mengawali diskusi, Ir. Heru Cahyono selaku ketua LPJK Kalimantan Timur memaparkan kesiapan Kalimantan Timur sebagai Ibukota Negara RI. Heru memulai dengan mengenalkan kondisi Kalimantan Timur. Ia mengatakan bahwa Kaltim adalah provinsi yang sangat kaya raya, akan tetapi proses pembangunan infrastruktur belum memadai sepenuhnya. Di balik penyampaian prolog tersebut, ia mencoba menyampaikan bahwa dengan adanya pemindahan ibukota merupakan awal dari kebangkitan pemerataan pembangunan. 

Di hadapan para audience, Heru bertutur bahwa Kalimantan Timur memiliki banyak keunggulan sehingga menjadi pilihan yang tepat untuk dijadikan ibukota baru. Lokasi Kaltim yang aman dari resiko bencana gempa, gunung meletus dan tsunami.

Keunggulan lainnya bahwa kondisi lahan yang masih sangat memadai, ketersediaan sumber air dan dari segi pertahanan sangat didukung oleh tri matra terpadu. Kelebihan lain yang dimiliki dari segi kependudukan yang heterogen, sehingga potensi konflik sangat rendah dan bahkan keterbukaan terhadap pendatang sangat tinggi. 

Potensi Bencana di Kaltim

Merujuk pada penekanan kondisi wilayah Kaltim yang aman terhadap bencana gempa menjadi menjadi sebuah pertanyaan akan kebenarannya, untuk itu diskusi ini menghadirkan Prof. Ir. Sarwidi, MSCE., Ph.D.,IP-U selaku ketua harian unsur pengarah BNPB RI. Sarwidi menyampaikan kesiapan yang diperlukan penanggulangan bencana. 

“Jika ancamannya kecil, maka rasionya juga kecil,” pungkasnya. 

Sarwidi memperkenalkan aplikasi inaRISK untuk bisa mengetahui resiko bencana suatu daerah. Ditinjau dari aplikasi tersebut, terdeteksi potensi bencana di Kaltim tergolong kecil. Ia menambahkan, “Kalaupun potensinya kecil, tetapi jangan sampai kita menganggapnya tidak ada.”

Diskusi menarik dilanjutkan dengan pembahasan dari sudut pandang aspek sejarah yang disampaikan oleh H. M. Jazir, ASP. Dalam penuturannya pemindahan suatu ibukota bukanlah sebatas persoalan teknis, akan tetapi persoalan filosofis ideologis. Menurut Jazir pemindahan ibukota sama halnya dengan memindahkan roh negara. Sehingga butuh menanamkan jiwa negara. 

“Jakarta adalah pusat persebaran ideologis Pancasila dan Jakarta adalah tempat lahirnya pergerakan nasional,” tegasnya. 

Kajian dari segi historis didukung dengan penjelasan dari aspek sosiologis yang dipaparkan oleh Prof. Dr. Siti Irene A.D.,M.SI menunjukkan keputusan memindahkan ibukota membutuhkan proses. Garis besar dari pemindahan ibukota terletak pada pembangunan dengan tujuan pemerataan dan menjadi hal yang sangat mendasar. Irene menerangkan dalam pembangunan harus memiliki nilai-nilai yang tidak hanya membicarakan soal pemindahan ibukota negara tetapi proses sosial yang terjadi membutuhkan kajian secara bertahap. 

“Secara sosiologis saya menawarkan resiliensi masyarakat, modal sosial dan literasi sosial,” pungkasnya. 

Mengakhiri penuturannya, Irene menyampaikan empat hal mengenai hasil kajiannya. “Semua aspek harus dipahami secara komprehensif, kelayakan harus dilihat dalam pendekatan murni dimensional, perlu pemilihan bidang-bidang yang paling utama untuk dipindahkan dan perlunya analisa waktu karena tidak sebatas mempersoalkan pemindahan ibukota tetapi Indonesia memiliki masalah sosial ekonomi yang sangat luar biasa” pungkasnya. 

Memindahkan Ibukota atau Kementerian

Aspek ekonomi juga membutuhkan pengkajian yang dalam dan disampaikan oleh Dr. Wing Wahyu W.,MAFIS. “Pemindahan ibukota sulit dan membutuhkan biaya besar,” tuturnya mengawali diskusi. Sehingga secara langsung Wing menyampaikan ide untuk memindahkan kementerian bukan ibukota.

Tentu ide ini dilandasi dengan alasan biaya yang lebih murah, dapat dilakukan secara bertahap dan masing-masing kementerian dapat berkembang sesuai dengan fungsinya. Wacana pemindahan ibukota tidak memberikan jawaban pasti akan tingkat keberhasilannya yang juga memiliki kemungkinan untuk gagal sesuai pernyataan Wing. 

“Jika tetap dipindah, siapa yang bisa menjanjikan pemindahan ibukota ini akan lebih berhasil dibanding di Jakarta? Justru hal ini tidak menyelesaikan masalah tetapi menunda masalah.” ungkapnya. 

Tata ruang ibukota negara baru berkeadilan menjadi topik kajian terakhir yang disampaikan Ir. Suparwoko, MURP., PhD.  Mendukung ide dari Dr. Wing Wahyu W.,MAFIS untuk mengambil langkah memindahkan kementerian. “Pemindahan kementerian dapat memberi manfaat bagi daerah” tuturnya. Pemindahan kementerian dapat menjadi kunci pembangunan dengan peningkatan infrastruktur untuk mendukung pendidikan, transportasi dan lainnya. Hal tersebut justru akan menguatkan nusantara. (NR/ESP)