Menjadi Pemilih Cerdas dan Kritis
Pemilihan umum yang sudah di depan mata membuat suhu politik kian memanas. Kontestasi yang sengit di antara para elit politik turut berimbas pada meningkatnya gesekan di antara pendukung di masyarakat. Hal ini tentunya perlu diantisipasi agar penyelenggaraan pemilu tetap berlangsung damai dan substantif.
Ini juga yang menjadi pokok bahasan Seminar Nasional yang diadakan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Islam Indonesia (UII) pada Kamis (28/3) di kampus Fakultas Hukum UII. Seminar yang dihadiri oleh Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI), Pramono Ubaid Tanthowi ini mengusung tema ‘Mendorong Pemilu Damai dan Substantif: Peta Jalan Menuju Perlindungan Hak Memilih’.
Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., selaku rektor UII, dalam sambutannya menekankan menjadi pemilih waras dan mandiri. “Mari menjadi pemilih yang mandiri dan mengedepankan akal sehat. Semoga pemilu segera berlalu dengan berkualitas, menghasilkan orang-orang terpilih dengan legitimasi tinggi. Semoga bangsa Indonesia kembali waras dan tidak membocorkan energi yang terbatas, untuk sesuatu yang tidak berdampak untuk kemajuan bangsa”, pesannya.
Dalam paparannya, pembicara Pramono menjelaskan bahwa antusiasme masyarakat dalam menyambut Pemilihan Presiden (Pilpres), secara tidak langsung membuat kampanye caleg kurang terdengar. Ini tentu menjadi tantangan para caleg mempromosikan programnya.
“Selain mengurangi kesempatan caleg berkampanye, ternyata ada setidaknya hampir setengah dari pemilih di Indonesia yang tidak tahu tanggal pemilu,” paparnya. Ia menganggap ini sesuatu yang tidak wajar dimana para pemilih tahu siapa yang akan mereka pilih, tapi tidak tahu kapan mereka harus memilihnya. Beliau juga mengimbau untuk tidak meremehkan dampak hoaks karena dapat mempengaruhi elektabilitas para calon.
Sementara itu, Eko Riyadi S.H., M.H selaku ketua PUSHAM UII lebih menyorot fenomena politik identitas yang mengasosiasikan aktifitas politik dengan latar belakang pelaku politik. Ia menyebut contoh seorang tokoh agama dan adat di sebuah daerah di Lombok Utara mendapat larangan untuk menjalankan aktifitasnya karena berseberangan pilihan politik dengan elit politik setempat. Eko menyimpulkan bahwa terkadang tidak semua isu atau konflik agama adalah murni tentang agama, sebagian boleh jadi politik.
Sedangkan, pembicara Burhanuddin Muhtadi, M.A., Ph.D menjelaskan bahwa pemilih memilih berdasarkan faktor sosiologis yang linear. “Kita akan memilih para calon yang pemikirannya sama dengan apa yang kita pikirkan, yang kita setujui, dan memiliki visi yang sama”, katanya. (IG/ESP)