,

Melantangkan Pesan Perdamaian Melalui Dialog Kebangsaan

Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama dengan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Orwil D.I. Yogyakarta menyelenggarakan Dialog Kebangsaan dengan tema ‘Islam, Kebangsaan, dan Perdamaian’. Kegiatan yang juga digelar dalam rangka rangkaian kegiatan Milad ke-76 UII ini, pada Kamis (28/2), di Auditorium Prof. Dr. Abdulkahar Mudzakkir, menghadirkan narasumber Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir dan Budayawan, Emha Ainun Nadjib.

Rektor UII, Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. menyampaikan, melalui dialog kebangsaan, UII dan ICMI berbagi kegalauan yang sama atas munculnya stigma terhadap wajah Islam yang sering diidentikkan dengan beragam peristiwa anti-kedamaian dan lunturnya nilai-nilai kebangsaan di sebagian anak bangsa. “Dialog Kebangsaan seri sebelumnya telah diselenggarakan di Kampus Universitas Alma Ata pada 21 November 2018 yang lalu,” tutur Fathul Wahid ketika membuka acara di hadapan 2000 peserta yang memadati ruang Auditorium.

Fathul Wahid menyebutkan, berdasarkan Pew Research Center yang bermarkas di Amerika, dua orang peneliti Nils Petter Gleditsch dan Ida Rudolfsen menyebut Islam sebagai agama dengan perkembangan tercepat sejagad. Pada 2015, empat tahun lalu, Islam dianut oleh sebanyak 1,8 milyar atau 24,1% dari penduduk Planet Biru ini. Pew Research Center memprediksi, angka ini akan menjadi 3 milyar (atau 31,1% dari populasi Bumi) pada 2060. Pertumbuhan yang fantastis: 70%. Bandingkan dengan prediksi pertumbuhan penduduk dunia yang “hanya” 32%, dalam kurun waktu yang sama.

“Tentu ini adalah kabar menggembirakan, namun di sisi lain, dalam sejarah modern sampai saat ini, banyak negara Muslim di Timur Tengah, saudara-saudara kita, mendapatkan ujian berupa konflik, yang beberapa di antaranya sudah berlangsung lama dan nampak tak berkesudahan. Korban jiwa sudah mencapai jutaan,” ungkap Fathul Wahid.

Mengutip dari peneliti Peace Research Institute di Oslo (PRIO), Nils Petter Gleditsch dan Ida Rudolfsen, dari 1946-2014 data yang terkumpul menunjukkan bahwa dari 49 negara yang mayoritas penduduknya Muslim, 20 (atau 41%) di antaranya mengalami perang sipil (perang sesama anak bangsa), dengan total durasi perang 174 tahun atau sekitar 7% dari total umur kumulatif semua negara tersebut (2,467 tahun).

Lebih lanjut disampaikan Fathul Wahid, pasca perang dingin, sebagian besar perang adalah perang sipil dan proporsi terbesar terjadi di negara-negara Muslim. Bukan hanya karena perang sipil di negara-negara Muslim meningkat, tetapi juga karena konflik di negara lain berkurang.

”Tentu catatan optimis masih ada. Empat dari lima Negara dengan penduduk Muslim terbesar, tidak terjebak dalam perang sipil. Indonesia salah satunya.Tiga yang lain adalah India, Bangladesh, dan Mesir,” tuturnya.

Menurut Fathul Wahid, bisa jadi perang sipil yang terjadi di banyak negara Muslim, juga karena mereka masih berproses menjadi sebuah bangsa dengan keragaman. Identitas kelompok masih bertanding menjadi identitas utama. Belum disepakatinya platform bersama, kalimatun sawa, yang menjadi pengikat semua anak bangsa.

“Padahal, menurut Francis Fukuyama, dalam bukunya yang terbaru yang berjudul Identity, memberikan pelajaran, bahwa dalam konteks sosial yang beragam, kata kuncinya tidak lagi identity tetapi identities. Keragaman penyusun identitas bersama tetap harus diberi tempat,” ujar Fathul Wahid.

Indonesia, nampaknya menjadi contoh yang indah. Indonesia dibangun di atas keragaman. Sejak berdirinya, republik ini tersusun dari anak bangsa dengan beragam latar belakang: suku, bahasa, dan agama. Keragaman ini oleh para pendiri bangsa telah dirangkai menjadi mozaik yang indah, yang diikat dengan persatuan.

“Sebaliknya, hanya mengedepankan perbedaan akan menggadaikan hati nurani. Karenanya, di era paskakebenaran yang lebih mengedepankan emosi dibanding fakta, mengembangkan lensa kolektif yang dapat menerima keragaman dengan ikhlas, menjadi sangat menantang,” imbuh Fathul Wahid.

Dua hal yang berbeda, sudah seharusnya tidak selalu dianggap berdiri berseberangan secara diametral. “Dalam banyak kasus, yang berbeda bisa saling melengkapi ketika nilai-nilai abadi seperti kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan tidak dilanggar. Semangat ko-eksistensi perlu dijaga dan dipupuk,” tandas Fathul Wahid.

Disampaikan Haedar Nashir, pada awal pergerakan yang pro nilai kebangsaan dengan semangat al-Hujarat: 13, Islam ingin setiap bangsa dan negeri yang barokah, seperti halnya doa Nabi Ibrahim, ada nilai-nilai taqwa dan iman sebuah kontrsuki kebangsaan seperti dalam surah al-A’raf.

Haedar Nashir menangkap ada kekerdilan cara memahami Indonesia. Sering cara membaca dan mengkontruski Islam Indonesia menggunakan tafsirnya sendiri, bahkan dipakai untuk memukul pihak lain, bahkan menyempitkan penafsiran pihak lain, sehingga berebut penafsiran.

Disampaikan Haedar Nashir, kekerdilan cara kita mengkonstruksi Islam, juga Islam muncul sebagai identitas. Kami sadar organisasi ini hadir sebagai pilihan organisasi pergerakan. “Organisasi sebagai wasilah untuk menuju tujuan yang lebih mulia. Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang membangun peradaban akhlaq mulia. Narasi itu muncul, tapi kehilangan makna yang substantif. Lebih-lebih ketika Islam ditarik ke dalam ranah politik, kontruksi menjadi sangat kacau dan berbahaya” ungkapnya.

Berikutnya, kekerdilan cara mengkonstruksi Islam, kemudian juga Islam muncul tingkat kehidupan kita juga kerdil, di mana yang muncul ialah konstruksi survey. ”Misal masjid radikal dan lainnya, dinarasikan dengan pemahaman jangka pendek. Survey dalam metodologi kelimuan oke, tetapi menjadikan satu-satunya identitas bisa menjadi sesat fikir,” tandasnya.

Sementara disampaikan Emha Ainun Nadjib, Islam asasnya manfaat bukan kompetensi seperti yang ada di globalisasi. Dalam Islam tidak ada asas kompetensi adanya asas manfaat. Islam tidak ngomong tafsir tapi Islam ngomong tadabbur.

”Dalam Al Quran itu adanya tadabbur. Kamu tidak pinter tidak papa yang penting apa setelah itu yang keluar. Sehingga keluarnya rahmatan lil ‘alamin bukan lin naas. Bukan rahmatan lin nas, rahmatan li anfusihim. Penjajahan sekarang bukan teritorial tapi secara moral budaya dan lain lain,” ungkapnya.

Disampaikan Emha Ainun Nadjib, rumusnya dakwah adalah bil hikmah. Dakwah harus selalu dengan hikmah. Kata “tawashau” dalam surat al-‘Ashr itu diikuti dengan bil haqq dan bish shabr, saling-mengingatkan dengan kebenaran dan kesabaran, bukan dalam kebenaran dan kesabaran.

Melalui dialog kebangsaan dengan tajuk “Islam, Kebangsaan, dan Perdamaian” ini, semoga semakin menyegarkan pemaknaan kita atas Islam yang identik dengan perdamaian. Pesan perdamaian Islam semakin dilantangkan dan bisa menjadi model perdamaian di Indonesia dan dunia. (RS/RPS)