Menemukan Kembali Fitrah Kita

Idulfitri dapat bermakna dua. Secara literal, ia dapat diartikan sebagai kembali makan atau sarapan, setelah sebulan menjalankan puasa Ramadan. Ifthar yang bisa digunakan untuk menyebut buka puasa, juga berarti sarapan. Dalam bahasa Inggris, breakfast yang diartikan sarapan, dari kata penyusunnya, dapat bermakna membatalkan puasa.

Idulfitri, secara substantif, bisa dimaknai sebagai kembali kepada karakter asal, fitrah. Teks Alquran dan Hadis memberikan beragam sinyal tentang karakter yang seharusnya melekat ke kita, manusia. Berikut adalah dua di antaranya.

Pertama, Alquran dengan sangat jelas menyatakan bahwa manusia dan jin, diciptakan dengan tujuan tunggal, yaitu untuk mengabdi, beribadah, kepada Tuhannya, Allah (QS Adzdzariyat 51: 56). Sepanjang nafas masih ada, semua yang kita lakukan, sudah seharusnya diwarnai dengan niatan ibadah. Bahkan tidur pun bisa bermakna ibadah, ketika berada pada kondisi tertentu dan diniati dengan benar, seperti tidurnya orang berpuasa.

Apalagi aktivitas lain yang jelas mendatangkan manfaat. Sebagai dosen, membaca literatur, menjalankan riset, menulis artikel, mengajar mahasiswa, atau mengoreksi hasil ujian, semuanya dapat bernilai ibadah. Sebagai tenaga kependidikan, melayani mahasiswa dengan baik adalah aktivitas mulia bernilai ibadah yang diberikan kepada para mujahid penuntut ilmu. Sebagai mahasiswa, sangat jelas disabdakan oleh Rasulullah, menuntut ilmu adalah berada di jalan jihad. Ilmu sebagai sebuah hidayah harus diperjuangkan dengan keras, dengan jihad (QS Alankabut 29: 69).

Semuanya tentu jika dibarengi dengan niat lurus dan ketulusan dalam mengerjakannya. Jika ini yang kita lakukan, maka kita insya Allah menjaga fitrah kita sebagai manusia, untuk selalu mengabdi kepada Allah.

Kedua, Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan beragam (QS Alhujurat 49: 13).

Keragaman inilah yang memandatkan kepada kita untuk saling mengenal, lita’arafu. Mengenal akan memberikan informasi lebih baik dan tidak banyak berprasangka. Merasa menjadi yang terbaik karena asal primordial kita, seperti jender atau kelompok kita, tidak dianjurkan. Dalam ayat lain, dengan jelas Allah berpesan bahwa kita dilarang mengolok-olok, nyinyir terhadap, orang atau kelompok lain, karena tak seorangpun yang bisa menjamin bahwa kita lebih baik dari mereka (QS Alhujurat 49: 11). Memberikan label buruk pun dilarang. Juga berprasangka, karena ada dosa di dalamnya (QS Alhujurat 49: 12). Prasangka tidak berandil sedikitpun dalam mencapai kebenaran (QS Yunus 10: 36).

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS Alhujurat 49: 11)

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS Alhujurat 49: 12)

“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS Yunus 10: 36)

Di sini sangat jelas dipesankan bahwa secara fitrah kita beragam, dan karena ini, mengenal dengan baik tanpa dibumbui prasangka diwajibkan. Membina hubungan baik antarsesama sudah seharusnya menjadi bagian dari budaya kita. ‘Nyinyirisme’ dan hobi memberikan stigma dan label buruk kepada orang lain sudah seharusnya dihapus dari kamus kehidupan kita.

Kata Allah sangat jelas, yang terbaik bukan ditentukan oleh kebanggaan primordialisme, tetapi oleh kualitas pengabdian, takwa kita. Ketakwaan juga yang menjadi tujuan berpuasa. Semoga kita termasuk di dalam kelompok ini.

Masih banyak indikasi karakter asal, fitrah, yang seharusnya kita budayakan dan mewarnai keseharian kita.

Semoga Idulfitri kali ini menjadi momentum untuk menemukan kembali fitrah kita dan menjadikannya sebagai acuan dan mewarnai semua aktivitas kita.

Artikel ini ditulis oleh Rektor UII dan disertakan dalam Sambutan Rektor yang disampaikan pada acara Syawalan dan Pelepasan Calon Jamaah Haji Universitas Islam Indonesia, 11 Syawal 1439/25 Juni 2018.