Kesehatan Mental Ditinjau dalam Psikologi Islam

Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi (IMAMUPSI) Prodi Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar kajian bertemakan “Kesehatan Mental dalam Psikologi Islam” pada Rabu (11/4), bertempat di Ruang 3.19 lt.3 Gedung FPSB. Kajian ini menghadirkan Dr. Ahmad Rusdi, S.Sos., M.Si. yang juga merupakan dosen Psikologi.

Dalam pemaparannya, Ahmad Rusdi menjelaskan dalam Islam, setidaknya ada lima paradigma yang dapat digunakan dalam mengukur kesehatan mental. Paradigma tersebut membentuk piramida dari yang terendah, yaitu normalitas, kemudian pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu akhlak mazmumah (akhlak tercela), akhlak mahmudah (akhlak terpuji), keseimbangan nafsiyah, dan yang paling tinggi adalah orientasi ilaahiyah.

Menurutnya pada tingkatan tertinggi, di dalam Islam kesehatan prilaku dapat dipandang dari orientasinya. Perilaku sehat adalah perilaku yang diorientasikan untuk beribadah kepada Allah. Orientasi inilah yang menentukan sehat atau tidaknya sebuah perilaku.

Ia juga kemudian mengutip sebuah qaidah fiqhiyyah yang berbunyi, “Al-Umuuru Bimaqashidiha” yang artinya segala perilaku tergantung kepada maksud dan niatnya. “Semua yang karena Allah itu sehat. Sedih karena Allah, itu sehat, sementara sedih yang orientasinya dunia maka itu justru penyakit,” ungkapnya.

Selanjutnya, Ahmad Rusdi menjelaskan paradigma mengukur kesehatan mental adalah keseimbangan nafsiyah. Kesehatan mental diukur dengan melihat sebuah perilaku pada kadar yang seimbang. Ia selanjutnya memberi contoh, bahwa sifat berani yang baik adalah yang seimbang, karena sifat berani yang berkelebihan dan berorientasi kepada kemunkaran justru tidak sehat.

Demikian juga menurutnya dengan kecerdasan. “Kecerdasan juga sama. Penggunaan kecerdasan untuk madharat itu licik. Orang yang memiliki hikmah, maka ia bijak, di tengah-tengah dan berpikir sehat. Maka IQ bagus dalam Islam ketika daya akalnya bisa mengendalikan,” ungkapnya.

Pada tahapan selanjutnya, untuk mengukur kesehatan mental adalah akhlak mahmudah (terpuji). Perilaku yang nampak dalam keseharian, contohnya kesantunan, sikap tawakkal, sikap syukur dan shabar. Pada paradigma yang lebih rendah, ahlak mazmumah (tercela) juga dapat dijadikan sebagai tolak ukur.

Ahmad kemudian menjelaskan dalam Islam, mengukur kesehatan mental seseorang adalah seberapa banyak akhlak terpuji yang terpancar dalam perilaku dan seberapa sedikit ahlak tercelanya.

Kemudian yang terakhir, paradigma mengukur kesehatan mental adalah normalitas (Al-‘Aady), atau standar kelayakan. Hal ini lah yang kemudian menjadikan mengapa adat istiadat menjadi penting, karena menyangkut standar umum sebuah perilaku di dalam suatu tempat. (MIH/ESP)