,

Dosen UII, Mengabdi Dengan Memanfaatkan “Sampah”

Sampah boleh jadi hanya sebagai barang yang tidak berharga. Namun, melalui buah pemikiran dosen Program Studi Teknik Lingkungan UII, Hijrah Purnama Putra, S.T., M.Eng. sampah menjadi barang yang sangat berharga dan memiliki nilai jual tinggi. Ide ini berawal saat dirinya mendapatkan berbagai tugas tentang permasalahan lingkungan dan melakukan berbagai survei.

Hijrah Purnama saat ditemui pada Senin (22/1) menuturkan, masalah lingkungan ternyata ada di mana-mana terutama yang paling terlihat adalah masalah sampah. Ia mencari ide untuk dapat melakukan sesuatu agar sampah dapat ditahan perpindahannya menuju pembuangan akhir atau hanya dibakar percuma. Tepatnya pada tahun 2008, Hijrah Purnama bersama ketiga rekannya yang sama-sama di Teknik Lingkungan mencoba mengumpulkan sampah-sampah plastik yang tidak laku dijual.

Pada saat itu, Hijrah Purnama masih seorang mahasiswa S2 di salah satu universitas di Yogyakarta. Berkat kebiasaannya “nongkrong” di warung burjo timbullah pertanyaan, sampah-sampah dari burjo tersebut akan dikemanakan. Yang kemudian memunculkan ide agar warung burjo sebagai objek untuk diambil sampahnya.

Bersama dengan rekannya, Hijrah Purnama mengumpulkan sampah plastik dari warung burjo tersebut. Sampah itu tidak didapatkan dengan cuma-cuma. Akan tetapi diberi harga sesuai dengan ukuran kemasan sebagai penghargaan sudah mau memilah sampah. Diceritakan, harga yang ditawarkan saat itu sebesar Rp.10,- hingga Rp.70 ,- per lembar.

Bermula dari mengumpulkan sampah dari satu warung burjo, lambat laun warung burjo yang ingin menjual sampahnya bertambah. Karena dirasa lebih menguntungkan dibandingkan dengan harus membayar untuk membuang sampah ataupun dibakar. Kegiatan mengumpulkan sampah yang berjalan selama satu tahun ternyata menimbulkan permasalahan. Yaitu semakin banyaknya sampah yang ditampung hingga memenuhi kapasitas tempat penyimpanan.

Berawal dari permasalahan tersebut, Ia bersama rekannya berpikir untuk membuat produk dari sampah yang sudah terkumpul. Melalui pencarian design di internet, mulailah proses produksi dilakukan. Tanpa keahlian menjahit, untuk proses produksi diserahkan ke pihak lain. Kualitas menjadi permasalahan selanjutnya, namun tidak menjadikan halangan untuk tetap berkembang dan memperbaiki kualitas produksi.

Disampaikan Hijrah Purnama, proses pemasaran mengharuskan produk ini memiliki nama. Tanpa filosofi tertentu, salah satu usulan teman diterima, hingga produk ini dinamakan dengan Project B. “Kalau diplesetkan bisa diartikan Project Burjo,” tambahnya.  Dalam suatu kesempatan, yakni pada tahun 2010 produk “Project B” diekspor ke Filipina. Keinginan untuk membawa nama Indonesia menjadikan nama produk berubah jadi Project B Indonesia.

Tantangan demi tantangan tidak berhenti begitu saja, untuk meningkatkan minat warga dengan produk ini. Mengharuskan Hijrah Purnama memutar otak sehingga kegiatan daur ulang sampah dapat terangkat namanya. Penambahan nama dilakukan menjadi Butik Daur Ulang Project B Indonesia pada tahun 2013 hingga saat ini pengembangan dilakukan.

Perluasan pengumpulan sampah plastik terus dilakukan dengan pembuatan “bank sampah”. Beberapa daerah di Yogyakarta yang sudah menjadi nasabah bank sampah yakni mencakup Sleman, Bantul dan Kota Jogja dengan jumlah 233 nasabah melalui sistem online yang terdiri dari kelompok-kelompok (6-8 orang anggota) dan individu. “Prinsip yang dibangun antara nasabah dengan pihak Project B adalah membangun kepercayaan yang dilakukan dengan sistem keterbukaan,” ujarnya

Dijelaskan Hijrah Purnama, pengambilan sampah yang dilakukan satu bulan sekali dijalankan dengan sistem pembuatan rute pengangkutan sebanyak satu ritasi dan dapat juga diantarkan langsung ke “workshop” jika daerahnya di luar rute pengangkutan. Pengembangan design dilakukan secara terbuka, ide-ide design bisa didapatkan dari karyawan, konsumen dan lain sebagainya.

Diungkapkan Hijrah Purnama,  selain bergerak dalam usaha mengurangi sampah di lingkungan, kegiatanyang dilakukan juga sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat khususnya ibu-ibu. Pekerjaan dilakukan di rumah masing-masing seperti menjahit untuk meningkatkan efisiensi waktu dan juga untuk tidak mengurangi waktu para ibu tersebut dalam mengurusi keluarganya. Setiap bulannya para penjahit melakukan penyetoran jahitan.

“Tercatat pada periode sebelumnya terdapat 18 pegawai yang bergerak dibidang produksi dan pemasaran. Hubungan antara pegawai dengan owner dibangun dengan kekeluargaan,” ujarnya.

Hijrah Purnama menggarisbawahi, motivasi yang dijadikan sebagai landasan untuk tetap bertahan adalah keinginan untuk mengolah sampah dan membuka lowongan pekerjaan. Kegiatan ini dijadikan sebagai wadah untuk melakukan pengabdian masyarakat. Tidak berhenti pada kegiatan mengolah sampah. Keuntungan dari penjualan produk selain digunakan untuk biaya operasional, disisihkan juga untuk menjalankan program lingkungan lainnya.

Saat ini program lingkungan yang sedang berjalan adalah “kompos untuk bumi.” Kegiatan tersebut bertujuan untuk membantu para pembuat kompos di TPS 3R yang tersebar di Yogyakarta dalam pemasaran produk. Kompos-kompos ini dibeli lalu dipasarkan oleh Butik Daur Ulang Project B Indonesia. “Upaya tersebut demi terwujudnya visi rahmatan lil’alamin,” tandasnya.

Dalam menjalankan pengabdiannya, Hijrah Purnama tidak melupakan nilai-nilai keislaman. Prosedur pengrekrutan pegawai diharuskan dapat membaca Al-Quran. Serta terdapat kegiatan keagamaan lain yang dilakukan. “Tingkat pendidikan tidak mempengaruhi kepedulian dalam mengelola sampah. Akan tetapi kesadaran sangat dibutuhkan untuk mengelola sampah,” ungkapnya. (NR/RS)