Pertegas Politik Luar Negeri Dengan Wawasan Kebangsaan

Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Eko Hartono menjadi pembicara pada penyelenggaraan seminar dengan tema “Diplomasi RI dalam Tantangan Global”, yang diinisiasi oleh Program Studi Hubungan Internasional UII, Kamis (19/10), di Gedung Prof. Dr. Sardjito UII.

Eko Hartono yang memulai karirnya pada tahun 1988 dalam materinya secara detail lebih menekankan wawasan kebangsaan yang seharusnya diketahui oleh kelompok intelektual/ mahasiswa. Secara garis besar terdapat lima pembahasan besar yang disampaikan Eko Hartono yakni dasar hukum politik luar negeri RI, sejarah politik luar negeri RI, politik luar negeri RI dan tantangan modern, diplomasi rakyat dan peran diplomat serta pusat pendidikan dan pelatihan Kemenlu.

Menurut Eko Hartono terdapat dua dasar hukum politik luar negeri Indonesia yakni Pembukaan UUD 1945 khususnya Alenia ke 4 dan UU No.37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Prinsip bebas aktif yang merupakan warisan wakil Presiden Mohammad Hatta menjadi prinsip dasar bagi Indonesia dalam menjalin hubungan dengan negara lain.

Sejarah politik luar negeri Indonesia dijelaskan oleh Eko Hartono dalam tiga era yakni 1945-1966, 1966-1998 dan 1999-2017. Pada masa antara 1945-1966, Indonesia baru mencapa proses nation building dengan bukti baru diterimanya Indonesia menjadi anggota PBB pada tahun 1950. Selain itu untuk menjaga eksistensi, Indonesia juga mengadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955.

Selanjutnya seperti didampaikan Eko Hartono, pada periode 1966-1998 mulai melangkah ke ranah implementasi pembangunan nasional dan kepemimpinan regional. Menjadi salah satu pendiri ASEAN pada tahun 1967 merupakan salah satu bukti bentuk implementasi tersebut. Selain itu Indonesia juga menjadi ketua GNB dan ikut serta dalam APEC pada tahun 1994.

”Terakhir pada tahun 1998-2017, Indonesia mulai fokus pada beberapa kasus di regional Asia Tenggara seperti Referendum Timur Leste, Konflik Laut China Selatan, pembentukan ASEAN Charter hingga yang terbaru masalah krisis di Rakhine State, Myanmar,” paparnya.

Eko Hartono menambahkan, pada dasarnya saat ini politk luar negeri Indonesia berjalan, salah satunya dengan program Nawacita 9 pemerintahan Presiden Joko Widodo. Khususnya tentang hubungan luar negeri yakni Diplomasi Ekonomi, Perlindungan WNI dan BHI serta Negara Maritim.

Lebih lanjut disampaikan Eko Hartono, untuk mendukung visi Kemenlu “Terwujudnya wibawa diplomasi guna memperkuat jati diri bangsa sebagai negara maritim untuk kepentingan rakyat” maka diadakan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kemenlu. Didirikan pada tahun 1973, hasil pengembangan dari Akademisi Dinas Luar Negeri (ADLN) oleh Mr. Ahmda Soebardjo. Terdapat empat bidang struktur diklat di pudiklat Kemenlu yakni diklat diplomatik, diklat non diplomatik, diklat teknis dan bidang kerjasama diklat.

Dipaparkan Eko Hartono, tiga jenjang pendidikan diplomatik yang dilaksanakan oleh Pusdiklat Kemenlu yakni Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) untuk diplomat muda, Sekolah Staff Luar Negeri (Sesdilu) untuk diplomat madya dan Sekolah Pimpinan Luar Negeri (Sesparlu) untuk Diplomat Utama.

”Terdapat beberapa program diklat internasional Pusdiklat seperti internasional training course for mid-career diplomatics dll. Selain itu Pudiklat Kemenlu juga mengadakan kerjasama internasional dengan 35 institusi pendidikan diplomatik di seluruh dunia dan berbagai universitas maupun NGO,” jelasnya. (BKP/RS)