Remaja Diminta Pintar Kelola Pergaulan Dengan Nilai Islami
La Ode Munafar merupakan penulis 54 buku yang kerap membahas tentang dakwah. Sosok asal Pulau Muna, Sulawesi Tenggara ini baru saja menyelesaikan bukunya yang ke 55 dengan judul Indonesia Tanpa Pacaran. Judul pada buku ini ia tetapkan setelah membaca 25 judul buku dengan tema pacaran yang berlatarbelakang dari berbagai perspektif.
Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) berkesempatan mengundang penulis untuk mengulik latar belakang maupun isi dari buku tersebut. Acara yang menjadi rangkaian Gema Muharram 1439 H ini diadakan pada Senin (16/10) di Masjid Ulil Albab UII.
Menurut La Ode Munafar, ide dibuatnya buku berasal dari sebuah komunitas bernama “Gerakan tanpa Pacaran”. Komunitas yang berdiri pada tahun 2015 ini terbentuk berawal dari kekhawatiran mulai berkurangnya minat pada Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
“Sekarang komunitas yang ada justru kebanyakan mengarahkan kepada hal praktis seperti One Day One Juz, Baca Qur’an setelah itu lapor selesai. Atau tidak berkesinambungan yang bersifat dakwah.”Tutur La Ode Munafar.
Lebih dalam membahas tentang buku ini, La Ode Munafar memaparkan argumennya dari berbagai aspek seperti ekonomi, ilmiah, psikologis, dan biologis. Ia telah mengambil 700 sampel analisa para aktivis pacaran dengan ketepatan 82%. Dimulai dalam ranah psikologi dengan muncul pertanyaan “Kenapa di Indonesia banyak terjadi pembunuhan yang berawal dari pacaran?”. Bahkan pada tahun 2012 terjadi 44 kasus.
“Secara psikologis laki-laki mempunyai sifat dasar yang disebut edipoesa atau maskulin (menganggap dirinya lebih kuat daripada wanita). Dengan sifat dasar ini laki-laki akan melakukan tindakan agresif jika kemauannya tidak dituruti oleh wanita”, katanya. Naluri laki-laki yang membawa sesuatu dengan logika akan mudah membuat rasa bosan. Unsur-unsur inilah yang nantinya akan membawa dampak kriminal termasuk pembunuhan.
“Di Balikpapan dalam satu tahun terjadi 9.000 lebih kasus percerian dan wanita sebagai pihak penggugat karena tidak kuat dengan perlakuan suaminya. Namun sifat edipoesa yang dimiliki oleh laki-laki akan mengeluarkan ancaman atas tindakan si perempuan”, Tuturnya.
Dalam analisis lainnya, ia menggunakan indikator efisiensi waktu. Menurut survey, orang yang berpacaran telah menghabiskan 45 jam waktunya dalam seminggu. Didukung dengan survey yang lainnya tentang keberlanjutan ke jenjang pernikahan bahwa 84% orang berpacaran tidak sampai menikah.
“Coba jika 45 jam waktunya dalam seminggu digunakan untuk hal-hal yang lebih berguna seperti membaca, menulis atau membuat sesuatu yang lebih bermanfaat bagi orang lain. Dan akan percuma jika pada akhirnya nanti waktu yang telah anda gunakan itu hanya untuk menjaga jodoh orang lain.” Tuturnya.
Ia menutup paparannya dengan nasihat agar audiens mengelola hubungan dengan prinsip-prinsip Islami. Maksudnya, hubungan dengan lawan jenis hendaknya tidak mengarah pada hal-hal negatif. Apabila merasa telah mampu, menikah adalah solusi terbaik. (BKP)