Cegah Radikalisme Melalui Pendidikan Agama Yang Inklusif
Salah satu persoalan yang dialami bangsa Indonesia belakangan ini adalah terkait Radikalisme Agama yang bentuk gerakannya ingin menjadikan Islam sebagai agama sekaligus negara. Gerakan ini dianggap radikal karena cenderung menggunakan kekerasan yang berbasis agama.
Untuk menyikapi hal tersebut, Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) mengadakan Seminar Nasional yang bertemakan “Pendidikan Agama yang Inklusif dalam Menangkal Radikalisme Agama di Perguruan Tinggi” pada Senin (9/10), bertempat di Gedung Perpustakaan Moh. Hatta UII.
Turut hadir narasumber pada seminar nasional ini Dr. Hujair AH Sanaky, MSI, selaku Direktur Studi Islam, Nur Khalik Ridwan seorang Akademisi di Pondok Pesantren Padanaran dan Dr. Zuly Qodir merupakan Dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Pada senimar ini, Nur Khalik Ridwal menyampaikan bahwa Islamisme, perjuangan kekuasaan politik untuk memperjuangkan suatu tantangan yang berbeda dengan apa yang ada dan telah disepakati oleh negara Republik Indonesia yang berlandaskan pascasila, mungkin ini adalah sebuah persoalan yang sangat serius
“ini menjadi tantangan bagi kita karena kelompok islamisme ini kemudian masuk ke perguruan tinggi, Sekolah Menengah Atas (SMA),” ungkapnya.
Zuly Qodir menambahkan bahwa fenomena yang terjadi di sekolah-sekolah saat ini adalah menyebarnya eksklusivisme yang cenderung intoleran atas pandangan/paham yang berbeda. Pada proses penyebarannya biasanya melalui kurikulum, ekstrakulikuler, dan kegiatan lain di sekolah.
Hujair Sanaky menjelaskan perlunya memasukkan nilai-nila inklusif dalam pendidikan Islam, hal ini karena yang terjadi di masyarakat saat ini adalah mulai menurunnya kesadaran tentang pluralitas yang meniscayakan multi etnik dan multi agama yang tumbuh dalam masyarakat yang berbhineka.
“Dalam Proses Pendidikan diperlukan peninjauan ulang terhadap dokrin-dokrin agama yang “kaku” dan kurang humanis,” ujar Hujair Sanaky.
Untuk mengatasi hal tersebut, Hujair Sanaky menekankan untuk mencegah lahirnya radikalisme yang dapat dilakukan dengan cara merombak total cara pandang agama Islam, cara mengajarkan pelajaran agama kepada para murid, dalam hal ini peran guru sebagai pendidik menduduki posisi kunci. Sebab di tangan para guru/dosen lah, anak didik dapat dibentuk cara pandangannya terhadap agama dengann kacamata rahmatan lil alamin.
“Dalam membibit nilai-nilai agama yang inklusif di kelas, maka proses pendidikan agama harus moderat, agama itu cinta kasih. Ajarkan bahwa Islam itu adalah agama kasih sayang Allah SWT sebagai Rahmatan lil ‘alamin,” ungkap Hujair Sanaky. (NA/RS)