Menakar Regulasi Dinasti Politik dan Potensi Korupsi di Daerah
Dalam praktik penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, muncul satu fenomena hadirnya dinasti politik, yaitu adanya kesinambungan pemerintahan dari lingkaran satu keluarga. Fenomena inilah yang kemudian menjadi kritik masyarakat atas berbagai fakta di lapangan yang mengarah pada terciptanya sebuah potensi korupsi dan dinasti politik di daerah yang melanggengkan kekuasaan keluarga melalui keikutsertaannya dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Sebagaimana tergambar dalam acara seminar nasional yang bertajuk “Dinasti Politik dalam Pilkada & Potensi Korupsi di Daerah” yang dilangsungkan di Ruang Sidang Utama Lt.3 Fakultas Hukum UII, Sabtu (20/5). Seminar yang diprakarsai oleh Departemen Hukum Tata Negara (HTN) FH UII ini mengundang para narasumber yang mempunyai kompetensi dibidangnya, yakni Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Periode 2017-2022, Prof. Dr. Saldi Isra, SH.,MPA., Pakar HTN FH UII, Prof. Dr. Ni’matul Huda, SH.,M.Hum., dan Akademisi UAJY, Dr. W. Riawan Tjandra, SH.,M.Hum. Serta hadir sebagai keynote speaker, Ketua Hakim MK Periode 2008-2013, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH.,SU.
Dekan FH UII, Dr. Aunur Rahim Faqih, SH.,M.Hum. dalam sambutannya menyampaikan bahwa Indonesia sudah dikepung persoalan korupsi mulai dari tingkat RT hingga pejabat level atas minta jatahnya masing-masing.
“Saat ini korupsi sudah menjadi kegelisahan bersama, mudah-mudahan para pembicara dapat memberikan kontribusi yang nyata untuk menyelesaikan masalah tersebut”, tuturnya.
Sementara Mahfud MD menyatakan bahwa pejabat di Indonesia memang terlalu kreatif namun bukan dalam artian positif, tapi kreatif untuk korupsi. Karena sudah beberapa kali Undang-Undang yang mengatur tentang pilkada di revisi tetapi tetap saja ada celah untuk dikorupsi.
“Kita terlalu kreatif untuk korupsi, oleh karena itu maka diperlukan instrument hukum pengawasan pilkada yang lebih ketat dan pengawasan dari kekuatan rakyat”, paparnya.
Sedangkan Saldi Isra dalam materinya menyampaikan bahwa untuk mendeteksi para pejabat yang berpotensi untuk melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di daerah sangatlah mudah.
“Ada 4 perda yang dapat digunakan untuk melacak praktik kkn di daerah, yakni perda tentang pertalian darah, perda pertalian daerah, perda pertalian dakwah, dan perda pertalian dana”, ujarnya.
Ditambahkan Ni’matul Huda bahwa dinasti politik tidak hanya sekedar dominasi kekuasaan oleh aktor politik yang mewariskan dan memproduksi kekuasaanya kepada keluarganya, tetapi hal tersebut juga dikonstuksi sedemikian rupa untuk mengelabuhi masyarakat.
“Dalam dinasti politik bukan hanya soal warisan kekuasaan kepada keluarga, tetapi hal tersebut juga di desain dalam sebuah konstuksi dan relasi sosial yang berkeadilan dan lebih humanis”, pungkasnya.
Kemudian Riawan Tjandra menyatakan bahwa dinasti politik tidak cocok dan cenderung bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang diterapkan di Indonesia.
“Prinsip dinasti adalah pemusatan kekuasaan, ini bertentangan dimaetral dengan demokrasi yang justru berpijak pada desentralisasi kekuasaan, baik secara vertikal maupun horizontal”, ungkapnya. (IH)