Program Studi Hubungan Internasional (PSHI) Universitas Islam Indonesia (UII), bekerja sama dengan Sungkonghoe University (SKHU), Korea Selatan, menggelar sosialisasi studi lanjut bertajuk “Sharing Session: Master of Arts in Inter-Asia NGO Studies (MAINS)” pada Jumat (5/7). Acara yang digelar secara daring melalui kanal zoom meeting tersebut tersebut menghadirkan Prof. Kyung Tae Park, Professor of Sociology di SKHU, sebagai pembicara mengenai program MAINS di SKHU.

Pada sambutannya, Masitoh Nur Rohma, S.Hub.Int., M.A. selaku Sekretaris PSHI Program Internasional mengungkapkan relasi UII dan SKHU yang sudah terjalin cukup lama. Sejumlah alumni PSHI UII disebut merupakan lulusan program magister di SKHU. Oleh karenanya, pelaksanaan sesi berbagi diharapkan agar audiens mendapat wawasan lebih dalam merencanakan masa depan.

“Apabila nanti Anda tertarik untuk melanjutkan studi, terutama untuk mendapat keahlian lebih di program magister, kami sangat menyarankan Anda untuk menelusuri program ini. Akan ada banyak hal-hal menarik yang saya yakin Anda bisa dapat ketika melanjutkan belajar di isu-isu HI, terutama terkait NGO (lembaga swadaya masyarakat/LSM),” tuturnya.

Dimoderatori oleh Irawan Jati, S.IP., M.Hum., M.S.S., dosen PSHI UII, Prof. Park menerangkan kesempatan studi di MAINS, SKHU. Didirikan sejak 2007, MAINS merupakan program magister multidisiplin yang dikombinasikan dengan pelatihan praktis di lapangan.

Menurutnya, program MAINS didesain untuk mahasiswa yang tertarik dalam penanganan isu-isu sosial. Di antaranya, seperti perubahan sosial, keadilan lingkungan, hak asasi manusia (HAM), hingga demokratisasi. Selain itu, masalah terkait pengembangan masyarakat, solidaritas lintas batas, kewarganegaraan, hingga bantuan kemanusiaan turut menjadi pembahasan.

“Kami membahas berbagai topik, termasuk perdamaian, HAM, pembangunan, lingkungan hidup, serta banyak masalah lain yang tercakup dalam struktur mata kuliah pilihan. Dan selain itu terdapat pula program khusus, yakni program bahasa Korea yang kami tawarkan kepada mahasiswa baru untuk belajar bahasa Korea,” tutur Prof. Park.

Mengingat sifat program yang berfokus pada kemampuan praktis, dalam kurun dua tahun masa studi, hanya tiga semester pertama yang dihabiskan dengan pembelajaran teoretis dalam kelas. Adapun semester sisanya dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk penelitian lapangan (fieldwork) serta penulisan tesis yang berfokus pada isu-isu seperti demokrasi, pembangunan, atau masyarakat sipil di Asia.

“Biasanya mahasiswa-mahasiswa kami setelah menyelesaikan semester ketiga, banyak di antaranya yang pulang ke negara masing-masing untuk melaksanakan studi lapangan dan menulis tesis untuk diselesaikan di semester terakhir,” jelas Prof. Park.

Lebih lanjut, mahasiswa yang memenuhi kualifikasi berkesempatan untuk menerima beasiswa penuh/parsial. Prioritas beasiswa diberikan bagi mahasiswa yang berasal dari negara berkembang di Asia. “Beasiswa ini mencakup biaya sekolah dan biaya hidup. Tingkat beasiswa yang diberikan pada tiap mahasiswa ditentukan berdasarkan bakat akademik, nilai, kebutuhan, dan keadaan individu,” terangnya.

Menurut Prof. Park, sepanjang 17 tahun berdiri sebanyak 135 mahasiswa dari berbagai negara telah lulus dari program MAINS. Para lulusan utamanya berasal dari negara-negara Asia. “Dari Indonesia, sejauh ini kami memiliki sepuluh mahasiswa. Dua diantaranya sedang studi tahun ini. Jadi sepuluh mahasiswa telah lulus ataupun sedang belajar di program MAINS SKHU,” sebutnya.

SKHU sendiri merupakan kampus mitra yang berhubungan baik sejak lama dengan UII. Pada 2015, misalnya, PSHI UII dan SKHU sempat bekerja sama dalam membentuk mata kuliah Community Development and International Cooperation (CDIC) yang berfokus untuk mengembangkan program pengabdian kepada masyarakat, dan didesain untuk mempersiapkan mahasiswa yang dapat terlibat pada aktivisme LSM.

Menurut Irawan Jati, program magister yang menyediakan pelatihan praktis dalam kurikulumnya cukup jarang, sehingga MAINS SKHU menjadi peluang opsi studi yang dapat dimaksimalkan oleh mahasiswa maupun lulusan PSHI. “Biasanya, (pembelajaran) program magister sebagian besar berada di level teoretis. Namun untuk program MAINS, lebih praktis, karenanya saya percaya bahwa semua profesor turut memiliki latar belakang sebagai aktivis,” tandasnya. (JRM/AHR)