Kita semua menjadi saksi, bahwa dalam beberapa tahun terakhir, praktik berbangsa dan bernegara di Indonesia, mengalami tantangan berat. Episode praktik bernegara, terutama menjelang pemilihan umum, telah memancing kegaduhan yang luar biasa. Suara kritis banyak intelektual lintaskampus saling menguatkan. Suara kritis itu didelegitimasi dan tidak didengarkan dengan serius.
Pembajakan demokrasi
Kita perlu menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa pembajakan terhadap demokrasi tidak lagi dengan cara kekerasan, penggunaan militer, atau kudeta. Pasca Perang Dingin, di banyak negara, kemunduran demokrasi justru dilakukan oleh pemerintahan terpilih. Demokrasi dibunuh oleh anak kandungnya sendiri. Kemunduran demokrasi bahkan dimulai dari bilik pemungutan suara ketika pemilu (e.g. Guriev & Treisman, 2022; Levitsky & Ziblat, 2018).
Melalui pendirian Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia, kami ingin melantangkan pesan dan mengedukasi publik bahwa pembajakan demokrasi dapat dilakukan dengan modus operandi baru yang mengelabui, dan karenanya kesadaran baru perlu ditumbuhkan. Praktik bernegara yang berlangsung bisa jadi terlihat legal karena disahkan dengan peraturan dan bahkan upaya tersebut dikesankan sebagai upaya meningkatkan demokrasi.
Dalam bahasanya Levitsky dan Ziblat (2018) dalam bukunya How Democracies Die, “Autokrat terpilih memelihara bungkus demokrasi, tetapi menggerogoti substansinya.”
Kesan itu digaungkan dengan menguasai narasi publik dan memutarbalikkan fakta. Inilah yang oleh Guriev dan Triesman (2022) disebut sebagai kemunculan autokrat informasi (informationoal autrocrat) yang kemudian digantinya istilah tersebut dengan diktator pemutarbalik fakta (spin dictator).
Mereka adalah para pencabut ruh demokrasi yang sejati, meski label demokrasi tetap dipakai karena mereka berpura-pura bersikap demokratis. Diktator jenis ini tidak menebar teror dan kekerasan. Diktator varian ini bahkan dicintai dan tidak ditakuti karena mereka populer dan menggunakan beragam sumber daya untuk mengkonsolidasi kekuasaan. Mereka juga menghindari represi kekerasan secara terbuka.
Dalam iklim demokrasi seperti ini, media masih menulis tetapi sejatinya mereka telah terbeli atau ditekan supaya melakukan sensor internal. Warga negara masih terus memberikan kritik kepada pemerintah, tetapi suara mereka tidak didengar dan dijadikan konsiderans dalam pengambilan kebijakan (e.g. Levitsky dan Ziblat, 2018).
Kebajikan moral
Kampus sebagai bagian masyarakat sipil merasa terpanggil untuk terus menyelamatkan dan menguatkan demokrasi di Indonesia. Masyarakat sipil di Indonesia harus tetap kuat. Menurut Acemoglu dan Robinson (2019:) dalam bukunya The Narrow Corridor: “Kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan. Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga.”
Karenanya, ruh dari demokrasi harus diselamatnya supaya tidak mati sia-sia dan gentayangan menghantui kita semua. Apa ruhnya? Jika kita lihat “kitab kuning” (turats) demokrasi besutan Plato (2012), yang terekam dalam buku The Republic yang ditulis pada 360 S.M., negara ideal dibangun atas empat hal: kebijaksanaan, keberanian, disiplin diri, dan keadilan. Bahkan bagian awal buku ini yang merekam diskusi antara Socrates dengan para sahabat dan muridnya adalah tentang keadilan.
Salah satu pesan penting buku ini adalah bahwa kebajikan moral (moral virtue) sangat penting dalam menjalankan demokrasi. Agamanya bisa menjadi salah satu rujukan kebajikan moral.
Tanpa kebajikan moral, demokrasi akan cenderung menjadi pengaturan oleh gerombolan yang tidak berpendidikan, dengan para politisi yang menggiring para pemilih untuk menyampaikan apa ingin mereka dengar untuk tetap menjaga kekuasaan. Bagi Plato, kebajikan moral hanya muncul dari pengetahuan atau pendidikan.
Demokrasi bagi Plato merupakan bentuk negara yang paling adil. Secara indah, negara seperti ini: “… bagaikan jubah bersulam yang ditaburi berbagai jenis bunga. Dan hanya kaum perempuan dan anak-anak yang berpikir bahwa keragaman warna adalah sesuatu yang paling menawan, sehingga banyak laki-laki yang menganggap negara ini, yang dipenuhi dengan akhlak dan karakter manusia, akan tampak sebagai negara yang paling adil.” (Plato, 2012).
Sekali lagi terima kasih untuk para penasihat, tim ahli, kepala dan semua tim Pusat Studi Agama dan Demokrasi. Kita semua berharap, pusat studi ini dapat memantapkan eksistensinya untuk berandil dalam menyelamatkan dan merawat demokrasi di Indonesia.
Referensi
Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2020). The narrow corridor: States, societies, and the fate of liberty. Penguin.
Guriev, S., & Treisman, D. (2022). Spin dictators: The changing face of tyranny in the 21st century. Princeton University Press.
Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How democracies die. Crown.
Plato (2012). The republic. Terjemahan Benjamin Jowett. Capstone.
Sambutan pada Peluncuran Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia, 22 Mei 2024
Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia
Kepala: Prof. Masduki
Penasehat:
- Prof. Dr. Moh. Mahfud MD
- Dr. Halim Alamsyah
- Dr. Suparman Marzuki
- Dr. Erwin Moeslimin Singajuru
- Asmai Ishak, Ph.D.
- Butet Kertarejasa
Tim ahli, a.l.:
- Dr. Sukidi
- Dr. Ari Yusuf Amir
- Prof. Dr. Edy Suandi Hamid
- Hamid Basyaib, S.H.
- Prof. Dr. Ni’matul Huda
- Yanuar Nugroho, Ph.D.