Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, Dr. (H.C.) Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, menekankan urgensi perguruan tinggi Islam swasta untuk meningkatkan kualitas. “Sekarang ini kita (perguruan tinggi Islam swasta) harus mengejar kualitas. Di mana-mana ada tujuan untuk meningkatkan universitas mencapai standar dunia,” ungkap Jusuf Kalla. Read more

Obrolan khayali dengan seorang kawan terpelajar tentang kegelisahan panjang yang belum menemukan jawaban.

Langit masih berhiasan semburat merah awan selepas Magrib. Saya pun sampai di sebuah kedai kopi. Suasana masih lengang, karena ukurannya yang lumayan besar. Cacah tamu yang datang pun belum banyak. Sebagian orang mungkin masih meneruskan wirid atau menunda makan malamnya.

Tubuh saya arahkan ke salah satu kursi kosong. Saya sampaikan jika menunggu seorang kawan, ketika pelayan menghampiri.

Tak selang lama, kawan saya pun datang. Seperti biasanya, dia mendekat dengan langkah tegap dan senyum merekah. Topi laken fedora setia menutup kepalanya.

Kami pun mencari kursi yang lebih nyaman. Agak di dalam. Setelah memesan minuman tradisional, kami pun berbincang.

“Mas, gelisah gak, dengan kondisi bangsa saat ini,” tanya kawan tersebut membuka pembicaraan. Kami cukup dekat meski mengabdi di kampus yang berbeda.

“Jelas sekali, Mas”, jawab saya.

Obrolan pun mengalir menyangkut banyak hal. Kami berdua berbagi kegalauan soal melempemnya kaum terpelajar bangsa ini. Tentu, kami pun merasa bagian dari mereka. Jika pun dianggap tidak benar, paling tidak, nurani kami mengirim sinyal seperti itu. Ada perasaan bersalah yang menghantui.

Kegelisahannya ini sudah lebih dari cukup untuk memproduksi asam lambung dan mengganggu ritme tidur. Sialnya, keberanian yang ditunggu juga tidak kunjung datang. Tulisan ini harus pun menunggu beberapa hari, sebelum saya putuskan untuk dirampungkan.

Kala itu, kami berbagi perspektif dan cerita, tentang apa yang mungkin dilakukan. Kami sadar dengan beragam kekangan dan risiko yang menghadang. Bukan hanya soal personal, tetapi juga gerbong institusi.

Banyak kawan-kawan yang kami harapkan ternyata sudah terkooptasi dan terbeli. Saya pun tersentak seakan tak terpercaya, sebelum akal sehat saya kembali menyapa. Semuanya ternyata masuk akal dari kacamata pragmatisme.

Meski demikian, kami sepakat untuk menjaga optimisme. Kami yakin, di luar sana, masih ada kawan-kawan yang mempunyai kepedulian serupa. Tulisan ini juga bentuk sapaan terhadap mereka.

 

Kampus kuburan

Obrolan di kedai itu mengingatkan saya kepada cerita seorang dosen senior yang sangat saya hormati. Dalam sebuah kesempatan, Prof Zaini Dahlan, Rektor Universitas Islam Indonesia 1994-2002, gelisah dan berkata, “Kampus kita kok sepi sekali ya, kayak kuburan”.

Komentar tersebut tidak mengarah kepada sepi fisik, tetapi sepi suara intelektual. Kampus di sini pun tidak merujuk kepada bangunan fisik semata, tetapi keseluruhan ekosistem pembentuk perguruan tinggi.

Karenanya, saya sangat senang, jika sebagian dosen masih menyempatkan menulis di kanal media publik untuk merespons berbagai masalah bangsa. Kadang secara personal, gagasan disampaikan. Di lain waktu, pusat studi menyampaikannya secara kolektif.

Ini adalah ikhtiar penting untuk menjaga sukma intelektual tetap hidup. Meski saya yakin, tidak semua orang, termasuk kalangan terpelajar, menganggap budaya menyampaikan pemikiran kritis ini masih penting. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan penghargaan koin dan poin dalam karier akademik dosen.

Yang jelas, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan jika suara intelektual kampus sudah sangat jarang terdengar di ruang publik untuk merespons beragam isu dalam berbangsa dan bernegara. Padahal, pekerjaan rumah bangsa dan negara ini masih banyak.

Kita bisa sebut di antaranya, korupsi yang tak kunjung berkurang, kolusi dan nepotisme dalam semua bentuknya, penyalahgunaan kekuasaan yang melawan kepentingan publik, perusakan alam yang dibiarkan, sampai dengan beragam pengelabuan akal sehat publik.

 

Gelisah yang tersendat

Dalam diskusi terbatas, kegelisahan tersebut  kadang muncul. Namun, kerongkongan para intelektual dapat tiba-tiba tersendat, ketika suara kritis hendak dikeluarkan. Ada beragam kemungkinan alasan.

Termasuk di antaranya adalah masalah labirin administratif yang menghantui para dosen dan pimpinan kampus. Tugas-tugas ini sudah menghabiskan banyak energi tanpa tambahan kualitas yang memadai. Meme Dr Strange bertangan banyak sebagai representasi dosen yang terjebak di semesta jamak dengan tugas bejibun, menggambarkan realitas ini.

Persaingan yang tidak sehat antarkampus untuk menempati peringkat, tak jarang telah menyita energi. Pemeringkatan yang merupakan anak kandung neoliberalisme ini tanpa disadari dapat menjauhkan kampus dari orientasi misinya. Tak jarang, untuk mencapainya beragam muslihat dilakukan dengan mengabaikan koridor moral.

Selain itu, menyampaikan gagasan di ruang publik pun bukan tanpa risiko. Saya masih simpan jawaban Prof Azyumardi Azra ketika kami mendiskusikan soal ini melalui WhatsApp, sekitar sebulan sebelum beliau wafat. Beliau pun sadar risiko bersuara kritis.

Prof Azra membalas pesan saya:  “Saya juga kadang-kadang khawatir karena sering mengkritik secara terbuka di media elektronik dan media cetak. Saya tawakkaltu (alallah) sajalah. … Bahkan yang terhitung kawan kita dalam barisan kepemimpinan nasional ikut-ikutan menyalahkan mereka yang kritis.”

Beragam definisi intelektual dapat ditemukan dalam literatur. Secara sederhana, intelektual adalah mereka yang selain mumpuni secara keilmuan, juga tetap menjaga sensitivitasnya untuk mengendus masalah publik dan meresponsnya.

Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik. Ketika berhubungan dengan publik, tugas intelektual menurut Chomsky (2017) dalam bukunya berjudul The Responsibility of Intellectuals, adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan; memberikan konteks kesejarahan; dan mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang debat. Karena para intelektual mempunyai banyak privilese yang dinikmati, maka tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan kalangan awam kebanyakan.

Saya dan Prof Azra pernah berdiskusi ringan soal isu kebebasan berpendapat warga, terutama di kalangan intelektual. Pemicunya adalah teror yang diterima salah satu kolega saya, Prof Ni’matul Huda, ketika akan menjadi pembicara sebuah seminar.

Saya masih ingat, saat itu mengutip pendapat Acemoglu dan Robinson (2019) dalam bukunya The Narrow Corridor: “Kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan. Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga.”

Kita semua tahu, saat ini, tidak semua media kalis dari kooptasi dan tidak semua kelompok masyarakat sipil steril dari intervensi. Namun, ketika intelektualisme di kalangan terpelajar juga memudar, tanpa bermaksud jemawa, gantungan harapan publik akan semakin sirna.

Kita pun menjadi saksi, secara perlahan bangunan intelektualisme tergerogoti beragam sebab dan dalih. Pilar-pilarnya pun menjadi keropos. Tanpa kemunculan kesadaran kolektif kaum intelektual, kampus dalam imajinasi moral pun menunggu waktu untuk roboh.

Semoga tidak!

 

Referensi

Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2019). The narrow corridor: How nations struggle for liberty. Penguin UK.

Chomsky, N. (2017). The responsibility of intellectuals. The New Press.

 

Tulisan sudah tayang di Republika pada 13 November 2023, dengan beberapa penyesuaian.

Ahad pagi akhir pekan lalu, tetiba, seorang jurnalis yang saya hormati mengirim pesan WhatsApp. Dia ingin mengklarifikasi konten TikTok oleh akun @suryaaae0 yang mengaku sebagai mahasiswa bimbingan skripsi Prof Mahfud MD. Konten video itu menunjukkan ruang kerja calon wakil presiden tersebut di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII). Narasi yang dibangun oleh pemilik akun adalah bahwa Prof Mahfud menelantarkan bimbingannya.

 

Kebohongan itu

Niat arep bimbingan lakok ditinggal dadi cawapres“. Berniat akan melakukan bimbingan, tapi ditinggal menjadi calon wakil presiden. Demikian teks dalam video tersebut.

Konten TikTok itu disambar begitu saja oleh beberapa media, termasuk yang selama ini terlihat bonafide. Sejak Konten tersebut sudah ditonton 1,5 juta kali, disukai 95,7 ribu orang, mendapatkan lebih dari 1.500 komentar, dan dibagikan sebanyak 1.250 kali.

Tabayun pun saya lakukan. Prof Mahfud MD sebagai pejabat negara sudah lama tidak membimbing skripsi mahasiswa tingkat sarjana. Dapat dipastikan, narasi konten TikTok tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan alias sebuah kebohongan.

 

Perhatian bersama

Ada beberapa isu dalam kasus ini yang perlu mendapatkan perhatian bersama.

Pertama, pemilik akun @suryaaae0 secara sengaja membuat konten dan menebarkan narasi yang tidak valid. Kita tidak tahu motivasinya, tetapi patut diduga, yang bersangkutan ingin mendompleng peristiwa pencalonan Prof Mahfud MD sebagai wakil presiden sehari sebelumnya. Dari 24 konten yang diunggahnya, konten inilah yang mendapatkan paling banyak atensi dari warganet.

Produksi konten yang ditujukan untuk memancing kehebohan ini seperti ini jelas bukan yang pertama. Memori kita tidak begitu sulit mengingat beragam kasus serupa. Beberapa bahkan menjadi kasus hukum atau mendapatkan kritik tajam dari para warganet yang masih waras.

Kedua, media ternyata terjebak pada narasi di media sosial tanpa melakukan tabayun. Dalam konteks ini, berita kok berdasar konten TikTok tok. Keinginan untuk menggaet pembaca sebanyak mungkin dan hasrat dianggap sebagai yang pertama memberitakan, tampaknya telah menggoda media. Validitas informasi seakan menjadi nomor sekian yang tidak begitu penting.

Tentu, ini merupakan praktik jurnalisme yang mengkhawatirkan karena sudah mengabaikan norma yang seharusnya dijaga: memberitakan fakta. Sudah sangat lama, kita jengah dengan para oknum jurnalis pemalas seperti ini.

Ketiga, kebohongan dalam konten mempunyai beberapa implikasi. Dalam kasus ini, di antaranya adalah pemahaman yang salah yang melahirkan kesan buruk, baik untuk Prof Mahfud MD maupun untuk UII sebagai lembaga pendidikan tinggi.

Sebagai dosen, Prof Mahfud MD dianggap tidak menjalankan amanah yang diberikan oleh program studi untuk membimbing mahasiswa. UII, secara kelembagaan juga dirugikan karena dikesankan tidak menjalankan tugas kendali mutu dengan baik.

Keempat, sebagian warganet mungkin menganggap kebohongan konten tersebut sebagai hiburan semata. Tetapi siapa yang mampu menjamin semua orang beranggapan demikian?

Ingat, tidak semua orang mempunyai elemen kognitif dan personalitas yang sama. Sebagian orang sangat mudah percaya dengan informasi apa pun yang memaparnya. Penerimaan orang terhadap kebohongan juga tidak terlepas dari elemen konteks. Reputasi media atau orang yang memberitakannya juga memberi bobot literal informasi.

Kebohongan terhadap liyan adalah pelanggaran otonomi individu dan demonstrasi penghinaan. Dalam ajaran Islam, kebohongan tidak dibenarkan, kecuali karena tiga alasan: menyenangkan pasangan, menyelamatkan nyawa, atau mendamaikan pihak yang berseteru.

Sialnya, dampak kebohongan sering kali tidak mudah dibayangkan secara kasat mata. Karenanya, kebohongan, apalagi yang disengaja, jelas tidak bisa ditoleransi.

Tulisan sudah tayang dalam Kolom Analisis Harian Kedaulatan Rakyat pada 11 November 2023.

Mahasiswa program studi Teknik Elektro Universitas Islam Indonesia (UII) berhasil raih juara 2 kategori rancang bangun sepeda motor listrik pada ajang perlombaan PLN ICE (Innovation & Competition in Electricity) tahun 2023. Perlombaan yang diselenggarakan oleh PT PLN (Persero) setiap tahunnya ini diperuntukkan bagi seluruh mahasiswa di Indonesia dengan dua kategori utama lomba.

Kategori pertama yakni rancang bangun sepeda motor listrik dan kategori kedua adalah kompetisi inovasi pemberdayaan potensi desa dalam bentuk peralatan maupun program bisnis teknologi tepat guna.

Tim dari UII yang terdiri dari Muhammad Aviv Sabilal Mujtahid, Muhammad Raihan Alfarij, Muhammad Faisal, Muhammad Avav Sabilal Mujtaba berhasil melewati seleksi dari 60 universitas nasional. Para finalis mengikuti acara final di Sirkuit Internasional Sentul, Bogor pada tanggal 7 sampai 9 November 2023.

Ketika ditanya mengenai persiapan, Aviv bersama timnya mengatakan bahwa mereka melakukan riset dulu terkait controller, display speedometer, battery pack, motor bldc yang akan dibuat oleh mereka sendiri dan dibersamai oleh dosen pembimbing, Firdaus, S.T., M.T., Ph.D yang juga merupakan Ketua Jurusan Teknik Elektro. Persiapan dan riset ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun dan assembly-nya membutuhkan waktu 3 bulan sehingga dapat dibuat controller, motor bldc dan display speedometer buatan mereka sendiri.

“Dan juga persiapan ini tidak hanya meliputi hal-hal teknis, non teknis juga banyak yaitu terkait administrasi tingkat komponen dalam negeri dan juga administratif kemandirian pembuatan produk,” jelas Aviv.

Aviv juga menjelaskan kendala yang dilaluinya bersama tim. Kesulitannya mulai dari pembuatan produk controller, display speedometer, motor bldc dan baterai pack. Menurutnya, keempat komponen tersebut mahasiswa diwajibkan untuk mendesain, merancang dan merakit komponen-komponen tersebut agar dapat bisa digunakan dan bisa berjalan selayaknya motor listrik pada umumnya dan dapat bersaing dengan produk-produk pabrikan.

“UII sangat memfasilitasi terkait lomba ini, dari segi tempat yaitu laboratorium kemudian dari segi pendanaan dan juga konsultasi kepada dosen apabila terdapat permasalahan,” ungkap Aviv.

Mengenai keberlanjutan setelah berhasil pada ajang perlombaan ini, Aviv dan tim mengatakan adanya sebuah media UKM untuk menurunkan atau mengkaderisasikan ilmu-ilmu kepada adik tingkat, serta kemudian ada proyek lanjutan seperti membuat kendaraan listrik disabilitas, gerobak kendaraan listrik dan juga kendaraan listrik untuk transportasi kampus.

“Hal paling berkesan adalah ketika kami Tim UII mendapatkan juara berturut-turut dalam waktu 3 tahun terakhir, Tim UII berhasil mengamankan trofi juara PLN ICE di tiap tahunnya dari tiga tahun terakhir ini,” ujar Aviv.

Terakhir, Aviv dan tim memberikan pesan dan harapan kepada seluruh mahasiswa UII. “Pesan saya jangan pernah menyerah, jangan pernah takut, teruslah bermimpi yang tinggi. Ingat kita sebagai mahasiswa UII dituntut sebagai cendekiawan muslim yang intelek jadi kita harus mempunyai kepercayaan yang tinggi untuk meraih hal tersebut,” ujarnya.

“Nyatanya mahasiswa UII banyak yang bisa berkompetisi dan meraih juara umum, jadi tetap semangat dan yakin pasti setiap ikhtiar kalian akan sampai. Harapan saya untuk universitas adalah agar mahasiswa UII yang sedang atau sudah mengikuti kompetisi atau kejuaraan tetap didukung baik dengan cara pendanaan, publikasi berita atau diberikan apresiasi oleh kampus, karena hal-hal tersebut dapat meningkatkan semangat dan mentalitas mahasiswa dalam dunia perlombaan,” imbuhnya. (LMF/RS)

Jurusan Teknik Elektro Universitas Islam Indonesia (UII) memprakarsai konferensi internasional The International Biomedical Instrumentation and Technology Conference (IBITeC) 2023. Konferensi yang berlangsung 9-10 November 2023 ini turut dihadiri dan disaksikan langsung oleh Dr. Agus Mansur selaku Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FTI UII dan  Dr. Bambang Setia Nugroho selaku Chair of IEEE Communications Society (ComSoc) Indonesia Chapter. Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan dari Temasek Polytechnic melalui acara Opening Ceremony Global & Local Engagement Between Singapore and Indonesia pada Selasa (7/11). Pertemuan ini dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Kemitraan & Kewirausahaan UII, Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D., mahasiswa dan dosen pembimbing dari Politeknik, serta beberapa pimpinan UII. Read more

Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Kajian Tokoh Pendiri UII yang bertajuk “K.H. Wahid Hasyim: Perjuangan, Peranan dan Keteladanan”, pada Ahad (5/11). Acara yang digelar di Aula Pondok Pesantren UII Putra, Condongcatur, tersebut ditujukan dalam mengkaji sejarah figur penting salah satu pendiri UII yang dahulu bernama Sekolah Tinggi Islam (STI), yakni K.H. Wahid Hasyim. Read more

Dalam upaya mewujudkan peningkatan kuantitas kemitraan institusi, Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menjalin kerja sama dengan Universitas Baturaja (Unbara), Sumatera Selatan. Ditandai dengan ditanda tanganinya Nota Kesepahaman antara kedua universitas pada Rabu (01/11) di Gedung Kuliah Umum Prof. Sardjito UII. Read more

Kesehatan mental serta berbagai tindakan penyimpangan menjadi isu yang marak diperbincangkan dan sangat berkaitan dengan generasi muda, utamanya mahasiswa di universitas. Merespons topik tersebut, Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI) yang bekerja sama dengan Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan (DPK) menyelenggarakan Penyuluhan dan Webinar Nasional, pada Sabtu (4/11). Bertajuk “Tantangan Generasi Muda Muslim di Tengah Maraknya Perilaku Menyimpang”, kegiatan daring tersebut menghadirkan narasumber yang membahas mengenai kejahatan kekerasan, bahaya narkotika, serta problematika kesehatan mental. Read more

Divisi Pengembangan Kewirausahaan/Inkubasi Bisnis dan Inovasi Bersama (IBISMA) Direktorat Pembinaan & Pengembangan Kewirausahaan/Simpul Tumbuh (DPPK/ST) kembali menggelar Growth Festival pada Selasa (7/11). Acara yang dihelat di Auditorium K.H. Abdulkahar Muzakir Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII) ini mengangkat tema “Empowering Green & Sustainability for Scalable Impact”. UII memiliki visi yang kuat dalam mendukung pertumbuhan ekosistem kewirausahaan dan inovasi di lingkungan perguruan tinggi. Read more