Selalu asah dan tambah kecakapan Saudara. Apa yang sudah Saudara kuasai sampai hari ini, insyaallah akan menjadi modal awal untuk berkontribusi dengan beragam peran. Tapi ingat, lingkungan berubah, tuntutan bertambah.

Untuk menjamin relevansi keberadaan Saudara dan untuk memastikan kontribusi terbaik, pilihannya tidak banyak. Salah satunya adalah dengan terus belajar. Dari beragam sumber, dengan berbagai cara.

Salah satu kecakapan masa depan yang sering disebut adalah terkait dengan mahadata. Kita menjadi saksi, bahwa data dan informasi sangat melimpah, sehingga kita tidak mungkin mengunyah semuanya. Jika di masa lampau tantangannya adalah mencari informasi, saat ini berubah, tantangannya adalah menyaringnya, untuk mengambil beragam keputusan.

Kehadiran teknologi mutakhir yang menjadi bagian keseharian, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), juga menjadi bahan diskusi di banyak kesempatan. Sebagian orang menebar ketakutan bahwa teknologi tersebut akan menggantikan peran manusia, sebagian lain melihatnya dengan optimisme. Bagi ahli tekno-optimis, kehadiran kecerdasan buatan tidak menghilangkan peran manusia tetapi justru membebaskannya: mengotomatiskan aktivitas yang menyita waktu manusia. Manusia bisa menggunakan waktunya untuk hal lain.

 

Ilustrasi pembuka

Ini soal bingkai. Pilihan bingkai akan mempengaruhi banyak hal dan ini valid untuk banyak konteks.

Berikut adalah sebuah ilustrasi. Prof. Regina Barzilay, ahli kecerdasan buatan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), bersama tim yang latar belakang lintasdisiplin, mengubah bingkai dalam menemukan antibiotik yang membunuh bakteri jahat. Mereka tidak mencari zat yang mempunyai karakteristik serupa dengan zat penyusun antibiotik sebelumnya. Pendekatan lama yang biasa digunakan adalah mencari kemiripan struktural zat.

Mereka mengubah bingkai, yang berfokus pada efek zat: apakah zat tersebut membunuh bakteri? Mereka mengubah isu penemuan antibiotik, dari bersifat biologikal menjadi informasional.

Sebuah algoritma dilatih dengan lebih dari 2.300 senyawa, berharap menemukan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Model yang dihasilkan diaplikasikan pada sekitar 6.000 molekul pada sebuah basis data. Selanjutnya, model diaplikasi pada 100 juta molekul dari basis data lain. Di awal 2020, mereka akhirnya menemukan sebuah molekul pembunuh bakteri.

Berita di media yang muncul adalah bahwa kecerdasan buatan telah menemukan antibiotik. Ada yang salah dengan perspektif ini karena tidak menggambarkan cerita sebenarnya.

Penemuan ini bukan kemenangan kecerdasan buatan, tetapi kesuksesan kognisi manusia: yang mengubah bingkai dalam menemukan molekul pembunuh bakteri. Apresiasi seharusnya diberikan kepada kecakapan manusia, bukan kepada teknologi baru.

Prof. Barzilay menjelaskan, “Manusialah yang memilih senyawa, mengetahui apa yang mereka lakukan ketika memberikan material kepada model untuk dipelajari”. Manusia yang mendefinisikan masalah, mendesain pendekatan, memilih molekul untuk melatih algoritma, dan memilih basis data zat untuk diteliti.

 

Model mental

Itulah hebatnya bingkai yang mendasari model mental (mental model). Model mental ini menjadikan dunia lebih dapat dipahami, karena memungkinkan kita melihat pola, memprediksi kejadian, dan memahami beragam kejadian di depan mata.

Kita menggunakan dalam banyak kesempatan: mulai dari sebagai memilih sekolah, menentukan karier, membangun rumah, menjadi orang tua, dan lain-lain. Bingkai ini bisa berubah. Yang paling berbahaya adalah ketika seseorang mempunyai bingkai yang tidak membuka alternatif lain.

Soal kekuatan bingkai ini, dibahas dengan sangat apik dalam buku Framers (Cukir, Mayer-Schonberger, & de Vericourt, 2021). Ilustrasi di atas ada di dalam buku ini.

Penulis buku menyatakan jika ingin menggunakan bingkai dengan baik, kita perlu mengaplikasikan pola pikir kausalitas (sebab-akibat), konterfaktual (membayangkan realitas yang berbeda), dan mengenali batasan-batasan.

Dalam suatu waktu, ada kalanya bingkai lama sudah tidak relevan, dan kita perlu merevisinya atau bahkan menggantinya dengan yang sama sekali baru. Selain itu, beragam bingkai mungkin hadir berdampingan.

 

Bingkai keseharian

Kita bisa tambahkan ilustrasi sederhana untuk menegaskan bahwa bingkai yang tepat akan menjadikan banyak hal menjadi lebih baik.

Bagaimana jika kita melihat beragam masalah dengan bingkai seperti berikut. Kita bersyukur

  1. untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mi instan, karena itu artinya ia bersama kita bukan dengan orang lain;
  2. untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum;
  3. untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan;
  4. untuk tagihan pajak yang cukup besar, karena itu artinya kita bekerja dan digaji tinggi.
  5. untuk sampah menumpuk selepas pertemuan yang harus kita bersihkan, karena itu artinya keluarga kita dikelilingi banyak teman;
  6. untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya kita cukup makan;
  7. untuk rasa lelah, capai, dan penat di penghujung hari, karena itu artinya kita masih mampu bekerja keras;
  8. untuk semua kritik yang kita dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat;
  9. untuk bunyi alarm keras pukul 04.00 pagi yang membangunkan kita, karena itu artinya kita masih bisa terbangun dan masih hidup; atau
  10. untuk ijazah bertumpuk-tumpuk yang harus ditandatangani rektor, karena itu artinya proses pembelajaran berjalan efektif dan mahasiswa menyelesaikannya dengan baik.

Daftar di atas dapat diperpanjang. Bingkai di atas tentu tidak dimaksudkan untuk menjadi pembenar semua tindakan yang tidak produktif.

Saya termasuk yang percaya, bingkai yang tepat akan menjadikan kita lebih produktif dan sekaligus lebih bahagia dalam menjalani hidup.

Referensi

Cukier, K., Mayer-Schönberger, V., & de Véricourt, F. (2021). Framers. Penguin.

Sambutan pada wisuda doktor, magister, sarjana, dan diploma Universitas Islam Indonesia, 25-26 November 2023.

Dalam beberapa kesempatan, saya mendengar ceramah yang mengajak dunia pendidikan untuk menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Tidak dijelaskan bidang aplikasi spesifiknya.

Di kesempatan yang lain, penceramah berbeda dengan antusias mengatakan jika kampus harus mengadopsi teknologi blockchain dan mahadata (bigdata). Lagi-lagi, tidak diberikan ilustrasi atau pembuktian konsep tersebut dengan baik.

Kalau pun bidang aplikasi disebutkan, para pembicara tersebut tidak memberikan gambaran yang utuh. Fokus hanya pada sisi teknologi. Padahal teknologi tidak mungkin diimplementasikan dalam ruang hampa. Ada banyak konsiderans lain yang perlu dimasukkan ke dalam radar, termasuk konteks implementasi dan beragam implikasinya.

Dalam sebuah perbincangan, kolega pimpinan perguruan tinggi dengan bangga menyatakan jika kampusnya sudah menggunakan kecerdasan buatan. Yang satu menggunakan avatar untuk memroduksi video pembelajaran dan satunya lagi menggunakan chatbot untuk merespons pertanyaan dari publik. Tentu, kedua contoh ini valid. Tetapi, apakah hanya sebatas itu imajinasi kita? Ada banyak pertanyaan lain yang dapat dimunculkan.

 

Sonder konseptualisasi

Dari ilustrasi sederhana di atas, paling tidak ada dua isu yang menuntut keawasan kita. Tanpa keawasan ini, warga kampus akan terjebak pada jargon dan terlena tanpa konseptualisasi yang memadai.

Pertama, kecerdasan buatan didefinisikan secara berbeda-beda. Hal ini pun dapat diterima selama setiap definisi menyinggung substansinya. Tentu, untuk menyebut kecerdasan buatan, seseorang pun tidak harus memahami secara teknis bagaimana beragam algoritmanya bekerja. Tetapi, memahami konsep dasarnya tetap diperlukan. Untuk apa? Supaya kita tidak hanya terjebak narasi tanpa mampu memaknainya dengan memadai.

Sebagai ilustrasi sederhana. Saat ini, yang paling populer adalah kecerdasan buatan generatif (generative AI) yang dikembangkan berbasis pembelajaran mesin (machine learning) dan mampu menghasilkan teks, video, gambar, dan jenis konten lainnya. Kecerdasan buatan jenis ini disebut “generatif” karena kemampuannya dalam menghasilkan “konten baru”, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, bukan hanya melakukan tugas berdasarkan data yang sudah ada. Dalam konteks ini, data lampau yang digunakan untuk pembelajaran akan mempengaruhi luaran yang diproduksi oleh algoritma yang tertanam.

Kedua, tujuan penggunaan kecerdasan buatan di dunia pendidikan. Apakah untuk sekedar mendapatkan legitimasi (semu) karena sudah mengadopsinya? Ataukah, untuk tujuan yang lebih mulia: meningkatkan kualitas manajemen, proses pendidikan, atau artefak akademik? Meskipun sah-sah saja menggunakan kecerdasan untuk mendapatkan legitimasi, namun, dampaknya kurang bermakna. Pendekatan seperti ini, tidak jarang mengabaikan beragam dampak ikutannya, yang tidak selalu positif.

Dua isu di atas terkait dengan kampus sebagai pengembang pengguna teknologi yang akan digunakan di kampus. Isu ini juga valid untuk teknologi maju lainya, termasuk blockchain dan mahadata.

Ini bukan soal mengadopsinya, tetapi juga harus menakar makna yang dihadirkannya. Bisa jadi, ada yang berpendapat: daripada tidak mengadopsi sama sekali. Tentu saja, pendapat seperti ini juga dibolehkan. Namun, dampaknya ke dunia pendidikan terbuka untuk didiskusikan.

 

Praktik abu-abu pekat

Di sisi lain, sebagai pengguna, kemudahan yang dihadirkan oleh layanan yang dibangun dengan kecerdasan buatan telah melupakan banyak warga kampus akan dampak negatifnya. Penggunaan ChatGPT, misalnya. Di banyak kesempatan, diskusi lebih banyak diwarnai dengan manfaat yang dihadirkannya. Namun, sangat sedikit yang awas dan memberikan perhatian kepada sisi gelapnya.

Saat ini, misalnya, mahasiswa dapat dengan mudah menggunakan ChatGPT untuk mengerjakan beragam tugas kuliah. Dosen pun dipastikan kesulitan untuk mendeteksinya. Ada keputusasaan di sana, yang diobati dengan dalih: selama tidak ketahuan, tidak apa-apa.

Dosen pun serupa. Mereka menggunakannya untuk membuat artikel, laporan, atau proposal. Terlihat sangat indah dan bermanfaat. Apalagi hanya dengan biaya langganan yang sangat murah.

Kedua ilustrasi di atas merupakan praktik yang dapat memunculkan beragam diskusi etika. Jika ada aspek pendakuan atas karya, praktik ini dapat masuk ke ranah sisi gelap, atau paling tidak abu-abu pekat yang nyaris melanggar garis merah. Tentu, diskusi panjang tentang isu etika dan potensi bias yang mengikutinya dapat dibuka untuk membahasnya.

Isu ini pun sudah masuk radar banyak penerbit jurnal bereputasi dan juga lembaga donor. Beberapa kebijakan tertulis pun sudah dibuat untuk menegaskan koridor etika.

 

Kepedulian yang diharapkan

Karenanya, sambil berikhtiar menguasai teknologi dengan lebih baik, pimpinan dan warga kampus di Indonesia sudah saatnya peduli dengan sisi gelap kecerdasan buatan. Beberapa prinsip dasar berikut dapat membuka diskusi lanjutan.

Pertama, kita sepakat bahwa perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan, tidak bisa dibendung. Teknologi maju seperti ini perlu dikuasai dengan baik. Beberapa kampus pun mulai menawarkan program studi spesifik terkait dengan ini.

Kedua, kesadaran dialektika perlu dilantangkan bahwa setiap teknologi selalu hadir dengan dua sisi: positif dan negatif. Kedua hal ini harus dipikirkan bersamaan. Jika tidak, aksi korektif sangat mungkin terlambat untuk dijalankan. Di sini, koridor etika harus dibuat, supaya pengembangan teknologi tidak melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Eksploitasi manusia terhadap liyan dengan bantuan teknologi adalah contohnya.

Ketiga, adopsi kecerdasan buatan harus memperhatikan dampaknya yang bermakna di dunia pendidikan dan tidak sekedar untuk terlihat keren serta mendapatkan pujian. Adopsi teknologi ini seyogyanya bukan lantaran tekanan koersif otoritas yang lebih tinggi atau sekedar mengikuti tren, tetapi karena kesadaran normatif akan dampaknya yang bermakna.

Sebagai penutup, bagi yang pesimis, di satu sisi, kehadiran kecerdasan buatan dikhawatirkan meminggirkan manusia. Tetapi di sini lain, bagi yang optimis, kehadirannya justru dianggap membebaskan manusia dari beragam aktivitas yang menyita banyak waktu. Kesadaran akan isu-isu etika mungkin dapat menjadi penengahnya.

Tulisan sudah tayang di Republika.id pada 23 November 2023.

Waktu berjalan, tuntutan berubah. Apa yang di masa lampau sudah canggih, belum tentu valid untuk hari ini. Begitu juga, apa yang sudah cukup di hari ini, sangat mungkin kedaluwarsa di masa mendatang.

Hukum alam atau sunatullah ini berlaku di banyak konteks, termasuk dalam manajemen perguruan tinggi. Ketiga cacah mahasiswa terbatas, proses manual insyaallah masih memadai. Tetapi ketika mahasiswa sudah sangat banyak dengan proses bisnis yang semakin kompleks, penggunaan teknologi merupakan sebuah keniscayaan.

Teknologi dapat menjadi akselerator lompatan dengan beragam perubahan yang dimungkinkannya. Dalam konteks universitas, teknologi informasi, misalnya, akan memfasilitasi banyak aspek: mulai dari mendukung pelaksanaan proses bisnis, pemberian layanan, sampai dengan pengambilan keputusan.

 

Ijtihad organisasional

Tidak salah, jika kita menempatkan layanan teknologi informasi sebagai instrumen strategis dalam menjalankan roda universitas. Pilihan menggunakannya hanya sebagai alat bantu operasional sudah tidak mencukupi. Karenanya, transformasi digital menjadi jalan yang harus ditempuh.

Di Universitas Islam Indonesia (UII), penggunaan teknologi informasi untuk beragam keperluan sudah sangat lama dilakukan. Tetapi teknologi tidak kalis dari hukum alam yang akan kedaluwarsa pada masanya.

Beragam solusi yang sudah dikembangkan di masa lampau telah menunaikan tugasnya. Sudah terlalu banyak manfaat yang sudah diberikan.  Kita harus memberikan apresiasi kepada para pengawal dan pengembangnya.

Namun, tuntutan berubah. Pembaruan harus selalu dilakukan. Pada 2016, UII melakukan ijtihad organisasional dalam pengembangan solusi teknologi informasi. Peran Badan Sistem Informasi (BSI) pun didefinisikan ulang. BSI mempunyai tiga peran yang saling melengkapi: pelayan, mitra, dan katalis.

Serangkaian inisiatif lain telah dilakukan: mulai dari audit teknologi informasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan aplikasi terintegrasi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, sampai dengan perbaikan layanan.

Infrastruktur baru digelar. Jaringan kabel optik di lingkungan kampus terpadu diganti. Panjangnya lebih dari 6 km. Teknologi yang dipilih pun semoga masih layak sampai 20 kali ke depan. Ekosistem pusat data diremajakan dan ditingkatkan kapasitasnya. Sistem pengamanan pun diperbaiki.

Untuk distribusi Internet, desain baru diadopsi. UIIConnect merupakan hasilnya. Semua pengguna merasa nyaman karena mendapatkan pengalaman yang serupa. Tidak ada lagi kasta dalam pelayanan. Sekitar 1.000 titik akses Internet, saat ini, sudah terpasang di semua pojok UII, yang dihubungkan dengan kabel baru yang panjangnya lebih dari 50 km.

Integrasi aplikasi juga dipercepat. UIIGateway menjadi rumah dari modul-modul yang dikembangkan. Solusi legasi secara perlahan kita pensiunkan karena telah rampung menjalankan misinya.

Sampai saat ini, sekitar 40 modul sudah dikembangkan dan akan terus bertambah. Ketika pandemi Covid-19 menyerang di awal 2020, layanan ini sudah teruji untuk menjaga roda organisasi tetap berjalan dengan baik.

 

Masa depan

Apakah itu sudah cukup? Tidak. Perubahan terus terjadi, tuntutan selalu mengalir. Masih banyak pekerjaan rumah lain yang menunggu untuk dituntaskan.

Meski demikian, kita perlu membangun optimisme bahwa UII sudah berada di jalan yang benar. Kita insyaallah sudah mempunyai basis terinstal (installed base) yang kuat. Beragam layanan baru dapat dikembangkan di atasnya.

Percepatan pengembangan solusi perlu menjadi salah satu fokus ke depan. Penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dalam mendukung pengembangan solusi sedang dieksplorasi. Ini bukan soal ‘gaya-gayaan’ supaya terlihat keren karena dianggap mengikuti perkembangan. Ini adalah perkara peningkatan produktivitas dan adopsi teknologi yang bermakna. Itu pun tidak lantas mengabaikan koridor etika.

Kita semua berharap, di masa depan yang tidak terlalu jauh, semakin banyak layanan yang dapat diberikan untuk beragam pemangku kepentingan: mahasiswa, tenaga kependidikan, dosen, manajemen, sampai dengan mitra dan publik. BSI bekerja keras untuk itu semua.

 

Apresiasi

Di belakang setiap layanan dengan dukungan infrastruktur yang andal, dipastikan ada orang-orang dengan dedikasi tinggi. Mereka adalah aktor di belakang layar yang sering terlupa diapresiasi.

Mengapa? Sebagai sunatullah, infrastruktur biasanya disadari keberadaannya jika layanannya terganggu. Bayangkan, misalnya jaringan listrik, koneksi Internet, atau layanan UIIGateway, dianggap sebagai sesuai yang seharusnya oleh pengguna. Teriakan dari pengguna akan muncul ketika ada gangguan dalam layanannya.

Menjaga ketersediaan layanan ada 24 jam sehari dan 7 hari dalam sepekan, sangat menantang. Kita bersyukur, dengan catatan yang mungkin ada, tim BSI telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam mengawal transformasi digital di UII. Mari, kita terus berikan apresiasi sekaligus masukan, untuk mendorong kinerja BSI yang semakin baik di masa mendatang.

Tulisan sudah dimuat di UIINews edisi November 2023.

Kafe Prancis Universitas Islam Indonesia (UII) gelar workshop manik-manik pada Jumat (17/11) di Gedung Perpustakaan Mohammad Hatta Kampus Terpadu UII. Acara ini diikuti oleh kurang lebih 49 peserta yang berasal dari UII dan luar UII. Workshop ini diselenggarakan bersama Sarsa.id yang mana menjadi salah satu rangkaian acara Anniversary yang ke-8 Kafe Prancis UII. Read more

Kontingen mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) berhasil menyabet Peringkat 3 Nasional pada ajang Musabaqoh Tilawatil Qur’an Mahasiswa Nasional (MTQMN) XVII 2023 yang digelar pada 3-10 November 2023. Sejumlah 10 mahasiswa sukses menjuarai beragam cabang perlombaan, termasuk Hifzhil Qur’an, Khaththil Qur’an, Tilawatil Qur’an, Desain Aplikasi Komputer Al-Qur’an, hingga Debat Ilmiah Kandungan Qur’an dalam Bahasa Arab. Read more

Sebagai salah satu wujud kepedulian terhadap krisis kemanusiaan, Universitas Islam Indonesia (UII) kembali salurkan bantuan untuk masyarakat Palestina yang hingga kini masih berjuang hidup di tanah kelahirannya sendiri. Inisiatif kali ini melalui dana yang terkumpul dari jamaah Masjid Ulil Albab UII sebesar 8,3 juta rupiah. Read more

Akreditasi sekolah arsitektur sangat diperlukan untuk menetapkan dan pencapaian standar ukuran tentang mutu pendidikan pada suatu lembaga pendidikan perguruan tinggi. Sekolah Arsitektur di Indonesia saat ini berjumlah 196 PT meliputi berbagai jenjang pendidikan, dari diploma, sarjana, profesi, magister dan doktoral. Read more

Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKSPTIS) baru saja merampungkan Rapat Kerja Nasional di Pekanbaru pada 17-18 November 2023. Acara yang bertempat di Universitas Islam Riau (UIR) ini dihadiri sekitar 80 utusan, yang berasal dari berbagai pojok Indonesia.

Acara didahului dengan pelantikan pengurus masa amanah 2023-2027 oleh Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, Dr. Jusuf Kalla, yang juga sekaligus Ketua Dewan Penasihat BKSPTIS. Dalam pidato inspirasinya Dr. Jusuf Kalla mengajak PTIS untuk meningkatkan kualitasnya.

 

Peran penting inklusif

Beragam gagasan dimunculkan, baik dari para pembicara dan juga peserta. Direktur Jenderal Kelembagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Dr. Lukman, memaparkan data sebaran PTIS yang memberikan harapan besar. Dari 2.982 perguruan tinggi swasta (PTS) yang mengabdi untuk negeri, sebanyak 997 atau sepertiganya adalah PTIS.

Jika sebaran mahasiswa dipukul rata, yang sedang menuntut ilmu di PTIS sekitar 1,5 juta orang. Ini adalah angka yang sangat besar dan mengindikasikan peran penting PTIS dalam ekosistem pendidikan tinggi nasional.

PTIS juga menjadi tempat menimba ilmu mahasiswa dengan beragam latar belakang agama. Bahkan, Universitas Amal Ilmiah (Unaim) yang beroperasi di Wamena, misalnya, lebih dari 90 persen mahasiswanya beragama Kristen. PTIS juga tersebar di semua wilayah Indonesia. Di Pulau Jawa terdapat 544 PTIS, Sumatera 267, Sulawesi 73, Kalimantan 51, Nusa Tenggara 40, Maluku 9, Papua 8, dan Bali 5. Ini adalah sisi inklusif PTIS yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Tentu, kita tidak menutup mata, tingkat kematangan PTIS sangat beragam. Sebagian sudah mapan, sebagian lain masih berkembang. Untuk keperluan pengungkitan kualitas PTIS inilah, BKSPTIS dilahirkan pada 27 April 1978. PTIS diharapkan maju secara bersama untuk mendidik anak bangsa dan menjalankan peran penting lainnya.

 

Mandiri dan mendunia

Rakernas yang dihelat di Bumi Lancang Kuning ini mengangkat tema “membangun perguruan tinggi Islam yang mandiri dan mendunia”. Pilihan tema ini tentu bukan tanpa alasan. Karakter ini diperlukan untuk menegaskan peran peradaban PTIS.

PTIS harus mandiri. Mandiri dapat dilihat dalam berbagai perspektif. Termasuk di dalamnya, adalah mandiri dalam menjalankan roda organisasinya, kapabel dalam mengembangkan lembaganya, dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. PTIS tidak boleh tergantung uluran tangan pihak lain dengan menggadaikan kebebasannya.

Meski demikian, peran pemerintah terus diharapkan untuk dapat menghadirkan ekosistem yang sehat untuk bertumbuh dan berkembangnya PT, termasuk PTIS. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanah konstitusi. Kehadiran PTIS, bersama dengan PTS lain, merupakan uluran tangan anak bangsa membantu negara. Negara, dengan alasan apa pun tidak boleh lepas tangan.

Ada sisi kemandirian lain yang perlu mendapatkan perhatian. Mandiri juga dapat dilihat dari kehadiran iklim kebebasan akademik yang sehat. Kampus harus diupayakan untuk tetap menjadi pilar yang steril dari kepentingan jangka pendek dan selalu menyuarakan kebenaran dan membongkar kebohongan. Akal sehat dan perangai ilmiah warga kampus pun harus selalu dijaga, supaya antena akademiknya masih sensitif untuk menangkap sinyal beragam masalah bangsa.

Selain itu, semangat mendunia atau mondialitas harus menjadi bagian cita-cita setiap perguruan tinggi Islam. Ini bukan soal harus mempunyai program, mahasiswa, atau kerja sama internasional saja. Ini adalah perkara peningkatan kualitas dengan standar terbaik, standar yang diakui dunia. Standar ini dapat bercermin dalam banyak aspek, termasuk pola pikir, desain program, sampai pada kualitas eksekusi.

 

Peta jalan masa depan

PTIS harus menjelma menjadi institusi yang modern jika ingin menjadi salah satu penentu arah peradaban. Masa depan kolektif PTIS harus didesain dengan serius. Jika tidak, maka orang lain yang akan mendesain masa depannya dan PTIS akan menjadi penonton di pinggiran lapangan.

Berangkat dari kesadaran tersebut, Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan LP3ES menggagas kelahiran buku yang bertajuk Peta Jalan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Bedah buku ini menjadi pengisi salah satu sesi acara. Peserta memberikan respons yang sangat baik. Banyak harapan digantungkan.

Selain memberikan potret kondisi mutakhir PTIS, buku ini juga menawarkan beragam strategi pengembangan yang bisa dipilih. Strategi ini merupakan pengembangan dari akumulasi tradisi baik yang sudah didokumentasikan oleh banyak PTIS. Faktor kontekstual Indonesia sudah seharusnya masuk dalam radar semua pimpinan PTIS dalam merumuskan masa depan dan mendesain anak tangga untuk mencapainya.

Gagasan yang diusung oleh buku ini, merupakan ikhtiar untuk mengajak para pemimpin PTIS meluangkan waktu sejenak untuk membicarakan hal-hal besar. Dalam beberapa tahun terakhir, pimpinan dan warga PTIS sudah terjebak pada labirin administratif yang seakan tiada ujung.

Hal ini tanpa disadari telah memalingkan perhatian dari diskursus besar terkait dengan peran peradaban yang diemban PTIS. Pengembangan sains yang serius merupakan salah satu pintu masuknya.

Menambah fokus lain di tengah beban bejibun memang tidak selalu mudah. Tetapi ikhtiar seperti ini jangan sampai ditinggalkan sama sekali. Kerja peradaban ini akan lebih ringan jika dijalankan secara kolektif. Semoga.

Tulisan sudah tayang di Republika.id pada 20 November 2023.

Kompas Institute bekerja sama dengan Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar workshop penulisan bagi mahasiswa dengan tema “Menarasikan Peristiwa Dengan Memikat,” pada Kamis (16/11) di Gedung Sardjito, Kampus Terpadu UII. Kegiatan yang digelar di beberapa kampus di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah ini juga dalam rangka memeriahkan Borobudur Marathon 2023 yang dihelat oleh Kompas Institute.

Penyelenggaraan workshop diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai teknik penulisan naratif. Materi yang disajikan mencakup sejumlah aspek terkait penulisan berita, seperti menentukan ide, mengumpulkan data, menyusun outline berita, penerapan 5W+1H, piramida terbalik, judul, lead, bridging, paragraf isi, hingga penutup.

Mohamad Final Daeng, seorang jurnalis berpengalaman dari Harian Kompas dihadirkan sebagai pemateri. Dengan latar belakangnya yang kaya akan pengalaman di dunia jurnalistik, ia membawa wawasan dan keterampilan praktis kepada peserta.

Wakil Direktur Bisnis Harian Kompas, Novi Eastiyanto dalam sambutannya menekankan pentingnya interaksi yang lebih dekat antara Harian Kompas dan mahasiswa. Novi menyatakan bahwa workshop ini adalah langkah awal dalam memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai pendekatan jurnalistik dalam merinci peristiwa.

“Ini adalah langkah awal untuk kita semua berinteraksi lebih dekat dengan teman-teman mahasiswa atau adik-adik mahasiswa karena kapabilitas yang ada di Harian Kompas dalam konteks bagaimana memberikan warna dari sebuah peristiwa dengan sebuah pendekatan jurnalistik,” ujarnya.

Sementara Sekretaris Eksekutif UII, Hangga Fathana S.IP., B.Int.St., M.A, menyoroti pentingnya proses editorial dalam menyajikan informasi kepada publik. Ia menyampaikan bahwa media massa dengan proses editorial yang ketat memastikan bahwa berita dan fakta yang disampaikan kepada publik memiliki keakuratan dan tanggung jawab yang tinggi.

“Kita menghadapi banjir informasi dan harian Kompas ada di garda terdepan untuk senantiasa menjaga, mengawal mutu editorial itu sampai hari ini. Kami merasa ini adalah suatu kehormatan ketika Harian Kompas melalui Kompas Institute berkenan merekatkan kerja sama antara dengan pendidikan tinggi, khususnya Universitas Islam Indonesia,” ujar Hangga Fathana.

Selain pemaparan materi, Kompas Institute dalam dalam kesempatannya di kampus UII juga memperkenalkan kompas.id, yakni sebuah platform digital Harian Kompas. Mahasiswa yang hadir diberikan akses gratis selama tiga bulan untuk mengakses berita eksklusif dan liputan khusus yang terdapat di kompas.id.

Melalui workshop penulisan diharapkan dapat memberikan wawasan dan keterampilan baru kepada mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan menulis naratif mereka. Kerja sama antara Harian Kompas dan UII diharapkan dapat menjadi langkah awal yang berkelanjutan dalam mendukung pendidikan dan persiapan mahasiswa menghadapi tantangan di dunia nyata. (AD/JR/RS)

Mahasiswa internasional Universitas Islam Indonesia (UII) menyampaikan pernyataan solidaritas dengan Palestina dalam acara “Solidarity for Palestine”, pada Rabu (15/11). Digelar bersama Culture & Learning Center (CLC) UII di Ruang Sidang Datar Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII, Kaliurang, kegiatan “Solidarity for Palestine” bertujuan untuk menyoroti keadaan yang berlangsung serta mengemukakan dukungan pada masyarakat Palestina. Read more