Mahasiswa Program Studi Profesi Arsitek (PPAr) Universitas Islam Indonesia (UII) mempresentasikan rencana penataan kawasan Bandengan-Karangsari, Kendal pada Selasa (5/12) di Hotel Westlake, Sleman sebagai rangkaian dari program pengabdian. Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Ngaji Bareng dengan tema Meneladani Khazanah Tafsir Al-Quran di Indonesia pada Senin (4/12) di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakir, Kampus Terpadu UII. Ngaji bareng menghadirkan Prof. Dr. Quraish Shihab, Lc., M.A. dan K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim sebagai narasumber.

K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim atau biasa dikenal dengan Gus Baha dalam ceramahnya mengatakan bahwa Indonesia yang damai ini tidak lepas dari peran kitab-kitab yang datang ke Indonesia.  Misalnya, arti kemenangan.

“Arti kemenangan itu tafsir yang datang ke kita dan yang paling terkenal adalah tafsir Munir karangannya Syekh Nawawi Al Jawi, itu beliau menyebut kemenangan umat Islam itu kemenangan logika, logika bahwa alam raya ini dimulai dari satu Tuhan yang berstatus wajibul wujud. Tentu lebih masuk akal ketimbang logika yang lain. Misalnya, logika nihilism bahwa alam ini dimulai dari ketiadaan. Karena itu lahir satu teori ketiadaan menciptakan yang ada,” tutur Gus Baha.

Pengasuh Pondok Pesantren Tahfizul Al-Quran Lembaga Pembinaan Pendidikan Pengembang Ilmu Al-Quran Rembang ini dalam kesempatannya menerangkan makna dari Q.S. Al Maidah ayat 56, yakni “Barang siapa yang mempertuhankan Allah dan mengikuti semua aturan-Nya, maka para pengikut Allah itulah yang akan menjadi pemenang.”

“Jadi, kemenangan umat Islam yang permanen itu adalah kemenangan logika. Kalau kemenangan perang, kemenangan bernegara, kemenangan sosial orang Islam ya pernah kalah. Zaman Nabi ‘Sugeng’ saja pernah mengalami kalah periode Mekah. Ketika periode Madinah juga pernah mengalami kalah di peristiwa Perang Uhud, tapi kalah-kalah sosial ini tidak ada pengaruhnya dengan kalah secara logika. Logika bahwa alam ini dimulai dari satu Tuhan (wajibul wujud) tentu lebih mudah dicerna,” terang Gus Baha.

Gus Baha juga menyampaikan bahwa tafsir yang datang kepada kita itu mempunyai latar belakang cerita maupun peristiwa yang berbeda-beda, Oleh karena itu, jangan bersikap ekstremis dalam mengambil/memaknai ajaran tafsir yang datang ke Indonesia.

“Andaikan kita meneladani tafsir-tafsir yang ada di Indonesia, kita ini pasti menguatkan aqidah. Bukan menang kalah urusan sosial, urusan apalah, itu urusan kedua ketiga lah syukur-syukur menang. Tapi kalau itu kita paksakan itu yang nomor 1 pasti kita sering kecewa,” tuturnya.

Gus Baha juga menyampaikan bahwa dalam kitab Fathul Bari karya Shahih Al-Bukhari dijelaskan kemenangan umat islam itu adalah aqidah. Artinya, ketika islam bahkan belum kuat, akan tetapi hujjahnya saja itu sudah menang. Karenanya, Syekh Nawawi mengatakan bahwa yang harus menang itu adalah hujjahnya.

Sementara itu, Prof. Quraish Shihab menyampaikan sebuah pelajaran yang dapat dipetik dari asbabun nuzul salah satu ayat Al Qur’an yang turun setelah perang Uhud. Beliau mengatakan bahwa sebagian sahabat nabi meninggalkan medan perang, bahkan diduga ada yang terguncang imannya, sehingga meninggalkan Islam.

“Ada satu penafsiran yang saya anggap baik sekali dari seorang pemikir Al Jazair Malik bin Nabi, beliau berkata ayat ini pelajaran bagi kita semua bahwa jangan menilai baik buruknya sesuatu dengan mengaitkannya pada sosok yang mengucapkannya,” tutur Prof. Quraish Shihab.

Prof. Quraish Shihab mengemukakan sahabat-sahabat yang meninggalkan medan perang dan meninggalkan agama Islam mungkin karena mereka hanya mengagumi sosok nabi pada saat hidupnya saja, dan begitu tersebar bahwa beliau wafat, maka mereka meninggalkannya.

“Ini karena mereka mengaitkan kebenaran dengan sosok manusia, jangan pernah menilai baik buruknya sesuatu karena ada materi. Jangan pernah mengaitkan baik buruknya susuatu karena ini diucapkan oleh profesor ini itu dan sebagainya. Nilailah baik buruknya sesuatu itu dari idenya bukan dari orangnya. Walaupun itu diucapkan oleh nabi Muhammad SAW, selama ucapan itu bersumber dari pribadi beliau bukan dari Allah SWT,” tutur Prof. Quraish Shihab.

Beliau juga berpendapat bahwa ini adalah pilihan yang baik untuk mengingatkan kita ketika membaca ataupun menilai suatu tafsir-tafsir dari siapapun orang yang kita kagumi. Maka, jadikanlah kebenaran atau baik-buruknya sesuatu itu berdasarkan ide yang disampaikan.

Prof. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa tafsir karya ulama Indonesia itu cukup banyak, akan tetapi tidak banyak yang lengkap 30 Juz. Lalu, tidak banyak juga tafsir yang ditulis dalam bahasa melayu (bahasa Indonesia). Maka, itu adalah hal yang perlu dirintis pada saat ini.

“Yang penting, jangan pernah menduga sekali-kali bahwa kita bangsa Indonesia tidak mampu melebihi bangsa-bangsa lain walaupun yang bahasa ibunya yang bahasa Al Qur’an. Sekali lagi, kita mampu asal kita mau belajar,” tandas Prof. Quraish Shihab. (JRM/RS).

Universitas Islam Indonesia (UII) senantiasa berupaya menguatkan jejaring kemitraan strategis dalam negeri, salah satunya dengan menjadi bagian Nationwide University Network in Indonesia (NUNI) atau Jejaring Perguruan Tinggi Nusantara. Mengenai hal ini, UII hadir dalam pertemuan nasional NUNI 2023 di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, yang digelar pada 21-24 November. Read more

Dalam dunia yang semakin tanpa batas, fenomena internasionalisasi merupakan suatu keniscayaan yang terjadi pada berbagai sektor, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Bagi Universitas Islam Indonesia (UII), internasionalisasi merupakan langkah strategis yang dilandasi oleh visinya sebagai universitas yang diakui di tingkat internasional. Read more

Menyadari pentingnya kontribusi jurnal di sektor pendidikan, Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan bimbingan teknis tata kelola manajemen jurnal dan dilanjutkan dengan evaluasi dan refleksi pengelolaan jurnal. Acara yang diselenggarakan pada Kamis (30/11), di Gedung Prof. Dr. Sardjito UII ini menghadirkan Kepala Pusat Pengembangan Jurnal dan Publikasi Universitas Negeri Semarang, Dr. Evi Widowati, S.KM., M.Kes., sebagai pembicara. Read more

International Mobility Week UII kembali digelar pada Kamis (30/11). Kali ini, acara dilaksanakan dalam bentuk Online Lecture Series melalui platform Zoom Meeting dengan tema utama Transforming Education Through Artificial Intelligence (AI). Acara ini bertujuan untuk memperluas wawasan dan pengetahuan mahasiswa serta masyarakat umum mengenai perkembangan terkini di dunia kecerdasan buatan. Read more

Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana Universitas Islam Indonesia (SPMKB UII) menyelenggarakan seminar bertajuk “Save the Earth, Save Yourselves. Think Green, Be Green, and Stop Polluting” sekaligus peresmian kolaborasi antara SPMKB UII/UIIPeduli. Seminar menghadirkan Direktur Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) UII, Ir. Eko Siswoyo, S.T., M.Sc.ES., Ph.D. dan Andriyas Aryo Prabowo, M.Si. dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) wilayah Sleman sebagai pembicara. Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menambah cacah profesor untuk bidang ilmu hukum pidana serta bidang media dan jurnalisme. Kali ini jabatan akademik tertinggi tersebut diraih oleh Hanafi Amrani, S.H., M.H., LL.M., Ph.D. dan Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si.. Keduanya menerima Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia bersamaan pada Senin (27/11) di Gedung Kuliah Umum, Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII. Read more

Keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII) bersyukur atas nikmat yang tak berhenti terlimpah. Pagi ini, dua sahabat kita mendapatkan amanah jabatan baru, sebagai profesor: Prof. Hanafi Amrani dan Prof. Masduki. Untuk itu, kami mengucapkan selamat atas capaian tertinggi dalam kewenangan akademik ini.

Sampai hari ini, UII mempunyai 39 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Ini menjadikan proporsi dosen dengan jabatan akademik profesor mencapai 4,8 persen (39 dari 800 orang). Saat ini, sebanyak 258 dosen berpendidikan doktoral. Sebanyak 67 berjabatan lektor kepala dan 114 lektor. Mereka semua (181 orang) tinggal selangkah lagi mencapai jabatan akademik profesor.

Prof. Hanafi adalah profesor ke-12 di Program Studi Hukum, sedangkan Prof. Masduki adalah profesor pertama di Program Studi Ilmu Komunikasi dan bahkan di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.

Selain karena sekarang adalah masa panen dari benih yang sudah ditanam pada waktu lampau, beberapa program percepatan yang didesain dengan mempertimbangkan etika tinggi, alhamdulillah membuahkan hasil. Capaian jabatan profesor bukan hanya merupakan prestasi personal, tetapi juga institusional karena meningkat profilnya.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya berbagi perspektif dan mengajak hadirin, terutama profesor baru, untuk membantu mematangkan melalui refleksi lanjutan. Dalam sambutan pendek ini, saya akan membahas kebebasan saintifik.

 

Mendefinisikan kebebasan saintifik

Ini soal kebebasan saintifik (scientific freedom atau freedom of scientific research). Kebebasan ini menjadi pilar utama dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Kebebasan ini adalah fondasi yang memungkinkan para ilmuwan dan peneliti untuk menjelajahi ide, mencari kebenaran, dan berinovasi tanpa hambatan yang tidak perlu.

Bahkan kebebasan saintifik dianggap sebagai kebutuhan demokrasi, hak sipil dan politik, dan salah satu penjamin kesehatan dan kesejahteraan manusia selama tidak menimbulkan dampak buruk bagi orang lain (dikutip oleh Wilholt, 2010).

Ini adalah bagian dari kebebasan akademik (academic freedom) yang memiliki cakupan yang lebih luas dan melampaui riset saintifik. Kebebasan akademik mencakup kebebasan anggota komunitas akademik (dosen, peneliti, mahasiswa) di perguruan tinggi yang memungkinkan kinerja efektifnya dalam menjalankan tugasnya, seperti pengajaran, riset, pembelajaran, praktik seni tanpa interferensi atau batasan karena hukum, regulasi, atau tekanan publik yang tidak masuk akal (e.g. Fuchs, 1963).

 

Beragam argumen

Dalam literatur ditemukan beragam argumen dalam memandang kebebasan saintifik (Wilholt, 2010; Bayertz, 2006).

Sebagian pemikir (e.g. Wilholt, 2010), mengenalkan argumen epistemologis dan politis. Yang pertama dikaitkan dengan upaya untuk mengorganisasi ikhtiar saintifik kolektif. Yang kedua untuk memastikan bahwa pengetahuan saintifik harus dihasilkan secara independen dari kepentingan politik karena peran penting sains terjait hajat hidup publik.

Pemikir lain (Bayertz, 2006) membagi argumen kebebasan akademik menjadi tiga.

Pertama adalah argumen Aristotelian. Argumen ini mendasarkan pada premis antropologis bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu, mencari pengetahuan, dan menanyakan apa yang menyatukan dunia. Menurut Aristoletes, karakter alami manusia adalah kebutuhan bawaannya terhadap pengetahuan dan kebenaran, bahkan meski tidak jelas manfaat praktisnya (Bayertz, 2006).

Perspektif ini melihat bahwa pencarian pengetahuan sebagai sebuah kebajikan (virtue) dan mengandung etika teleologi terkait dengan kontribusi pengetahuan terhadap kesejahteraan manusia.

Kedua adalah argumen Kantian. Kebebasan saintifik berasal dari fakta bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai persepsi sadar, yang merefleksikan dirinya sendiri dan dunia; namun menonjolkan dimensi kritis rasionalitas dan refleksi manusia. Sains dalam konteks ini dianggap sebagai kendaraan menuju pencerahan (Bayertz, 2006).

Di sini ada penghargaan atas martabat dan otonomi manusia. Kebebasan saintifik menghormati otonomi individu untuk terlibat dalam riset dan membentuk kemandirian intelektual. Kebebasan saintifik, ketika dipandu oleh prinsip etis, berkontribusi pada pengejaran pengetahuan yang universal, memberikan manfaat bagi kemanusiaan secara keseluruhan.

Ketiga adalah argumen Baconian. Argumen ini mengedepankan penggunaan praktis dan perolehan pengetahuan. Prioritasnya tidak lagi pada nilai intrinsik dari kebenaran atau perolehan pencerahan, namun pada potensi industri dari pengetahuan dan perolehan kesejahteraan material yang terkait dengannya (Bayertz, 2006). Ada ide komersialisasi pengetahuan di sini.

Dalam konteks ini adalah diskusi terkait dengan riset empiris dan penalaran induktif. Kebebasan saintifik memungkinkan peneliti untuk terlibat dalam kegiatan yang menghasilkan pengetahuan melalui observasi dan eksperimen sistematis. Selain itu, ada prinsip utilitarianisme pragmatis di sini. Kebebasan saintifik, jika dilakukan dengan tanggung jawab, dapat membawa manfaat praktis bagi masyarakat dan pada akhirnya berkontribusi pada kebaikan yang lebih besar.

Jika dirangkum secara sederhana, ketiga argumen tersebut beririsan dalam hal adanya kemajuan, pencerahan, dan kesejahteraan, meski dengan penekanan yang berbeda-beda.

 

Tantangan dan keterbatasan

Namun, kita bisa boleh menutup mata, jika kebebasan saintifik juga mempunyai tantangan yang harus dimitigasi. Tantangan tersebut termasuk koridor etika, karena riset mungkin memiliki dampak negatif terhadap masyarakat atau lingkungan.

Selain itu, aspek ketergantungan finansial dan politik dapat menggadaikan independensi saintifik. Jika terjebak, periset mungkin menerima riset pesanan untuk memberi stempel kepada kebijakan yang tidak selalu berpihak kepada kebaikan khalayak.

Ketidaksetaraan akses terhadap beragam sumber daya dan peluang riset juga menjadi tantangan lain karena dapat menciptakan ketimpangan dalam kebebasan saintifik.

Tanpa ketaatan terhadap koridor etika, Kebebasan saintifik dapat disalahgunakan, seperti dalam kasus riset yang dapat membahayakan keamanan publik. Karenanya, konsekuensi sosial dari kebebasan saintifik harus dikelola dengan bijak dan bertanggung jawab.

 

Referensi

Bayertz, K. (2006). Three arguments for scientific freedom. Ethical theory and moral practice9, 377-398.

Fuchs, R. F. (1963). Academic freedom. Its basic philosophy, function, and history. Law and Contemporary Problems28(3), 431-446.

Wilholt, T. (2010). Scientific freedom: its grounds and their limitations. Studies in History and Philosophy of Science Part A41(2), 174-181.

Sambutan pada acara serah terima surat keputusan profesor untuk Prof. Hanafi Amrani dan Prof. Masduki pada 27 November 2023.

Universitas Islam Indonesia (UII) mewisuda 1.108 lulusan pada upacara wisuda Periode II Tahun Akademik 2023/2024 yang digelar Sabtu dan Minngu, 25-26 November 2023 di Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir UII. Dari jumlah tersebut 650 wisudawan berhasil meraih predikat cum laude. Lulusan UII kali ini terdiri dari 26 ahli madia, 1.003 sarjana, 71 magister, dan 8 doktor. Hingga wisuda periode ini, tercatat UII telah menghasilkan lebih dari 120.000 lulusan yang telah berkarya di berbagai bidang baik di dalam negeri maupun mancanegara. Read more