Dalam jagat pendidikan tinggi Indonesia, perguruan tinggi swasta (PTS) tak jarang dianggap sebagai warga kelas dua atau bahkan beban negara. Memang sikap ini tidak secara eksplisit disampaikan, tetapi tidak sulit untuk menemukan indikasinya. Diskusi panjang di antara pimpinan PTS soal ini menyimpan banyak cerita pahit.
Beban meringan
Mari berandai-andai. Jika ada orang di dekat pembaca, minta bantuannya untuk membaca bagian di bawah ini. Anggukkan kepala tanda setuju di setiap bagiannya.
Apa yang terjadi jika semua PTS di Indonesia dibekukan? Beban negara dipastikan menjadi lebih ringan. Energinya tidak lagi tersita untuk melayani 2.982 PTS. Apalagi sebagian PTS ini sering dikeluhkan tidak bermutu.
Kantor Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) pun bisa ditutup. Tidak perlu lagi menggaji ribuan Aparat Sipil Negara (ASN) yang ditugaskan di belasan LLDikti yang tersebar di seluruh Indonesia.
Anggaran negara pun tidak lagi tersedot untuk membayar tunjangan profesi 183.713 dosen PTS. Negara tidak perlu direpotkan lagi menyiapkan tempat penyimpanan data transaksi akademik 4.495.453 mahasiswa PTS. Beban layanan teknologi informasinya menjadi lebih ringan.
Negara pun tidak perlu menyiapkan anggaran besar untuk sektor pendidikan. Pada 2024, anggaran sektor pendidikan sekitar Rp665 triliun yang setara dengan 20 persen APBN. Jika melihat pola sebelumnya, sekitar satu persen diperuntukkan untuk pendidikan tinggi. Penghematan sebagian anggaran ini membawa kabar bahagia di tengah kesulitan negara membiayai beragam proyek strategis nasional. Ini baru soal yang terukur.
Kebahagiaan pun bertambah, ribuan ASN, termasuk para pejabat, yang selama ini melayani beragam persoalan PTS pun terlepas dari beban beratnya. PTS sering kali dianggap tidak tahu diri, karena terlalu banyak permintaan dan terlalu sering melakukan protes. Sebagian pejabat seakan sudah jengah dengan ulah PTS ini.
Ilustrasi di atas baru didasarkan pada PTS yang berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Data 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang digunakan. PTS yang berada di bawah Kementerian Agama belum masuk radar. Jika ini dimasukkan, hanya kebahagiaan yang membuncah, karena beban di pundak negara menjadi semakin ringan. Tentu, ini perlu dirayakan dengan suka cita. Hore!
Jika pembaca menyambut baik kabar gembira di atas, mari kita lanjutan ceritanya. Anak muda usia kuliah mempunyai waktu banyak bersama keluarga atau mencari nafkah, karena dari cacah mereka yang lebih dari 25 juta, hanya 3.379.828 atau 13,37 persen yang menjadi mahasiswa. Inilah angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) di Indonesia, jika semua PTS dilenyapkan dari muka bumi Indonesia.
Potret yang dicari
Pertanyaannya, apakah potret ini yang kita cari? Tentu saja tidak. Kita tidak ingin semakin penduduk usia kuliah yang tidak mendapatkan haknya, karena negara abai terhadap amanah konstitusi dalam mencerdaskan anak bangsa. Kita tidak rela, bangsa Indonesia semakin tertinggal dengan negara-negara lain. Kualitas anak bangsa harus terus ditingkatkan.
Dengan memasukkan kembali PTS dalam jagat pendidikan tinggi Indonesia, APK PT menjadi 31,16 persen. PTS berandil sebesar 17,79 persen, lebih tinggi dibandingkan andil PTN.
Karena beragam alasan itulah, PTS lahir di Bumi Pertiwi. Bahkan sebagian PTS lahir sebelum negara Indonesia resmi diproklamasikan. Universitas Islam Indonesia (UII), misalnya, lahir 40 hari sebelum kemerdekaan. Sebagian PTS lain, dibuka ketika bangsa ini dalam situasi sulit. Mereka sudah memikirkan masa depan bangsa. Ini adalah wujud kecintaan PTS yang mendampingi negara ketika tangannya tak sanggup memeluk semua anak bangsa. Sejak lama dilakukan dan masih sama, sampai hari ini.
Jika kesadaran ini yang hadir, maka posisi PTS akan dimuliakan, keberadaannya dianggap mitra, kehadirannya disambut dengan suka cita, dan pertumbuhannya diupayakan bersama. Bukan sebaliknya: posisinya dihinakan dengan selalu diragukan kualitasnya, keberadaan dianggap pesaing, kehadirannya disamakan dengan beban, dan pertumbuhannya diabaikan karena tidak punya masa depan.
Ingat, sebagian besar PTS yang dianggap mapan, juga dimulai dari PTS kecil yang terseok-seok di awal berdirinya. Dengan konsistensi pada nilai pijakan yang mulia dan ikhtiar kolektif istikamah, perlahan PTS bertumbuh dan menegaskan kontribusinya untuk bangsa. Hanya segelintir PTS yang lahir bongsor. Karenanya, tidak perlu lagi menghinakan PTS yang sedang berjuang untuk berkembang.
Peran penyanding
Apakah pembaca masih belum yakin tentang dampak signifikan kehadiran PTS? Tidak apa-apa. Jangankan pembaca awam, sebagian pejabat, termasuk yang di PTN, yang digaji dengan uang pajak pun terkadang demikian. Seakan mereka ingin mengaburkan peran PTS dengan mengatakan: “Betul, jumlah PTS ribuan tapi hanya melayani 4,5 juta mahasiswa loh. PTN meski jumlahnya hanya 125, tapi melayani 3,3 juta.”
Kehadiran PTS seakan dianggap tidak berharga, karena kalah dengan PTN yang dianggap selalu hebat. Posisi yang membandingkan dan bukan menyandingkan ini sangat berbahaya. Sialnya, hal ini tidak disadari. Terus terang, saya juga sangat khawatir jika sudut pandang yang muncul dari alam bawah sadar ini diadopsi oleh pejabat pengambil kebijakan.
Mungkin karena pemahaman ini juga, ada modul khusus bersampul sebuah apel merah di atas tumpukan buku, yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak berjudul: Modul Penggalian Potensi Pajak Sektor Usaha Jasa Pendidikan. Namun, ini baru dugaan, dan karenanya perlu ditabayun, supaya tidak menimbulkan fitnah.
Mari kita lanjutkan dengan beberapa data. Dari 34 provinsi yang terdaftar dari data BPS, di 21 provinsi, proporsi mahasiswa yang menuntut ilmu di PTS lebih dari separuh. Di Sumatera Utara, misalnya, dari 381.458 mahasiswa, 78,3 persen berkuliah di PTS. Di Riau, sebanyak 73,0 persen mahasiswa duduk di bangku PTS. Bahkan di DKI Jakarta, angka ini mencapai 85,1 persen. Potret ini belum ditambah dengan fakta sebaran PTS yang menjangkau pelosok negeri yang tidak terjangkau oleh tangan negara.
Kaca mata jernih
Negara sudah seharusnya melihat PTS dengan kaca mata yang lebih jernih. Betul, ada disparitas kualitas PTS. Fenomena serupa pun terjadi di PTN, meski dengan kesenjangan yang berbeda. Itulah pekerjaan rumah bersama bangsa ini.
PTS tidak pernah ingin menjadi anak emas dan diperlakukan istimewa. Yang dibutuhkan hanya lapangan permainan setara yang menjadi lahan subur untuk pertumbuhan bersama. PTS sudah bertahun-tahun membuktikan dirinya mampu mandiri, tanpa terlalu banyak uluran tangan pemerintah.
PTS pun tidak lantas menjadi anak durhaka yang lupa berterima kasih kepada negara dengan beragam program ungkitan. Apresiasi tinggi tentu diberikan. Namun, jeritan PTS yang menggaung di ruang publik dalam beberapa tahun terakhir, termasuk kebijakan penerimaan mahasiswa baru, perlu didengar kembali dengan kesadaran baru dan dilihat lagi dengan lensa yang lebih sensitif.
Bisa jadi, tidak semua usulan mungkin diakomodasi, karena beragam alasan. Tetapi, saya yakin banyak ruang terbuka untuk perbaikan bersama. Itulah indahnya argumentasi di dunia akademik ketika semuanya mungkin dibicarakan dengan terbuka tanpa kepentingan tersembunyi dan kalis dari adu kuasa. Semoga.
Tulisan sudah tayang di Republika.id pada 3 Desember 2023.