Mengapa berita palsu, informasi salah, atau hoaks bisa menyebar cepat? Ada banyak jawaban. Salah satu jawabannya adalah karena naluri dan emosi telah mengalahkan fakta dan nalar.
Jika ini terjadi, maka akal sehat tergadaikan. Diskusi sehat pun tidak mungkin dijalankan. Pintu bertukar pikiran sudah ditutup rapat.
Sialnya, kasus seperti ini tidak hanya menjangkiti kalangan awam. Kalangan terpelajar pun banyak yang terjerat. Apalagi jika dilengkapi dengan embel-embel kepentingan, yang memudahkan produksi 1001 macam argumen pembenaran.
Karenanya, ketika ada informasi yang memapar seseorang dan itu mengonfirmasi opini awal yang sudah dipercaya, maka apa pun kualitasnya, informasi tersebut akan dilahapnya tanpa penalaran yang berarti. Inilah yang disebut dengan bias konfirmasi.
Di saat yang sama, informasi lain meski benar, tetapi jika tidak sesuai dengan opini semula, maka akan ditampik. Sangat sulit bagi orang yang seperti ini untuk berpindah pendirian.
Apesnya, opini awal yang terbentuk pun tidak selalu yang benar. Informasi salah yang memapar bertubi-tubi, akan lebih mudah dipercaya dibandingkan dengan informasi benar yang baru sekali diketahui.
Informasi apa pun yang diberikan oleh orang bercitra baik dan mempunyai tautan emosional baik juga serupa: lebih mudah dipercaya, meski tidak benar dan berlawanan dengan akal sehat. Kerumitan bertambah, ketika banyak pihak yang saling mengklaim sebagai otoritas yang bisa dipercaya. Dalam konstelasi ini, para pihak tersebut termasuk para ahli dengan beragam argumen dan segenap khalayak, terutama warganet.
Kekhawatiran di atas akan menemukan banyak bukti di musim kontestasi politik seperti saat ini. Coba simak beberapa informasi yang beredar di dunia maya berikut: Polisi Temukan Gudang Penyimpanan Ijazah Palsu Gibran; Mahfud MD Laporkan Gibran Rakabuming Raka ke KPU; Mendag Zulkifli Hasan Ditangkap Karena Penistaan Agama; Rektor UGM Mengeluarkan Gielbran Muhammad Noor atas Aksi Mengkritik Presiden Jokowi; Gibran Menggunakan 3 Mic pada Debat Cawapres, Berbeda dengan Dua Calon Lain; dan Warga Solo Teriaki Prabowo “Anies Presiden”. Semua informasi tersebut dipastikan merupakan hoaks. Situs www.kominfo.go.id sudah menayangkan klarifikasi untuk setiapnya. Bisa jadi, ketika suhu politik semakin menghangat, produksi hoaks juga meningkat, baik dengan memoles pasangan jagoan atau memfitnah pasangan lawan.
Apa yang terjadi jika hoaks tersebut terus menyebar dan dipercaya oleh semakin banyak orang? Beragam skenario bisa dibayangkan, termasuk suhu politik yang semakin memanas. Bukan karena adu gagasan bernas, tetapi benturan keganasan culas. Semuanya tidak ada yang berakhir indah.
Dalam konteks politik, fenomena di atas telah melahirkan yang oleh William Davies dalam bukunya Nervous State disebut sebagai “demokrasi perasaan” (democracy of feelings), ketika perasaan semakin mendominasi keputusan manusia. Fakta dimanipulasi untuk memberikan dampak emosional yang maksimum, dan perasaan dimainkan untuk menavigasi perubahan yang sangat cepat.
Bagi Davies, dalam situasi seperti ini, tantangan terbesarnya bukan lagi pada penghormatan kepada kebenaran, karena kebenaran sudah menjadi isu politik. Kebenaran dibuat menjadi relatif dan diputarbalikkan. Alih-alih digunakan untuk resolusi konflik, kebenaran justru digunakan untuk memperuncing konflik.
Informasi yang beredar pun, termasuk hoaks, dianggap sebagai representasi kebenaran. Kecepatan sebaran informasi tersebut semakin dahsyat ketika terjadi di pusaran publik dengan imajinasi paranoid yang tinggi karena perasaan terancam, kesesuaian informasi dengan opini awal yang dimiliki, dan frekuensi informasi yang diterima.
Jika ini yang terjadi, dalam konteks perhelatan politik, kebebasan warga dapat direnggut dengan manipulasi dan penggiringan opini, sehingga akal sehat menjadi sulit untuk berfungsi. Di sini, terjadi surplus perasaan yang dibarengi dengan defisit penalaran yang akut.
Bagaimana melawannya? Diperlukan gerakan bersama-sama mengedepankan penalaran merdeka yang tidak dikangkangi oleh perasaan tuna nurani. Semuanya penting dilakukan untuk merawat kewarasan kolektif sebagai bangsa.
Tulisan sudah tayang di Kolom Analisis Harian Kedaulatan Rakyat pada 29 Desember 2023.