Keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII) bersyukur atas nikmat yang tak berhenti terlimpah. Pagi ini, dua sahabat kita mendapatkan amanah jabatan baru, sebagai profesor: Prof. Hanafi Amrani dan Prof. Masduki. Untuk itu, kami mengucapkan selamat atas capaian tertinggi dalam kewenangan akademik ini.
Sampai hari ini, UII mempunyai 39 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Ini menjadikan proporsi dosen dengan jabatan akademik profesor mencapai 4,8 persen (39 dari 800 orang). Saat ini, sebanyak 258 dosen berpendidikan doktoral. Sebanyak 67 berjabatan lektor kepala dan 114 lektor. Mereka semua (181 orang) tinggal selangkah lagi mencapai jabatan akademik profesor.
Prof. Hanafi adalah profesor ke-12 di Program Studi Hukum, sedangkan Prof. Masduki adalah profesor pertama di Program Studi Ilmu Komunikasi dan bahkan di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.
Selain karena sekarang adalah masa panen dari benih yang sudah ditanam pada waktu lampau, beberapa program percepatan yang didesain dengan mempertimbangkan etika tinggi, alhamdulillah membuahkan hasil. Capaian jabatan profesor bukan hanya merupakan prestasi personal, tetapi juga institusional karena meningkat profilnya.
Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya berbagi perspektif dan mengajak hadirin, terutama profesor baru, untuk membantu mematangkan melalui refleksi lanjutan. Dalam sambutan pendek ini, saya akan membahas kebebasan saintifik.
Mendefinisikan kebebasan saintifik
Ini soal kebebasan saintifik (scientific freedom atau freedom of scientific research). Kebebasan ini menjadi pilar utama dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Kebebasan ini adalah fondasi yang memungkinkan para ilmuwan dan peneliti untuk menjelajahi ide, mencari kebenaran, dan berinovasi tanpa hambatan yang tidak perlu.
Bahkan kebebasan saintifik dianggap sebagai kebutuhan demokrasi, hak sipil dan politik, dan salah satu penjamin kesehatan dan kesejahteraan manusia selama tidak menimbulkan dampak buruk bagi orang lain (dikutip oleh Wilholt, 2010).
Ini adalah bagian dari kebebasan akademik (academic freedom) yang memiliki cakupan yang lebih luas dan melampaui riset saintifik. Kebebasan akademik mencakup kebebasan anggota komunitas akademik (dosen, peneliti, mahasiswa) di perguruan tinggi yang memungkinkan kinerja efektifnya dalam menjalankan tugasnya, seperti pengajaran, riset, pembelajaran, praktik seni tanpa interferensi atau batasan karena hukum, regulasi, atau tekanan publik yang tidak masuk akal (e.g. Fuchs, 1963).
Beragam argumen
Dalam literatur ditemukan beragam argumen dalam memandang kebebasan saintifik (Wilholt, 2010; Bayertz, 2006).
Sebagian pemikir (e.g. Wilholt, 2010), mengenalkan argumen epistemologis dan politis. Yang pertama dikaitkan dengan upaya untuk mengorganisasi ikhtiar saintifik kolektif. Yang kedua untuk memastikan bahwa pengetahuan saintifik harus dihasilkan secara independen dari kepentingan politik karena peran penting sains terjait hajat hidup publik.
Pemikir lain (Bayertz, 2006) membagi argumen kebebasan akademik menjadi tiga.
Pertama adalah argumen Aristotelian. Argumen ini mendasarkan pada premis antropologis bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu, mencari pengetahuan, dan menanyakan apa yang menyatukan dunia. Menurut Aristoletes, karakter alami manusia adalah kebutuhan bawaannya terhadap pengetahuan dan kebenaran, bahkan meski tidak jelas manfaat praktisnya (Bayertz, 2006).
Perspektif ini melihat bahwa pencarian pengetahuan sebagai sebuah kebajikan (virtue) dan mengandung etika teleologi terkait dengan kontribusi pengetahuan terhadap kesejahteraan manusia.
Kedua adalah argumen Kantian. Kebebasan saintifik berasal dari fakta bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai persepsi sadar, yang merefleksikan dirinya sendiri dan dunia; namun menonjolkan dimensi kritis rasionalitas dan refleksi manusia. Sains dalam konteks ini dianggap sebagai kendaraan menuju pencerahan (Bayertz, 2006).
Di sini ada penghargaan atas martabat dan otonomi manusia. Kebebasan saintifik menghormati otonomi individu untuk terlibat dalam riset dan membentuk kemandirian intelektual. Kebebasan saintifik, ketika dipandu oleh prinsip etis, berkontribusi pada pengejaran pengetahuan yang universal, memberikan manfaat bagi kemanusiaan secara keseluruhan.
Ketiga adalah argumen Baconian. Argumen ini mengedepankan penggunaan praktis dan perolehan pengetahuan. Prioritasnya tidak lagi pada nilai intrinsik dari kebenaran atau perolehan pencerahan, namun pada potensi industri dari pengetahuan dan perolehan kesejahteraan material yang terkait dengannya (Bayertz, 2006). Ada ide komersialisasi pengetahuan di sini.
Dalam konteks ini adalah diskusi terkait dengan riset empiris dan penalaran induktif. Kebebasan saintifik memungkinkan peneliti untuk terlibat dalam kegiatan yang menghasilkan pengetahuan melalui observasi dan eksperimen sistematis. Selain itu, ada prinsip utilitarianisme pragmatis di sini. Kebebasan saintifik, jika dilakukan dengan tanggung jawab, dapat membawa manfaat praktis bagi masyarakat dan pada akhirnya berkontribusi pada kebaikan yang lebih besar.
Jika dirangkum secara sederhana, ketiga argumen tersebut beririsan dalam hal adanya kemajuan, pencerahan, dan kesejahteraan, meski dengan penekanan yang berbeda-beda.
Tantangan dan keterbatasan
Namun, kita bisa boleh menutup mata, jika kebebasan saintifik juga mempunyai tantangan yang harus dimitigasi. Tantangan tersebut termasuk koridor etika, karena riset mungkin memiliki dampak negatif terhadap masyarakat atau lingkungan.
Selain itu, aspek ketergantungan finansial dan politik dapat menggadaikan independensi saintifik. Jika terjebak, periset mungkin menerima riset pesanan untuk memberi stempel kepada kebijakan yang tidak selalu berpihak kepada kebaikan khalayak.
Ketidaksetaraan akses terhadap beragam sumber daya dan peluang riset juga menjadi tantangan lain karena dapat menciptakan ketimpangan dalam kebebasan saintifik.
Tanpa ketaatan terhadap koridor etika, Kebebasan saintifik dapat disalahgunakan, seperti dalam kasus riset yang dapat membahayakan keamanan publik. Karenanya, konsekuensi sosial dari kebebasan saintifik harus dikelola dengan bijak dan bertanggung jawab.
Referensi
Bayertz, K. (2006). Three arguments for scientific freedom. Ethical theory and moral practice, 9, 377-398.
Fuchs, R. F. (1963). Academic freedom. Its basic philosophy, function, and history. Law and Contemporary Problems, 28(3), 431-446.
Wilholt, T. (2010). Scientific freedom: its grounds and their limitations. Studies in History and Philosophy of Science Part A, 41(2), 174-181.
Sambutan pada acara serah terima surat keputusan profesor untuk Prof. Hanafi Amrani dan Prof. Masduki pada 27 November 2023.