Universitas Islam Indonesia (UII) dan Association of Chartered Certified Accountants (ACCA) menggelar selebrasi 10 tahun kerjasama yang telah terjalin di Hotel Le Meridien Jakarta pada tanggal 7 September 2023. Julia Simatupang, Country Manager dan Chief Representative ACCA Indonesia dalam sambutannya menjelaskan bahwa acara bertajuk “ACCA Indonesia Reception 2023” diselenggarakan bersamaan dengan peringatan satu dekade kerjasama UII dan ACCA. Rangkaian acara juga ditandai dengan penandatangan perpanjangan Memorandum of Understanding (MoU) antara UII dan ACCA.
Read more

Yogyakarta—Universitas Islam Indonesia (UII) and the Association of Chartered Certified Accountants (ACCA) celebrated their 10-year cooperation anniversary at the Le Meridien Hotel in Jakarta on 7 September 2023. Read more

Program Studi (Prodi) Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali meraih Juara Umum dalam Kompetisi Ilmiah Mahasiswa Psikologi (KIMPSI) Universitas Islam IV-2023. Kompetisi mahasiswa tingkat nasional ini diselenggarakan secara rutin setiap tahun oleh Inter-Islamic University Conference on Psychology Forum (IIUCP Forum). Forum yang telah berdiri 10 tahun yang lalu ini diketuai oleh Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si, M.Ag., Psikolog. Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang bertindak sebagai tuan rumah penyelenggaraan KIMPSI Universitas Islam IV-2023 pada 25 Agustus 2023.
Read more

Jurusan Farmasi Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan Kajian Islam Sains & Teknologi (KAIST) dan Kuliah Umum dengan tema “Peptidas as Targeted Drug Delivery System” pada Kamis (22/9) di Auditorium Lantai 4 Gedung Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) pada Kamis (7/9). Kajian menghadirkan narasumber yakni, Prof. Teruna J. Siahaan selaku pengajar School Of Pharmacy, Kansas University, US.

Read more

Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) ang berlangsung pada Selasa lalu (5/9), Ibaraki University mengadakan sesi kuliah umum dalam rangka memperkenalkan kampusnya pada sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII). Kegiatan tersebut diadakan di Gedung K.H. Mas Mansyur, Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII pada Kamis (7/9).

Read more

Tidak mengada-ada! Nurani akademik saya terusik ketika melihat beberapa poster undangan menulis beberapa jurnal ilmiah di Indonesia di linimasa media sosial. Poster tersebut menuliskan secara eksplisit, bahwa pengelola jurnal dapat melayani penomoran mundur untuk keperluan pengisian beban kinerja dosen (BKD) yang wajib diisi oleh dosen setiap semester.

Poster lain memuat hitung-hitungan. Meski harus membayar dalam jumlah tertentu, tetapi dosen penulis masih untung karena nominal biayanya lebih rendah dibandingkan akumulasi tunjangan sertifikasi dosen yang diterima. Ada analisis laba-rugi di sana. Elok nian!

Sekilas tidak ada yang salah. Pun tidak ada yang berpendapat miring, baik dalam kolom komentar maupun grup media media. Sialnya, saya pun tidak punya keberanian untuk mengomentari secara langsung, karena pertimbangan mudarat-maslahat. Saya berharap, saya tidak sendirian terbenam dalam kegalauan, ketika menemukan fenomena ini. Bisa jadi, sebagian dosen langsung berseloroh ini masih wilayah ‘abu-abu’.

 

Alasan pembenar

Dalam diskusi informal terbatas, isu tersebut kadang dibahas. Beberapa alasan pembenar pun bermunculan. Termasuk di antaranya adalah beban dosen yang terlalu tinggi, sehingga tidak mungkin melakukan riset dengan baik. Secara satiris, alasan ini diilustrasikan sebagai Doctor Strange, tokoh rekaan Marvel, dengan tangan banyak yang setiapnya menyimbolkan tugas dosen.

Alasan lain ikut menimpali, terkait penghasilan dosen yang rendah, sehingga sebagian harus mencari cara yang menyita waktu dan energi untuk menjamin keberlangsungan hidup. Betul, di sebagian perguruan tinggi, dosen terperhatikan dengan baik dan mendapatkan penghasilan yang mencukupi. Tetapi, tidak demikian halnya di banyak perguruan tinggi lain. Survei terkait kesejahteraan dosen di Indonesia ikut menguatkan klaim ini.

Meskipun alasan-alasan di atas merupakan fakta sosial yang tidak mudah ditampik, apakah itu dapat menjadi pembenar penggadaian integritas akademik?

Integritas akademik seharusnya berada di atas formalitas yang terlihat. Ada nilai-nilai luhur yang berhak dijaga dengan baik oleh kalangan dosen, termasuk kejujuran dan tanggung jawab.

 

Integritas akademik

Banyak aspek yang dapat didaftarkan di sini. Yang paling awal adalah motivasi atau niat dalam publikasi ilmiah. Tentu, kita sepakat, niat bersifat personal. Selain itu, juga tak ada seorang pun di muka bumi uang berhak memaksakan niat kepada orang lain. Riset menemukan bahwa dosen tidak selalu merespons baik terhadap stimulus eksternal. Motivasi intrinsiknya lebih kuat. Karenanya, di sini, kesadaran etis personal dosen menjadi sangat penting.

Beragam motivasi mulia publikasi ilmiah, dapat ditulis di sini, termasuk kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, peningkatan manfaat hasil riset, dan edukasi khalayak yang lebih luas.

Apakah tidak boleh menggunakan motivasi lain? Tidak ada yang berhak melarang. Di sana ada beragam niat. Di antaranya untuk mendapatkan insentif, mendukung karier akademik, dan meningkatkan profil personal.

Apapun motivasinya, pertanyannya sama: apakah layak menjadi alasan pelanggaran integritas akademik?

 

Godaan jalan pintas

Saya berharap, jawaban jujur atas pertanyaan di atas cenderung ‘tidak’. Meski di lapangan teriakan ‘tidak’ tersebut masih terdengar sayup-sayup. Poster yang diungkap di atas merupakan sebagian buktinya. Sikap diam yang ada pun bisa jadi juga indikasi persetujuan atau toleransi.

Kehadiran jalan pintas pun akhirnya menggoda para dosen melanggar integritas akademik.  Hal ini bisa mewujud dalam beragam trik, termasuk menjadi ‘penumpang gelap’ (free rider) dengan mengklaim kepengarangan tanpa kontribusi yang jelas dan pemilihan kanal publikasi yang tidak terjamin mutunya karena tanpa melalui proses penelaahan sejawat (peer review) yang memadai. Termasuk dalam kelompok terakhir adalah sengaja melakukan publikasi pada jurnal yang terindikasi pemangsa (predatory journals), yang biasanya mengharuskan penulis untuk membayar sejumlah uang. Meski harus dicatat, tidak semua jurnal yang mengenakan biasa, masuk ke dalam katogori ini.

Modus pelanggaran integritas akademik masih banyak, termasuk dengan fabrikasi dan falsifikasi data serta plagiarisme. Fabrikasi data dilakukan dengan memproduksi data yang sebetulnya tidak pernah ada atau dikumpulkan. Falsifikasi dilakukan dengan menambah, mengurangi, atau mengubah data supaya sesuai dengan keinginan penulis, termasuk untuk membuktikan hipotesis.

Plagiarisme atau penjiplakan sering kali dipahami sebagai isu teknis, selama tidak ketahuan oleh mesin pengecek, dianggap tidak bermasalah. Mesin pengecek plagiarisme dapat dikecoh dengan strategi tertentu.

Plagiarisme adalah isu etika. Yang paling tahu, apakah sebuah tulisan mengandung praktik plagiarisme adalah penulisnya. Proses penulisan menentukan ini semua. Yang dibutuhkan hanya kejujuran dan keberanian mengakuinya.

Menolak godaan jalan pintas tidak selalu mudah, tetapi tidak ada pilihan lain, jika kita ingin menjaga integritas akademik. Jika tidak, masihkah kita ingat pepatah: guru kencing berdiri, murid kencing berlari? Saya tidak punya keberanian untuk membayangkan.

Tulisan ini sudah tayang di Kolom Analisis Harian Kedaulatan Rakyat edisi 7 September 2023.

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menggelar Kuliah Umum Keislaman dan Kebangsaan bertajuk “Suksesi Kepemimpinan Nasional: Mencari Pemimpin yang Nasionalis dan Agamis” pada Kamis (07/09), di Auditorium Gedung FH UII, Jl. Kaliurang Km. 14,5. Kuliah umum menghadirkan pembicara Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2022-2027, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si. Kehadiran tokoh yang kerap disapa Buya Haedar ini mendapat sambutan hangat dari segenap civitas akademika UII.

Read more

Dalam sepekan terakhir, jagad pendidikan tinggi di Indonesia dihangatkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permen) 53/2023 terbaru tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Ada banyak hal baik dalam Permen tersebut untuk menjaga kedaulatan kepada setiap perguruan tinggi dalam menentukan standar mutunya, termasuk pilihan-pilihan pendekatan asesmennya. Dalam banyak aspek, saya melihat, Permen ini tidak bersifat imperatif yang kaku, tetapi justru membuka alternatif.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah bahwa Permen tidak lagi mewajibkan skripsi sebagai satu-satunya asesmen kelulusan. Permen menyebutkan bahwa asesmen ketercapaian kompetensi lulusan program sarjana atau sarjana terapan dapat melalui: (a) pemberian tugas akhir yang dapat berbentuk skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis baik secara individu maupun berkelompok; atau (b) penerapan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lainnya yang sejenis dan asesmen yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi lulusan.

Kata hubung yang digunakan adalah ‘atau’ baik untuk kalimat pengantarnya (sarjana atau sarjana terapan) maupun bentuk asesmennya. Apakah bentuk asesmen (a) untuk sarjana dan (b) untuk sarjana terapan, tidak mudah dijelaskan dengan pasti. Yang menjadikan diskusi hangat adalah adanya alternatif asesmen akhir selain skripsi, termasuk prototipe, proyek, atau tugas akhir lainnya.

 

Memperjelas definisi skripsi

Ada beberapa isu di sini, yang perlu diperjelas. Pertama, apakah menjadikan skripsi setara dengan prototipe dan proyek pendekatan yang bisa diterima? Mari kita tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Skripsi merupakan karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya. Salah satu frasa kunci dalam definisi ini adalah ‘karangan ilmiah’.

Kedua, bagaimana seorang mahasiswa melaporkan protototipe atau proyek atau tugas akhir yang dilakukan? Apakah tidak dalam bentuk tulisan yang menggunakan pendekatan ilmiah juga? Apakah ketika mendesain dan mengimplementasi prototipe atau proyek atau tugas akhir lain mahasiswa tidak menggunakan pendekatan ilmiah? Bagaimana melatih mahasiswa dalam berpikir ilmiah, jika prototipe, proyek, atau tugas akhir tidak dianggap aktivitas ilmiah?

Jika aktivitas tersebut bersifat ilmiah, maka sifat laporan tertulisnya juga ilmiah. Jika pun menggunakan struktur penulisan yang berbeda, itu soal lain. Intinya tetap karangan ilmiah, dan itu adalah skripsi.

Saya khawatir, kata skripsi dalam Permen telah mengalami penyempitan makna. Ini mirip dengan membandingkan antara tumbuh-tumbuhan, pohon mangga, pohon duren, dan pohon apel. Tiga yang terakhir dapat dimasukkan ke dalam kelompok bertama (tumbuh-tumbuhan).

 

Kecakapan menulis dan berpikir kritis

Menyusun skripsi, baik berbasis riset, pengembangan prototipe, proyek, atau tugas akhir lain, adalah salah satu ikhtiarkan memastikan bahwa mahasiswa mempunyai kecakapan menulis ilmiah dengan baik. Tulisan ilmiah yang baik tidak mungkin hadir tanpa basis pemikiran yang tertib, argumentatif, dan berbasis data. Kecakapan dalam berpikir kritis diperlukan untuk melahirkan tulisan ilmiah yang bernas.

Kecakapan ini menjadi semakin penting ketika lulusan di dunia berkarya juga ditantang untuk mampu mengartikulasikan dan menjual idenya kepada orang lain, dalam bentuk tertulis. Mampu menulis dengan baik merupakan salah satu indikator bahwa seseorang memahami ide, konteks, atau tugas yang dikerjakan secara mendalam.

Tulisan juga telah terbukti menjadi perantara diseminasi ilmu pengetahuan ke khalayak yang lebih luas. Kehadiran ide dalam bentuk tertulis, telah memungkinkan manusia saat ini mengakses ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan berabad-abad lalu.

Selain itu, tulisan akan memudahkan mengundang orang lain melalui penelahaan sejawat  untuk menguji kredibilitas aktivitas ilmiah yang dilaporkan. Pendekatan ini sangat penting untuk memastikan bahwa tulisan ilmiah yang beredar berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Perangai ilmiah bangsa

Jika kecakapan menulis ilmiah tidak dilatih, saya khawatir, perangai ilmiah masyarakat Indonesia semakin pudar. Apa indikasinya? Salah satunya adalah penyebaran informasi yang tidak valid dan hoaks yang sangat cepat.

Hoaks sebetulnya dipastikan tidak ilmiah, tetapi karena tapis perangai ilmiah sudah terkoyak, maka hoaks sangat mudah dipercaya dan diamplifikasi lebih luas. Tidak hanya oleh mereka yang awam, tetapi oleh banyak cendekia. Data atau fakta dipinggirkan dan digantikan dengan opini yang sering kali tidak kalis kepentingan.

Apakah ini bukan pemikiran yang telalu mengada-ada? Bisa jadi. Tapi, hubungan antarkejadian seringkali tidak selalu serta-merta dan terlihat di awal. Yang jelas, apa yang kita nikmati hari ini, tidak lepas dari pilihan-pilihan masa lalu yang dibuat, baik oleh kita maupun oleh orang lain.

Dengan pemahaman ini, saya khawatir, pilihan kita untuk tidak melatih kecapakan menulis ilmiah para sarjana baru, akan berdampak buruk pada pudarnya perangai ilmiah bangsa ini di masa depan. Semoga prediksi saya ini salah.

Tulisan ini sudah tayang di Republika.id edisi 4 September 2023

Universitas Islam Indonesia (UII) memperluas jaringan global melalui kerja sama dengan Ibaraki University Jepang. Kesepakatan kerja sama ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pada Selasa (5/9) di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito UII. Dalam lawatannya ke UII, Ibaraki University juga berkesempatan memperkenalkan profil kampus kepada sivitas akademika UII melalui kegiatan kuliah umum yang diselenggarakan pada Kamis (7/9).

Read more