Tema yang dipilih untuk acara diskusi publik ini adalah “membumikan sains untuk publik”. Pilihan bingkai ini bukan tanpa alasan.
Saya termasuk yang percaya bahwa perguruan tinggi yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) dan The Conversation Indonesia berbagi misi yang sama: mengedukasi publik. Terima kasih Aptisi sampaikan kepada The Conversation Indonesia.
Tiga alasan
Paling tidak terdapat tiga alasan mengapa acara ini dihelat. Semuanya berawal sebuah kegalauan, yang saya harapkan menjadi kegalauan kolektif warga kampus di Indonesia.
Saya mengajak para kolega akademisi untuk ikut galau, meski saya sadar sepenuhnya sudah banyak kegalauan yang lain. Namun, isu ini tidak boleh dipandang sebelah mata sebagai bagian tanggung jawab moral warga kampus.
Beberapa fakta yang menjadi alasan berikut, juga terbuka untuk didiskusikan. Syaratnya dua: mau jujur dan berani menerima fakta brutal yang pahit.
Pertama, keasyikan para ilmuwan di dunianya sendiri. Tidak jarang bahkan ilmuwan sudah tidak peduli dengan manfaat dari ilmu yang ditekuni dan dikembangkannya. Mereka terlalu asyik dengan dunianya sendiri.
Tekanan yang demikian hebat, telah membuat sebagian dari ilmuwan melempar handuk tanda menyerah, dan mengarahkan energinya untuk aktivitas penggugur kewajiban dan berorientasi jangka pendek, tanpa memasukkan publik dalam radarnya. Ilmu untuk ilmu semata, dan bukan untuk kesejahteraan manusia.
Kedua, kepercayaan kepada ilmu dan ilmuwan yang turun. Survei yang dilakukan oleh Pew Research Center di Amerika menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap ilmuwan menurun. Pada awal 2022, hanya 29 persen responden yang masih sangat percaya dengan ilmuwan. Angka ini turun dari 40% di akhir 2020, dan 35% di awal 2019.
Bagaimana dengan Indonesia? Tidak ada informasi serupa. Namun, apa pendapat kita ketika, misalnya, terdapat fenomena rakyat berbondong-bondong mendapatkan pengobatan dari seorang anak kecil yang menemukan ‘batu bertuah’. Atau, ketika awal pandemi, potensi bahaya Covid-19 menjadi olok-olok di sebagian masyarakat dan bahkan di kalangan sebagian pejabat.
Ketiga, jebakan neoliberalisme terhadap warga kampus dalam berpikir dan bertindak. Merebaknya kebijakan dan praktik yang didasari pada pendekatan neoliberalisme telah menjadikan kampus dan dosen cenderung pragmatis. Idealisme menjadi luntur.
Apa yang tidak mendatangkan manfaat langsung terhadap penilaian pihak luar terhadap institusi atau karier dosen sering kali mendapatkan prioritas buncit. Menulis di kanal populer, misalnya, dianggap tidak penting. Hal ini diamplifikasi dengan penghargaan yang minimal di mata kampus dan negara.
Tiga ajakan
Tentu, daftar alasan di atas terbuka untuk ditambah. Berangkat dari fakta pahit di atas, melalui acara ini, saya mengajak akademisi Indonesia untuk membangun kesadaran kolektif.
Pertama, merawat perangai ilmiah. Ajakan ini valid untuk warga kampus dan juga publik. Tidak semua warga kampus punya kesadaran untuk merawat perangai ilmiah (yang ditandai dengan penghargaan terhadap data pendukung dan keterbukaan terhadap teori baru). Absennya skeptisisme dan mudah percaya tanda validasi atau tabayun adalah contoh sikap yang tidak mendukung perangai ilmiah. Sikap bebal tidak mau menerima ide baru dengan argumentasi kuat juga indikator yang anti perangai ilmiah.
Kedua, menjaga idealisme kampus. Publik menggantungkan banyak harapan kepada warga kampus. Kampus karenanya menjadi penting menjaga idealisme sangat penting. Tanpanya, kampus bisa terjerumus ke dalam narasi dan praktik yang sering kali harus bertentangan dengan nurani.
Kalau soal alasan pembenar, semua bisa dengan mudah diproduksi. Ini soal memegang nilai-nilai. Kalau pun sebuah sikap dan tindakan tidak menjadi pilihan, bukan berarti nilai yang dipegangnya menjadi salah. Yang mengerikan, jika ini terjadi, sangat mungkin, penghargaan kepada akal sehat dan bukti saintifik juga sudah tidak menjadi pilihan warga kampus.
Ketiga, menjadi intelektual publik. Kelompok ini semakin sulit kita temukan di lapangan, padahal publik membutuhkan lentera untuk banyak kegelapan yang memaparnya. Sains tidak hanya untuk kalangan ilmiah, tetapi juga untuk publik. Karenanya membumikan sains menjadi sangat penting.
Kondisi ini diperparah dengan semakin sulitnya menyaring informasi yang valid dan tidak. Selain itu, aspirasi publik juga perlu dibantu untuk dilantangkan, sebagai bukti sensitivitas warga kampus terkait dengan persoalan bangsa. Justifikasi saintifik bisa membantu semua pilihan sikap.
Saya sadar, pilihan sikap ini merupakan jalan lengang. Tidak banyak yang memilih jalan ini. Tapi, kita tidak boleh menyerah dan harus terus menjaga nyala api semangat ini. Alhamdulillah, The Conversation Indonesia berkenan menemani kita.
Sambutan pembuka diskusi publik “membumikan sains untuk publik” kerja sama antara Aptisi Pusat dan The Conversation Indonesia, 20 Juli 2023.