Isu kesetiaan dalam membina hubungan rumah tangga kerap menjadi perbincangan menarik. Salah satu tanda kesetiaan dapat diukur dari perilaku kejujuran pasangan. Meskipun usia pernikahan sudah berjalan cukup panjang, nyatanya fenomena ini dapat saja terjadi. Sikap kecenderungan untuk terus berbohong yang terjadi hingga kemudian terungkap menjadi problem dalam mempertahankan hubungan. Tindakan semacam ini sangat erat dengan kebiasaan seseorang yang dapat ditinjau dari kacamata psikologi. 

Menurut Dr. Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., Psikolog, banyak sebab yang menjadi motif seseorang melakukan kebohongan. Di antaranya yakni tidak mau bertanggung jawab hingga hendak menyembunyikan kesalahan. “Atau berbuat sesuatu apa yang mungkin memalukan, dia tau bahwa kalau pasangannya tau nanti kecewa. Biasanya itu. Takut mengecewakan, takut dimarahi. Dia ingin tampak baik,” tuturnya.

Read more

Guna mempersiapkan mahasiswa yang akan melaksanakan program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Indonesia (PBI UII) mengadakan workshop bertema “Literacy Strategies for Engaging Students in English Classrooms”. Acara menghadirkan Firman Parlindungan, Ph.D., seorang pakar literasi yang juga berkecimpung dalam Pusat Pengembangan Bahasa dan Kurikulum di Aceh, sekaligus dosen di Universitas Teuku Umar Aceh. Workshop berlangsung pada Selasa (20/06) di Ruang Audiovisual Gedung Perpustakaan Pusat Moh. Hatta UII.

Program pembekalan tersebut juga bersifat terbuka bagi seluruh mahasiswa maupun alumni PBI UII. Melalui pembekalan ini, diharapkan mahasiswa yang nantinya akan terjun ke lapangan untuk mempraktikkan ilmu pengajaran sebagai calon guru, dapat mengimplementasikan strategi mengajar yang tepat berdasarkan kebutuhan dinamika kurikulum pendidikan masa kini.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) mensyukuri anugerah berupa bertambahnya empat tenaga pendidik dengan jabatan akademik profesor. Keempat tenaga pendidik yang resmi menyandang gelar profesor yakni Dr. Ir. Elisa Kusrini, M.T., Rudy Syahputra, S.Si., M.Si., Ph.D, Rifqi Muhammad, S.E., M.Sc., Ph.D., dan Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D. Keempatnya berasal dari fakultas yang berbeda, di antaranya Fakultas Teknologi Industri, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, serta Fakultas Hukum. Dengan ini jumlah profesor UII menjadi 35 orang.

Penyerahan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atas kenaikan jabatan akademik empat profesor berlangsung di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito UII pada Rabu (21/6). Acara dihadiri pimpinan universitas, fakultas, hingga perwakilan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah V Yogyakarta.

Read more

Turut bersyukur dan mengucapkan selamat kepada empat profesor baru: Prof Elisa, Prof Rudy, Prof Rifqi, dan Prof Nandang. Beliau berempat menjadikan cacah profesor aktif saat yang dimiliki UII sebanyak 35 orang. Yang menarik, hari ini, keempat profesor berasal dari disiplin dan bahkan fakultas yang berbeda: Fakultas Teknologi Industri, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, dan Fakultas Hukum.

Alhamdulillah, saat ini, proporsi dosen UII yang mempunyai jabatan akademik profesor adalah 4,3%. Secara nasional, persentase profesor baru sekitar 2% dari seluruh dosen di perguruan tinggi. Artinya, dalam konteks ini, capaian UII sudah lebih dari dua kali lipat dibandingkan rata-rata nasional.

Saat ini, UII mempunyai 258 dosen berpendidikan doktor, dan 65 di antaranya sudah menduduki jabatan akademik lektor kepala. Mereka ada para calon profesor karena tinggal selangkah lagi.

Beberapa usulan kenaikan jabatan akademik profesor dari UII saat ini masih dalam proses, termasuk yang sudah diproses di Jakarta. Kita semua berdoa, semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, surat keputusan profesor lain akan juga diterima oleh UII. Ini bukan sikap tamak, tetapi ungkapan syukur, yang kita percaya akan diikuti dengan limpahan nikmat lainnya.

 

Peran intelektual

Isi sambutan ini masih merupakan kelanjutan dari beberapa sambutan di acara serupa. Ketika menyiapkan sambutan ini, saya membaca ulang beberapa bagian tulisan dan buku. Pesannya insyaallah untuk kita semua, terutama para dosen, dan lebih khusus para profesor. Tentu, termasuk diri saya sendiri.

Salah satu buku yang saya baca ulang berjudul The Responsibility of Intellectuals (Allot, Knight & Smith, 2019). Buku ini berisi kumpulan tulisan yang merupakan refleksi atas pemikiran Noam Chomsky yang pernah diterbitkan pada 1966, ketika mengritisi kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang terlibat dalam Perang Vietnam. Bagi yang baru mendengar, Chomsky adalah intelektual publik Amerika Serikat yang terkenal dengan berbagai karyanya dalam linguistik, aktivisme politik, dan kritik sosial. Chomsky merupakan salah satu intelektual yang konsisten mengritisi kebijakan pemerintah Amerika Serikat, yang oleh seorang penulis disebut sebagai “menyampaikan kebenaran kepada penguasa, dari jantungnya emperium” (Knight, 2019).

Untuk konteks Indonesia, kita bisa juga membaca Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa karya Allahuyarham Dawan Rahardjo (1993) yang terbit 30 tahun yang lalu. Atau, yang lebih mutakhir, buku berjudul Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, karya mendiang Daniel Dhakidae. Benang merah pesan dari ketiga buku tersebut adalah terkait dengan peran intelektual dalam merespons kondisi bangsa dan negara.

Isu intelektualisme ini mengingatkan saya pada sebuah diskusi kecil di Kompleks Masjid Salman ITB pada suatu sore di 1995, jika tidak salah ingat. Sambil lesehan di tikar di ruangan yang sulit dikatakan luas, kami ‘ngariung’ mendengarkan paparan dari Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) dengan bantuan sebuah papan putih dan spidol. Sebuah garis kontinuum digambarkannya, dengan ujung kiri diberi label intelektualisme dan kanan aktivisme. Waktu itu, topik bahasannya adalah bagaimana intelektual muslim mengekspresikan perannya.

Intinya secara sederhana intelektualisme banyak terkait dengan berpikir, dan sisi satunya, aktivisme berkenaan dengan aksi di lapangan. Tentu ada gradasi di antara keduanya.

Saya belakangan sadar, bahwa label intelektualisme agak bermasalah, karena intelektualisme sejatinya tidak sekadar berpikir, tetapi juga mencari jalan bagaimana pemikirannya dapat diimplementasikan, dan jika mungkin, juga ikut terlibat langsung.

Kembali ke pemikiran Chomsky. Menurutnya, intelektual mempunyai tiga peran penting, yaitu (1) menyampaikan kebenaran dan mengungkap kebohongan; (2) memberikan konteks historis; dan (3) mengangkat tabir ideologi yang membatasi debat publik. Dalam menjalankan peran ini, sebagai intelektual publik, tentu bukan tanpa tantangan dan risiko.

Sebelum melanjutkan, perlu disepakati bahwa tentu peran di atas tidak hanya tanggung jawab intelektual. Semua orang mempunyai kewajiban moral dan politik untuk menyampaikan kebenaran kepada penguasa. Dan sebaliknya, tanggung jawab intelektual juga bukan hanya itu. Namun, akses terhadap pendidikan, fasilitas, kebebasan politik, informasi, dan kebebasan berekspresi menjadikan intelektual mempunyai tanggung jawabnya yang lebih besar.

Pertanyaan lanjutannya, kebenaran seperti apa yang disuarakan? Intelektual diharapkan menjadi penyambung lidah mereka yang tidak berdaya atau bahkan terzalimi. Selain itu, intelektual juga diperlukan untuk memberikan pemikiran yang menjadi konsiderans penguasa dalam mengambil kebijakan, melengkapi atau bahkan memberikan narasi alternatif dari media arus utama dan lembaga pemerintah lain. Intelektual juga perlu bersuara kepada kalangan bisnis yang menjalakan praktik bisnis yang mengabaikan etika, mengeksploitasi manusia lain, dan menjalankan persaingan tidak sehat (e.g. Smith & Smith, 2019).

 

Tingkatan intelektual

Peran intelektual dapat dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, meraka yang berbicara dan menulis kepada publik hanya tentang hal yang sesuai dengan disiplin yang ditekuninya. Kedua, mereka yang berbicara dan menulis tentang disiplinnya dan mengaitkannya dengan aspek sosial, kultural, dan bahkan politik. Ketiga, mereka yang berkontribusi hanya ketika mendapat undangan, yaitu mereka yang menjadi simbol dan diminta berbicara dan menulis tentang isu-isu publik yang tidak harus terkait langsung dengan bidang keahlian aslinya (Lightman, 1999).

Chomsky (1988) dalam tulisannya yang lain membagi intelektual menjadi dua kelompok. Kelompok pertama disebutnya sebagai intelektual yang berorientasi teknokratic dan kebijakan (technocratic and policy-oriented intellectuals) yang oleh pemegang kuasa disebut sebagai ‘orang-orang baik’ (‘good guys‘) karena memberikan pelayanan terhadap insitusi dan kepemimpinan yang sudah mapan.

Kelompok kedua adalah intelektual yang berorientasi nilai (value-oriented intellectuals), intelektual yang berorientasi nilai. Dari kacamata penguasa, mereka adalah ‘anak nakal’ (‘bad guys‘) karena terlibat dalam analisis kritis dan juga mempertanyakan banyak hal. Kelompok ini dianggap mempunyai tanggung jawab moral sebagai manusia terhormat yang memajukan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan.

 

Jalan ketiga?

Tentu, ini adalah pembagian kelompok yang sangat dikotomis. Sebagian hadirin mungkin sejak tadi sudah tidak sejutu sepenuhnya. Pertanyaannya, apakah ada kelompok lain yang memilih jalan ketiga?

Untuk mencari jawab, kita bisa mulai dengan membaca ulang pidato pengukuhan Prof. Cornelis Lay (2019), misalnya, yang berjudul Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan. Jalan ketika ini mengandaikan bahwa setiap intelektual, apapun disiplin ilmu yang ditekuninya, adalah juga manusia sebagai makhluk yang senantiasa bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama (zoon politicon). Karenanya, intelektual tidak hanya “mempersenjati diri dengan pengetahuan dan kesadaran tentang politik, tapi sekaligus bersedia bertindak secara politik bagi kepentingan kolektivitas ketika diperlukan.” (Lay, 2019; hal. 16).

Apakah jalan ketiga ini juga termasuk sebagai atau mempunyai irisan besar dengan intelektual yang berorientasi teknokratik dan kebijakan, dalam bahasanya Chomsky? Meja diskusi bisa kita buka untuk mendalaminya.

***

Saya tidak akan membahas lebih lanjut dan menyerahkan kepada hadirin untuk meneruskan pencarian jawaban. Saya harus akhiri sambutan ini. Mohon maaf, jika sambutan saya meski singkat tetapi terasa cukup berat, karena konten dan waktunya: di siang hari yang panas ketika perut kenyang setelah makan siang.

Sekali lagi selamat untuk Prof Elisa, Prof Rudy, Prof Rifqi, dan Prof Nandang. Juga kepada keluarga, pasangan dan anak-anak. Saya yakin, di sana ada pasangan (suami atau istri) yang selalu mendorong. Dan, juga anak-anak, sebagai permata hati dan sumber semangat.

Semoga amanah baru ini membuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi terlebih untuk lembaga dan masyarakat luas. Amin.

 

Referensi

Allott, N., Knight, C., & Smith, N.(2019). The responsibility of intellectuals: Reflections by Noam Chomsky and others after 50 years. UCL Press.

Chomsky, N. (2004). Language and politics. AK Press.

Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Gramedia Pustaka Utama.

Knight, C. (201). Speaking truth to power–from within the heart of the empire. Dalam N. Allot, C. Knight & N. Smith. The responsibility of intellectuals: Reflections by Noam Chomsky and others after 50 years (hal. 53-70). UCL Press.

Lay, C. (2019). Jalan ketiga peran intelektual: konvergensi kekuasaan dan kemanusiaan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 6 Februari.

Neil Smith, N. & Smith, A. (2019). Reflections on Chomsky’s ‘The responsibility of intellectuals’. Dalam N. Allot, C. Knight & N. Smith. The responsibility of intellectuals: Reflections by Noam Chomsky and others after 50 years (hal. 7-25). UCL Press.

Rahardjo, M. D. (1993). Intelektual, intelegensia, dan perilaku politik bangsa. Mizan.

 

Sambutan pada acara penyerahan surat keputusan kenaikan jabatan profesor atas nama Prof. Elisa Kusrini, Prof. Rudy Syahputra, Prof. Rifqi Muhammad, dan Prof. Nandang Sutrisno, pada 21 Juni 2023.

 

 

Pariwisata merupakan akan salah satu sumber pendapatan yang bisa diandalkan untuk menyejahterakan rakyatnya. Salah satunya yakni pemanfaatan kawasan taman Sungai Opak yang airnya mengalir sepanjang tahun. Kawasan ini cocok sebagai destinasi wisata alam dan pendidikan. Melihat potensi ini, Universitas Islam Indonesia (UII) meluncurkan gerakan UII Bumi Lestari #2 pada Selasa (20/06) di Wisata Taman Opak, Bokoharjo, Prambanan, Sleman.

Keterlibatan UII telah dimulai dari tahun 2021 dengan pembuatan master plan kawasan wisata. Pada waktu itu, Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) UII memberikan sebuah kapal kepada pengelola taman wisata untuk menunjang kegiatan.

Read more

Seiring berkembangnya teknologi digital di berbagai bidang, ancaman keamanan siber menjadi suatu hal yang kerap terjadi. Untuk itu, organisasi dituntut untuk bersikap adaptif terhadap adanya fenomena-fenomena negatif yang ditimbulkan oleh ancaman siber. Merespons hal ini, Badan Sistem Informasi Universitas Islam Indonesia (BSI UII) melalui program UII Academy bersama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengadakan seminar Yogyakarta Cyber Resilience 2023. 

Acara yang digelar di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito UII pada Senin (19/06) tersebut turut dihadiri Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset,  Prof. Dr. Jaka Nugraha, S.Si., M.Si., dan Deputi Keamanan Siber dan Sandi Pemerintahan dan Pengembangan Manusia BSSN  Dr. Sulistyo, S.Si., S.T., M.Si. Di samping seminar, acara pada hari kedua juga diisi dengan simulasi menghadapi ancaman gangguan siber.

Read more

Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Grand Opening Adha Fest 1444 H pada Minggu (18/06). Acara bertema “Representasi Keikhlasan melalui Implementasi Nilai-Nilai Qurban” itu dihelat di Masjid Ulil Albab dan disiarkan melalui kanal YouTube resmi Masjid Ulil Albab. Sementara sebagai penceramahnya adalah Ustaz Dennis Lim.

Drs. Nanang Nuryanta, M.Pd. selaku Direktur Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI) dalam kesempatannya memberikan semangat kepada hadirin di sepuluh awal bulan Zulhijah.

Read more

Transformasi digital yang dijalankan UII dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan pengalaman berharga dan kesadaran baru. Selain kami belajar banyak dari lapangan terkait dengan beragam strategi untuk menjamin transformasi digital dalam dijalankan dengan baik, kami juga semakin menyadari pentingnya untuk menaruh perhatian kepada resiliensi siber (cyber resilience).

 

Mengapa penting

Transformasi digital yang semakin masif telah menjadikan resiliensi siber semakin mendesak dan relevan. Ancaman siber yang terus berkembang secara konstan mengharuskan kita untuk memahami dan menghadapinya dengan kesiapan dan ketahanan yang tepat.

Secara umum, resiliensi siber adalah kemampuan suatu organisasi atau sistem untuk bertahan dari serangan siber, mengatasi dampaknya, dan pulih dengan cepat setelah terjadi insiden keamanan. Ini melibatkan serangkaian tindakan proaktif dan responsif yang melibatkan kebijakan, praktik, dan teknologi yang tepat untuk melindungi sistem, data, dan infrastruktur yang terkait.

Tak jarang kita membaca berita tentang serangan siber yang mengekspos celah dalam sistem keamanan, mencuri data pribadi, dan merusak reputasi organisasi. Serangan siber terhadap sebuah bank nasional beberapa waktu lalu, tampaknya masih segar dalam ingatan kita semua.

Dampak dari serangan siber, tidak hanya terkait dengan infrastruktur yang tidak berjalan seperti seharusnya, tetapi lebih jauh dibandingkan dengan itu. Reputasi organisasi dapat runtuh dalam waktu sekejap. Reputasi yang tercoreng berdampak kepada kepercayaan publik yang semakin turun. Memperbaiki kepercayaan publik bukan sesuatu yang mudah dilakukan.

Tentu, semua sepakat bahwa hal ini merupakan kerugian yang sangat besar, meski tidak mudah dikuantifikasikan. Karenanya, dalam kondisi seperti ini, penting bagi kita untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip resiliensi siber dengan serius.

 

Aspek resiliensi siber

Terdapat banyak aspek yang terkait dan penting untuk dikaji dan didiskusikan. Beberapa di antaranya terkait dengan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencegah serangan siber. Ini termasuk penerapan kebijakan keamanan yang kuat, pelatihan pegawai tentang praktik keamanan siber, dan pengujian kelemahan sistem. Selain itu, pemantauan keamanan secara proaktif dapat membantu mendeteksi ancaman sebelum terjadi.

Aspek lain adalah terkait dengan respons yang efektif dalam menghadapi serangan siber. Di sinilah diperlukan perencanaan dan persiapan yang matang. Organisasi harus memiliki rencana respons insiden dan, jika dimungkinkan, mengadakan latihan simulasi secara berkala. Pemulihan yang cepat dan efisien setelah serangan adalah kunci untuk meminimalkan dampaknya. Sangat mudah dipahami, respons yang lambat dapat menyebabkan kerugian yang signifikan dan memperburuk reputasi organisasi.

Ragam serangan siber juga berkembang dari waktu ke waktu. Karenanya, organisasi juga harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan keamanan yang cepat. Organisasi harus awas dengan tren baru dalam serangan siber.

 

Penutup

Saya yakin seminar dan workshop ini akan menjadi forum yang berharga untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan praktik terbaik dalam resiliensi siber. Pertukaran gagasan yang terjadi, saya percaya, menjadikan diskusi semakin mendalam dan menarik.

Sebelum mengakhiri sambutan, izinkan saya sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelenggaraan kegiatan ini: para mitra, pembicara, panitia, dan juga peserta.

Saya berharap kegiatan ini akan menjadi kesempatan yang bermanfaat bagi kita semua untuk meningkatkan pemahaman dan kecakapan dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam transformasi digital, terutama terkait dengan resiliensi siber.

Sambutan pada Seminar dan Workshop “Yogyakarta Cyber Resilience 2023” yang diselenggarakan di Universitas Islam Indonesia pada 19 Juni 2023

 

Universitas Islam Indonesia (UII) turut andil dalam upaya pengembangan Embung Bembem yang terletak di Giriasih Purwosari Gunungkidul sebagai taman wisata edukasi. Melalui Program Pengabdian Masyarakat, keterlibatan UII telah dimulai sejak tahun 2017 dengan menyiapkan masterplan taman wisata. Selain itu, secara bertahap beberapa program yang telah dilaksanakan UII di antaranya yakni pengembangan wisata air dan peningkatan kapasitas SDM.

Melanjutkan program yang telah dirintis, UII bersama Kalurahan Giriasih mengadakan kegiatan Pencanangan Kebun Buah dalam Rangka Mendukung Wisata Embung Bembem pada Minggu 18 Juni 2023. Kegiatan yang juga diselenggarakan dalam rangka Milad ke-80 UII ini dihadiri Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul, Rektor UII, Panewu Purwosari, Lurah Giriasih, Kapolsek, Danposramil, Ketua Bidang Pemberdayaan Masyarakat YBW UII, tamu undangan, dan warga masyarakat setempat.

Read more

Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (PSHI UII) menginisiasi Seminar bertajuk “Inspiring Fair 2023” yang dihelat pada Sabtu (17/6) di Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir. Pada agenda kali ini, PSHI UII menghadirkan Dr. Zuhair Al Shun sebagai pembicara di sesi Ambassadorial Lecture bertemakan “Muslim Youth and Diplomacy”. Tidak hanya itu, pada kesempatan yang sama PSHI UII juga menggelar seminar Career Talk pada sesi selanjutnya. 

Seminar Career Talk turut menghadirkan narasumber muda, yakni Danang Giri Sadewa, seorang Creativepreneur, Muhammad Hidayat Hasan, Alumni PSHI UII sekaligus Field Facilitator IOM-UN Migration 2021-2023, dan Najla Indah Annisa, alumni PSHI UII yang kini menjadi Staf Pendukung Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Sebagian besar peserta yang hadir pada acara ini adalah siswa/siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berkeinginan untuk menyusun dan menentukan rencana karier ke depan.

Read more