Universitas Islam Indonesia (UII) tengah mencari bibit pelajar unggul dari benua Afrika untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi di kampus Islam ini. Kegiatan promosi internasional ke benua itu pun terus digencarkan. Salah satunya dengan memberangkatkan dua delegasi Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional (DK/KUI), yaitu Dr. Joni Aldilla Fajri, S.T., M.Eng. (Kepala Divisi Kemitraan Luar Negeri ) dan Nihlah Ilhami, S.Pd. (Kepala Divisi Mobilitas Internasional) ke Nairobi, Kenya.

Read more

Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) terus meningkatkan mobilitas globalnya ke berbagai komunitas akademik dunia. Kali ini sebanyak 13 mahasiswa Farmasi UII mengikuti kegiatan University of Rhode Island (URI) Summer 2023 di Yogyakarta bersama 13 mahasiswa URI, Amerika Serikat. Kegiatan yang bertajuk One-Day Field Excursion tersebut berlangsung selama sehari penuh di beberapa lokasi di Yogyakarta pada hari Senin (29/05) lalu.

Read more

Guna memperluas kemitraan di berbagai bidang, Universitas Islam Indonesia (UII) jalin kerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Kerja sama antara UII dan Pemprov Riau dijalin dengan melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada Senin (29/5) di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito UII. Penandatanganan MoU antara UII dan Pemprov Riau ini turut dihadiri oleh Gubernur Riau, Drs. H. Syamsuar, M.Si. dan Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.

Melalui sambutannya, Prof. Fathul Wahid menekankan pentingnya kebermanfaatan bagi masyarakat luas dalam tiap-tiap kerja sama yang terjalin. “Kami berharap kerja sama yang kita tandatangani dengan beberapa mitra tidak hanya berhenti dalam bentuk dokumen, tapi betul-betul bisa dilaksanakan, memberikan manfaat, tidak hanya untuk kedua lembaga, tetapi lebih untuk khalayak, untuk konteks yang lebih luas lagi,” ungkap Prof. Fathul Wahid.

Read more

Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Islam Indonesia (UII) mendapatkan apresiasi dari Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) atas capaian rekor penanaman 1.400 bibit habbatussauda. Melalui Pusat Studi Obat Herbal (PSOH), Farmasi UII melakukan kerja sama dengan Herba Group sebagai salah satu kepedulian terhadap pentingnya pelestarian bahan obat herbal. Penanaman bibit habbatussauda yang dilaksanakan di Desa Wukirsari, Sleman pada Sabtu (27/5) tersebut bertepatan dengan hari Jamu Nasional yang diperingati tiap tanggal 27 Mei.

Kegiatan penanaman bibit habbatussauda ini turut dihadiri oleh Ketua Jurusan Farmasi UII, Prof. apt. Yandi Syukri, Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FMIPA UII, apt. Saepudin, M.Si., Ph.D, dan CEO Herba Group Hanoko Setyawan.

Read more

Tidak ada garis finis dalam kamus pembelajar sejati. Selama kita menjadi pembelajar sejati, dengan izin Allah, kita harus menjemput masa depan dengan suka cita dan penuh keyakinan. Saudara adalah para pemimpin masa depan.

Melihat ketidaksempurnaan

Dalam memimpin, termasuk dalam konteks memimpin diri sendiri, kadang tidak semua keadaan seperti yang kita bayangkan. Sangat mungkin, kita akan temui, misalnya, keterbatasan informasi untuk pengambilan keputusan dan keterbatasan sumber daya untuk bergerak. Saya yakin Saudara sepakat dengan saya: sangat sedikit yang sempurna dalam kehidupan ini.

Namun, hal itu tentu tidak lantas menyurutkan optimisme kita dan menjadikan kita menjadi pribadi yang keahlian utamanya ada memrotes keadaan dan akhirnya lupa mengambil inistiatif. Jika Saudara saat ini cenderung perfeksionis, yang selalu mengharap kesempurnaan, itu juga sebuah pilihan, meski bukan tanda tantangan dan risiko.

Saya personal, dulunya bagian dari kelompok ini, dan selalu membayangkan yang sempurna. Dalam keseharian, saya sering membayangkan jalan tanpa kabel listrik melintang tak beraturan di sepanjang jalan, jalanan tanpa kemacetan, layanan fisik tanpa antrian, rumah yang selalu rapi, tampilan yang selalu necis, mahasiswa yang selalu taat panduan, dosen yang tertib mengikuti arahan, sejenisnya. Tidak semuanya itu bisa terjadi secara konsisten.

Namun, setelah membaca buku Abrahamson dan Freedman yang berjudul A Perfect Mess (Kesemrawutan yang Sempurna), berangsur saya mengadopsi perspekif baru, mulai belasan tahun lalu. Buku ini memamarkan manfaat tersembunyi dari ketidakteraturan, dalam beragam konteks, personal, rumah, sampai organisasi, dan bahkan masyarakat.

 

Sindrom “seharusnya begini”

Sifat perfeksionis jika berlebihan dan tanpa pernah mencoba memahami mengapa kesemrawutan dapat terjadi, akan membuat kita tersiksa, karena yang nyata selalu saja tidak sempurna di mata kita. Dalam bahasa sederhana saya, kita terjebak ke dalam “sindrom seharusnya begini”.

Paling tidak perspektif ini akan menjadi pelengkap perspektif tentang kerapian dan keteraturan yang selama ini dianggap menjadi satu-satunya pilihan.

Sebelum melanjutkan, bayangkan beberapa fragmen berikut. Sebagai orang tua, di rumah tak jarang tidak nyaman ketika melihat mainan anak kecil yang berantakan. Kita pun akhirnya meluangkan waktu merapikannya. Tapi, sisi yang jarang disadari, kita merasa tidak punya waktu bermain bersama anak kita. Atau, seorang gadis yang ingin tampil kasual, tetapi memerlukan waktu berjam-jam untuk berdandan. Ini adalah contoh paradoks.

Perspektif untuk berhenti mengharapkan kesempurnaan juga sering saya sampaikan ke mahasiswa pengambil kelas saya. Saya mengajak untuk tidak terjebak dalam sindrom tersebut, tetapi menggantinya dengan sebuah pertanyaan yang menghadirkan kesadaran baru: Dalam kondisi seperti ini, ketika beragam kekangan menghadang dan sumber daya terbatas, apa hal terbaik yang bisa kita lakukan?

Kerapian bukan tanpa biaya. Bisa dibayangkan misalnya, berapa biaya yang dibutuhkan, jika semua kabel listrik di Indonesia dibuatkan gorong-gorong di bawah tanah sepanjang jalur distribusinya? Ini belum termasuk risiko lain, seperti banjir dan akses perawatan.

Ketidakteraturan sampai level tertentu seharusnya bisa ditoleransi selama tidak melanggar nilai-nilai mulia, seperti ketidakadilan, kejujuran, kesetaraan. Di sana ada penghargaan terhadap liyan.

 

Manfaat ketidakteraturan

Apa manfaat dari ketidakteraturan? Banyak. Di antaranya adalah fleksibilitas (flexibility). Ketidakteraturan memungkinkan perubahan dan adaptasi yang lebih cepat dengan biaya yang tidak banyak. Selain itu, ketidakterarturan juga membuka ruang kreativitas yang memunculkan invensi (invention) atau temuan baru.

Penemuan solusi yang tepat guna dalam konteks sumber daya yang terbatas dapat terjadi juga karena ketidaksempurnaan ditoleransi. Inilah yang disebut dengan workaround, solusi “mlipir” yang dibutuhkan memberikan dampak cepat, meski sering kali tidak sempurna (Savaget, 2023). Dalam konteks pengambilan keputusan juga ada konsep rasionaltas terikat (bounded rationality), karena informasi yang tidak lengkap.

Atau, pernah melihat toko klontong serba ada di ruang yang sempit? Ketidakteraturan juga memungkinkan kelengkapan (completeness), karena bisa mengakomodasi kehadiran banyak entitas yang berbeda.

Jika keteraturan memerlukan sumber daya untuk menghadirkannya, maka ketidakteraturan, sebaliknya, bisa memberikan efisiensi (efficiency). Selain itu, ketidakteraturan bisa menjadikan sebuah sistem mempunyai kekokohan (robustness) dalam menghadapi kerusakan, kegagalan, dan imitasi.

 

Terbuka dengan perspektif baru

Saya tidak akan melanjutkan diskusi ini sampai detail. Pesan yang ingin saya sampaikan kepada Saudara adalah bahwa kita harus membuka diri dengan perspektif baru. Apa yang pada awalnya seakan tidak masuk akal, bisa jadi memberikan manfaat tersembunyi yang tidak disadari.

Selain itu, saya mengajak Saudara untuk menoleransi ketidaksempurnaan. Peradaban manusia disusun dari berjuta ketidaksempurnaan yang ditoleransi untuk saling berinteraksi.

Contohnya: buku yang sempurna tidak pernah meninggalkan meja penulisnya. Selalu saja ada kekurangan dari setiap buku. Bahkan, mahasiswa yang lulus dengan IPK 4,00 pun tikda berarti memahami semua materi yang didiskusikan dalam perkuliahan tanpa cela.

Saya yakin, jika perspektif ini diadopsi, hidup kita akan lebih berbahagia karena bisa menerima perspektif yang beragam dari manusia lain.

Sambutan wisuda Universitas Islam Indonesia pada 27 Mei 2023

Memasuki pertengahan tahun 2023, sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) kembali mengungkapkan rasa syukur selepas menggelar Wisuda Doktor, Magister, Sarjana, dan Diploma Periode V Tahun Akademik 2022/2023. Prosesi acara yang dilaksanakan pada Jumat (26/05) di Gedung Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir tersebut turut dihadiri orang tua wisudawan dan disiarkan pula melalui kanal daring.

Kali ini, sebanyak 687 lulusan dari berbagai jenjang yang mengikuti, dengan rincian sejumlah 19 ahli madya, 586 sarjana, 78 magister, serta 4 doktor. Wisudawan terbaik dari program Sarjana diraih oleh Khoirun Nisa’ Lu’lu’ Mafruchah, dari Program Studi Manajemen dengan IPK 4,00. Adapun wisudawan terbaik dari jenjang Magister diperoleh Timothy Dillan Tandjung dari Program Studi Informatika dengan perolehan IPK 4,00.

Read more

Ikatan Keluarga Alumni UII (IKA UII) menggelar perayaan Milad ke-56 sekaligus Halal Bihalal yang dihadiri secara langsung oleh lebih dari 500 alumni dari berbagai daerah pada Jumat (26/05). Acara yang diselenggarakan di The Oval Plaza, Mall Epicentrum Walk Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan tersebut disaksikan secara daring oleh ribuan alumni UII yang tersebar di seluruh Indonesia.

Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin, S.H, M.H selaku Ketua Umum DPP IKA UII mengatakan, “Saya berharap para alumni UII mampu hadir sebagai problem solver bagi setiap persoalan bangsa, turut andil dalam merawat keharmonisan masyarakat, mari kita bersatu dalam menjaga keutuhan umat, saling membantu dalam kebaikan, serta berkolaborasi untuk membangun Indonesia yang lebih baik”.

Read more

Ikhtiar menjaga kelestarian lingkungan melalui inisiatif hijau yang berkembang saat ini sejatinya didasari pada isu pembangunan keberlanjutan. Tiga pilar utama yang menopang inisiatif ini harus selalu menjadi dasar pertimbangan dalam pendekatan kewirausahaan, yaitu people (manusia), planet (bumi), dan profit (manfaat).

Demikian disampaikan Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) dalam pembukaan hari kedua Training of Trainers (ToT) ASEAN Network for Green Entrepreneurship and Leadership (ANGEL) Erasmus+ CBHE, Selasa (23/5), di Kampus Terpadu UII. Kegiatan ini diselenggarakan secara kolaboratif dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui dukungan global dari Erasmus+ CBHE.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menambah tenaga pendidik bergelar profesor. Kali ini, dosen Fakultas Hukum UII, Dra. Sri Wartini, S.H., M.H., Ph.D. berhasil meraih jabatan akademik tertinggi Profesor Bidang Ilmu Hukum. Raihan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 25162/M/07/2023. Dengan raihan ini, Dra. Sri Wartini menjadi Profesor ke-9 di FH dan ke-31 di UII. Penyerahan SK diadakan di Gedung Kuliah Umum Prof. Sardjito, kampus terpadu UII pada Selasa (23/5). Acara dihadiri pimpinan, para profesor, dan perwakilan sivitas FH UII.

Dalam sambutannya, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. mengajak hadirin untuk melantangkan pesan-pesan ilmiah bernas pada khalayak yang lebih luas tanpa meninggalkan peran akademik. Pesan ini dilantangkan sebagai pengingat untuk menjadi intelektual publik lebih baik.

Read more

Selamat atas jabatan guru besar untuk Prof. Sri Wartini. Beliau adalah profesor ke-31 yang lahir dari rahim Universitas Islam Indonesia (UII).

Saat ini, UII masih mempunyai 253 dosen berpendidikan doktor, dan 67 di antaranya sudah menduduki jabatan akademik lektor kepala. Mereka adalah para calon profesor.

Beberapa usulan profesor dari UII saat ini masih dalam proses, termasuk yang sudah melalui beberapa tahapan di Jakarta. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, surat keputusan profesor lain akan diterima oleh UII.

 

Melawan anti-intelektualisme

Di kesempatan yang baik ini, izinkan saya mengajak, terutama para dosen, dan lebih khusus lagi, para profesor untuk bersama-sama berusaha menyampaikan pesan-pesan saintifik kepada khalayak yang lebih luas. Tentu, dengan tanpa meninggalkan peran lain dalam komunitas akademik, seperti riset dan publikasi.

Pesan ini perlu kembali dilantangkan, karena semakin sedikit profesor yang memilih jalur ini, menjadi intelektual publik. Publik perlu diedukasi. Publik perlu dicerahkan dengan gagasan-gagasan bernas yang mempengaruhi perspektif dan akhirnya menjadi basis pengambilan keputusan dan tindakan kolektif.

Kegalauan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara, termasuk Amerika Serikat (Kristof, 2014). Suara akademisi di ranah publik yang terbatas atau bahkan terasa tak terdengar gaungnya karena rendahnya relevansi gagasan dengan kebutuhan publik, dapat menjadi akar gerakan anti-intelektualisme.

Tentu, jika hal ini terjadi akan sangat mengkhawatirkan, karena kepercayaan publik terhadap sains dan saintis berkurang. Sains tidak dianggap sebagai komponen penting dalam pemecahan masalah manusia dan kemanusiaan.

Saat ini, misalnya, menjadi semakin sulit menemukan pemikiran para profesor yang bisa diakses oleh publik luas, termasuk akademisi di luar disiplinnya.

 

Belajar dari pendahulu

Untuk memberikan ilustrasi, kita bisa menyebut Kuntowijoyo, Mubyarto, Umar Kayam, Dawam Raharjo, Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Deliar Noer, Artidjo Alkostar, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Daftar ini tentu bisa dibuat lebih panjang. Saat ini, sangat sulit mencari pengganti mereka.

Apa yang bisa kita pelajari dari mereka, selain mereka produktif dalam berkarya? Hasil refleksi sederhana saya, menemukan paling tidak empat pelajaran yang bisa kita ambil dari mereka.

Pertama, mengasah sensitivitas. Mereka sensitif dengan masalah bangsa. Perspektif yang diangkat dalam ceramah dan tulisannya sangat aktual dan memotret kondisi mutakhir bangsa saat itu.

Sebagai contoh, kolom Umar Kayam yang terbit rutin di Harian Kedaulatan Rakyat, selalu mengangkat isu-isu keseharian publik. Dengan kemasan cerita yang menarik, kolom ini termasuk yang dibaca paling awal ketika harian tersebut di tangan.

Konsep Ekonomi Pancasila yang dicetuskan oleh Pak Mubyarto adalah contoh lain sensitivitas intelektual, setelah sistem ekonomi pasar yang menyebabkan ketimpangan. Negara diharapkan terlibat untuk menjamin keadilan sosial.

Kedua, melewati pagar pembatas disiplin. Mereka mempunyai basis disiplin masing-masing, tapi mendekatkan kajiannya melewati batas-batas ranah disiplin. Ini yang menjadikan gagasan yang diperkenalkannya melalui beragam media menjadi terasa semakin relevan.

Banyak contoh yang bisa diberikan di sini. Pak Kuntowijoyo, misalnya, adalah sejarawan, tetapi tulisannya menjangkau perspektif yang lebih luas, termasuk pergerakan Islam, epistemologi ilmu, dan bahkan menulis novel dan kumpulan cerita pendek, yang sarat dengan pesan.

Ketiga, menyederhanakan bahasa. Mereka, selain cakap menulis untuk komunitas akademik, juga lihai dalam mengomunikasikan gagasan untuk khalayak. Bahasa yang digunakannya pun mudah dipahami oleh publik.

Ini bukan perkara mudah, tetapi bisa dilatih. Seperti anjuran teori komunikasi profetik: kita diminta berbicara dengan bahasa yang dapat diterima oleh audiens.

Selain itu, saat ini, semakin banyak kanal yang dapat digunakan oleh para profesor untuk menjangkau khalayak luas selain media massa, termasuk penggunaan media sosial dan ruang perjumpaan gagasan yang semakin banyak digelar, baik daring maupun luring.

Keempat, menjaga konsistensi. Mereka mempunyai dedikasi yang tinggi menjadi intelektual publik, bahkan sampai ajal menjemput. Nama-nama yang tersebut di atas sudah membuktikan diri istikamah di jalur lengang ini. Tentu saja, pilihan ini bukan tanpa risiko.

Misalnya, dalam komunikasi melalui kanal WhatsApp dengan Pak Azra beberapa pekan sebelum Beliau meninggal, kami mendiskusikan risiko yang mungkin dihadapi ketika menyampaikan kritik di ruang publik. Beliau pun sadar risiko ini. Beliau membalas pesan saya:

“Saya juga kadang-kadang khawatir karena sering mengkritik secara terbuka di media elektronik dan media cetak. Saya tawakkaltu (alallah) sajalah. … Bahkan yang terhitung kawan kita dalam barisan kepemimpinan nasional ikut-ikutan menyalahkan mereka yang kritis.”

Tentu konseptualisasi sederhana yang menghasilkan empat pelajaran di atas dapat dilengkap dan dipercanggih dengan ilustrasi yang lebih kaya. Sila!

Referensi

Kristof, N. (2014). Professors, we need you! The New York Times. Tersedia daring: https://www.nytimes.com/2014/02/16/opinion/sunday/kristof-professors-we-need-you.html

Sambutan pada acara serah terima surat keputusan profesor atas nama Dra. Sri Wartini, S.H., M.H., Ph.D. pada 23 Mei 2023