Selamat atas jabatan akademik tertinggi untuk Prof Suparwoko. Beliau adalah profesor ke-30 yang lahir dari rahim Universitas Islam Indonesia. Saat ini, alhamdulillah, saat ini proporsi dosen yang menjadi profesor adalah 3,8% (30 dari 790 dosen). Secara nasional, persentase profesor baru sekitar 2% dari seluruh dosen di perguruan tinggi.
Izinkan saya mengajak pembaca untuk melakukan refleksi sejenak sebagai seorang ilmuwan atau saintis secara luas.
Kepercayaan terhadap saintis
Awal 2022, tahun lalu, Pew Research Center (2022) di Amerika Serikat menerbitkan sebuah laporan, terkait kepercayaan publik terhadap kelompok dan lembaga. Hasilnya cukup mengejutkan. Kepercayaan publik Amerika Serikat terhadap saintis menurun. Jika pada akhir 2020, sebanyak 39 persen publik sangat percaya terhadap saintis, pada akhir 2022, persentase ini turun menjadi 29%. Sisanya, sebanyak 77% publik cukup percaya dengan saintis, turun dari 84% pada periode sebelumnya. Sisanya, 22% tidak percaya dengan saintis.
Meskipun proporsi yang sangat percaya kepada saintis tidak sangat tinggi, tetapi angka ini jauh lebih besar dibanding tingkat kepercayaan publik kepada kelompok atau lembaga lain. Bandingkan misalnya, hanya 25% yang percaya penuh kepada militer, 20% kepada polisi, 12% kepada pemimpin agama, dan 4% kepada pemimpin bisnis, dan bahkan hanya 2% kepada para pejabat publik atau politisi.
Dalam tulisan singkat ini, saya hanya akan berfokus pada tingkat kepercayaan kepada saintis. Kita para dosen, apalagi profesor, termasuk di dalamnya.
Bagaimana di Indonesia? Data terkait isu ini pernah dilaporkan oleh Wellcome Global Monitor 2018 (Wellcome, 2029). Dengan skala 4 (sangat percaya), skor indeks kepercayaan terhadap saintis di Amerika Serikat adalah 3,10 alias masuk kategori medium.
Kita cek beberapa negara maju lain: Inggris 3,25, Kanada 3,19, Jerman 3,13, Jepang 3,05. Semua negara maju di Eropa, skornya di atas 3,0.
Skor indeks untuk Indonesia adalah 2,80. Saya coba cek indeks di negara-negara muslim lain. Skor untuk Afganistan 2,81, Pakistan 2,80, Aljazair 2,65. Namun di beberapa negara muslim skornya cukup tinggi, seperti Uni Emirat Arab 3,20 dan Iran 3,19.
Jika kita percaya data indikatif ini valid, maka secara umum, tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap saintis masih cukup rendah. Tentu ini bisa dianggap sebagai tantangan.
Pelawan perangai ilmiah
Apa penjelasannya? Salah satunya sangat mungkin terkait dengan perangai ilmiah (scientific temper, scientific attitude) baik di kalangan saintis, maupun publik secara umum.
Perangai ilmiah adalah sistem kepercayaan yang menyatakan bahwa jawaban atas pertanyaan empiris akan ditemukan tidak pada penghormatan kepada otoritas atau komitmen ideologi, tetapi pada bukti yang dikumpulkan.
Ada dua prinsip dalam konteks ini yang perlu diikuti: (a) kita peduli dengan bukti empiris dan (b) kita mau mengubah teori jika ditemukan bukti baru (McIntyre, 2019). Kebenaran ilmiah adalah kebenaran berdasar data yang terkumpulkan sebagai bukti empiris.
Karenanya, pengingkaran terhadap bukti empiris akan melawan perangai ilmiah. Hal ini bisa terjadi karena (a) kesalahan yang disengaja, (b) kemalasan dan kecerobohan, dan (3) kesalahan yang tidak disengaja karena jebakan bias kognitif.
Pertama, kesalahan yang disengaja termasuk pabrikasi dan falsifikasi data ilmiah. Banyak kasus yang bisa diberikan di sini. Sebagai contoh, di Australia pada 2017 (The State of Queensland, 2017), seorang profesor dan seorang doktor di University of Queensland dituntut secara pidana. Keduanya mengundurkan diri, dan gelar Sang Profesor dicabut.
Proses hukum berlanjut. Sang Profesor didakwa 17 tindak pidana, dan Sang Doktor 7 tindak pidana. Keduanya dihukum dua tahun penjara. University of Queensland pun harus mengembalikan dana riset yang sudah dikucurkan kepada lembaga donor.
Kedua, kemalasan dan kecerobohan dapat terjadi karena beberapa tindakan termasuk memilih data yang sesuai dengan dugaan awal (cherry picking) dan menghilangkan yang tidak sesuai. Atau, memilih data yang sesuai dengan kurva yang diinginkan.
Apa akibatnya? Hasil riset tidak menggambarkan kondisi empiris yang sejati dan kesimpulan yang diambil sangat mungkin tidak valid.
Ketiga, bias kognitif yang mengarahkan kepada kesalahan yang tidak disengaja, termasuk bias konfirmasi (confirmation bias), ketika kita cenderung menerima bukti yang sesuai dengan kepercayaan kita sebelumnya, dan menolak yang sebaliknya.
Daftar perilaku tidak etis lain dapat dilihat pada Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_scientific_misconduct_incidents). Daftar ini merangkum kasus lintasnegara berbagai disiplin yang melibatkan beragam universitas, termasuk universitas bereputasi dunia, seperti Universitas Toronto, Universitas Tokyo, Universitas Harvard, dan Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Komunitas kritis
Karena itulah, diperlukan kendali diri untuk menjaga etika ilmiah, karena riset adalah soal kejujuran. Kehadiran komunitas kritis juga diperlukan untuk saling mengontrol supaya tidak tergelincir pada praktik yang tidak etis dalam riset ilmiah.
Hal ini menjadi penting ketika tekanan publikasi semakin meningkat, kompetisi untuk mendapatkan dana hibah riset semakin ketat, dan ketiadaan kontrol yang memadai.
Ada beberapa prinsip yang bisa kita bagi di sini, terkait dengan pentingnya komunitas kritis, yang sering disebut dengan “kebijaksanaan kelompok” (the wisdom of crowds).
Dalam penalaran atau pengambilan keputusan, kelompok lebih baik dibanding dengan individu. Selain itu, interaksi antaranggota kelompok juga penting, karena kelompok yang interaktif lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang sifatnya agregatif (Sunstein, 2006).
Untuk menjadikan kelompok kritis tetap produktif, maka perbedaan pendapat harus dianggap sebagai kewajiban, pemikiran kritis dihargai, dan kehadiran devil’s advocate harus didorong (Sunstein, 2006). Devil’s advocate adalah orang yang biasanya mengemukakan pendapat yang tidak populer atau membantah sebuah ide yang ada, bukan karena tidak setuju dengan isi argumen malah hanya ingin menguji validitas ide dan argumen.
Karenanya, kehadiran kelompok menjadi berpengaruh jika setiap anggota kelompok menjadi pemikir merdeka dan mempunyai keragaman perspektif (Surowiecki, 2005).
Tulisan singkat ini hanya pemantik diskusi terkait dengan pentingnya merawat perangai ilmiah dengan tetap patuh terhadap etika ilmiah. Salah satu ujungnya adalah sains yang lebih berkualitas dan kepercayaan publik kepada sains dan saintis yang membaik.
Saya harus berhenti di sini dan membiarkan pembaca melanjutkan diskusi baik secara mandiri (solilokui) maupun dengan kawan lain.
Sekali lagi selamat untuk Prof Suparwoko. Juga kepada keluarga Prof Suparwoko. Saya yakin, di sana ada istri yang selalu mendorong. Dan, juga anak-anak, sebagai permata hati dan sumber semangat. Semoga jabatan ini membuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi terlebih untuk lembaga dan masyarakat luas.
Sambutan pada acara serah terima surat keputusan pengangkatan profesor atas nama Ir. Suparwoko, M.U.R.P., Ph.D. pada 13 April 2023
Referensi
McIntyre, L. (2019). The scientific attitude: Defending science from denial, fraud, and pseudoscience. MIT Press.
Pew Research Center (2022). Americans’ trust in scientists, other groups declines. Tersedia daring: https://www.pewresearch.org/science/2022/02/15/americans-trust-in-scientists-other-groups-declines/
Sunstein, C. R. (2006). Infotopia: How many minds produce knowledge. Oxford University Press.
Surowiecki, J. (2005). The wisdom of crowds. Anchor.
The State of Queensland (2017). Australia’s first criminal prosecution for research fraud: A case study from The University of Queensland. Tersedia daring: https://services.anu.edu.au/files/guidance/Australias-first-criminal-prosecution-for-research-fraud-final.pdf
Wellcome (2019). Wellcome Global Monitor 2018. Tersedia daring: https://wellcome.org/sites/default/files/wellcome-global-monitor-2018.pdf