Atas nama Konsorsium Epistemologi Islam, Universitas Islam Indonesia (UII), dan juga Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKSPTIS), saya mengucap syukur atas terbitnya buku “Integrasi Ilmu dan Islam” karya Prof. Dr. Ir. H. A. M. Saefuddin dan Drs. Yuddy Ardhi.

Bagi saya, penulisan buku dan publikasi ilmiah lain sebagai pengikat ilmu merupakan ikhtiar menjadikan ilmu menjadi lebih berusia panjang dan membuka pintu kebermanfaatan semakin lebar. Penulisan pemikiran juga memantik diskusi lanjutan yang sangat penting untuk membuat iklim ilmiah yang sehat.

Saya berterima kasih untuk kerja sama antara Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) bekerjasama dengan Universitas Islam Indonesia (UII), Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI), Konsorsium Epistemologi Islam, dan Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS) dalam acara ini.

Kelahiran setiap buku dan publikasi yang ditulis dengan serius layak untuk dirayakan, sebagai wujud apresiasi kepada pengembangan ilmu/sains dan ilmuwan/saintis. Kebiasaan ini dapat menjadi salah satu indikasi perangai ilmiah (scientific temper) yang harus semakin digalakkan.

Sejarah mencatat bahwa perangai ilmiah yang diindikasikan dengan perasaan gandrung terhadap sains, menjadi salah satu pendorong pengembangan sains di dunia Islam sampai mencapai masa kejayaannya. Ketika itu, sains dan saintis sangat dihargai.

 

Perangai Ilmiah

Saya ingin memulai dengan ilustrasi sederhana untuk melihat bagaimana umat Islam berpikir ilmiah dalam melihat sebuah kejadian.

Ketika ada gugusan awan yang menyerupai tulisan Allah atau Muhammad, apa yang dilakukan oleh umat Islam? Sebagian besar akan mengucap masyaallah, tanda takjub dan bentuk zikir kepada Sang Pencipta. Respons tersebut sama sekali tidak salah dan bahkan dianjurkan.

Namun, apakah kita pernah mendengar diskusi lanjutan, yang membahas bagaimana menjelaskan fenomena tersebut secara ilmiah, terkait dengan pembentukan awan yang mempunyai beragam formasi atau sejenisnya?

Jika kita sepakat pada konsep ulul albab menjadi landasan epistemologi, respons dengan “masyaallah” baru mengandung satu aspek: berzikir. Kita belum masuk secara serius ke aspek keduanya: berpikir.

Karenanya, muslim dengan perangai ilmiah, sebagai penerjemahan aspek berpikir ulul albab, akan menggunakan pendekatan ilmiah dalam melihat banyak hal dan dalam mengambil beragam keputusan.

Mengapa ini penting?

Kepercayaan publik dunia terhadap sains dan saintis tidak terlalu menggembirakan. Survei Wellcome Global Monitor pada 2018, misalnya, menemukan bahwa hanya 32% responden yang mempunyai kepercayaan tinggi terhadap sains secara umum dan hanya 34% responden yang mempunyai kepercayaan tinggi terhadap saintis.

Pandemi Covid-19 telah meningkatkan kepercayaan publik terhadap sains dan saintis. Survei serupa pada 2020 yang melibatkan 119.000 responden di 113 negara/wilayah, menemukan sebanyak 43% publik mempunyai kepercayaan terhadap saintis, mirip dengan proporsi publik (45%) yang percaya kepada dokter (Wellcome, 2020).

Kepercayaan kita terhadap sains dan saintis merupakan salah satu indikasi perangai ilmiah kita.

 

Pengembang sains

Temuan riset yang dilakukan oleh Eric Chaney (2016), profesor dari Universitas Harvard, tentang perkembangan peradaban Islam menarik untuk dilihat. Dia ingin mencari bukti empiris lampau bagaimana muslim memberikan perhatian kepada pengembangan sains. Dia kumpulkan data dari Perpustakaan Universitas Harvard yang mempunyai lebih dari 13 juta koleksi, termasuk yang berasal dari abad ke-9, ketika peradaban Islam dipercaya berkembang sangat pesat.

Dia kumpulkan buku yang ditulis antara tahun 800 sampai 1500, diterbitkan di “wilayah Islam” saat itu, dan ditulis oleh penulis bernama Arab. Tentu meski bernama Arab, tidak selalu beragama Islam.

Buku dikelompokkan menjadi dua: buku agama yang ditulis oleh penulis dari madrasah, dan buku sains yang ditulis oleh mereka dari lembaga riset. Selain tahun terbit, kota tempat terbit buku juga dipetakan.

Temuan penting pertama mengamplifikasi pengetahuan kita selama ini, bahwa ada beberapa kota yang menjadi episentrum peradaban Islam saat ini. Kota tersebut adalah Bagdad, Aleksandria, dan Cordoba. Di ketika kota tersebut, banyak buku diterbitkan.

Temuan menarik lainnya adalah, bahwa sebelum abad ke-11, cacah buku sains yang diterbitkan jauh lebih baik dibanding buku agama. Namun, mulai abad ke-11, sebaliknya, cacah buku tentang agama naik tajam dan cacah buku sains turun drastis.

Sejarah mencatat bahwa kemunduran peradaban Islam dimulai pada abad ke-11 tersebut. Koinsidensi ini membimbingan pada sebuah kesimpulan terkait dengan peran pengembangan sains dalam sebuah peradaban.

 

Pertanyaan penutup

Jika berzikir merupakan salah satu sayap peradaban Islam, maka pengembangan sains yang didorong oleh perangai ilmiah, epistem berpikir, adalah sayap keduanya. Ibarat seekor burung, peradaban Islam tidak akan bisa terbang tinggi tanda dua sayap yang sempurna: sayap zikir dan sayap pikir.

Jika ini disepakati, maka saya ingin menutup tulisan singkat ini dengan sebuah pertanyaan untuk kita semua: dengan dilandasi niat baik dan dilandasi semangat integrasi ilmu dan Islam, apakah mungkin bahwa berbondong-bodong ke perpustakaan, berlama-lama di laboratorium, atau bersemangat mengumpulkan data lapangan sebagai contoh aktivitas berpikir, kita pandang sama mulia dan sama islami, dengan menghadiri majelis taklim di masjid sebagai amsal aktivitas berzikir?

 

Referensi

Chaney, E. (2016). Religion and the rise and fall of Islamic science. Working Paper, Department of  Economics, Harvard University, Cambridge, MA.

Wellcome (2020). Wellcome global monitor: How Covid-19 affected people’s lives and their views about science. Tersedia daring: https://cms.wellcome.org/sites/default/files/2021-11/Wellcome-Global-Monitor-Covid.pdf

 

Elaborasi sederhana dari sambutan pada pembukaan acara bedah buku “Integrasi Ilmu dan Islam” karya Prof. Dr. Ir. H. A. M. Saefuddin dan Drs. Yuddy Ardhi, kerja sama antara Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI), Universitas Islam Indonesia (UII), Konsorsium Epistemologi Islam, dan Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKSPTIS).

Saya bersyukur dan mengucapkan selamat atas jabatan guru besar untuk Prof. Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D. Beliau adalah profesor ke-29 yang lahir dari rahim Universitas Islam Indonesia (UII). Saat ini, alhamdulillah, saat ini proporsi dosen yang menjadi profesor di UII adalah 3,7%.

Sejak 2018 terdapat penambahan sebanyak 15 profesor. Secara kelembagaan, sekarang adalah waktunya bagi UII memanen investasi benih yang disemai pada dua sampai tiga dekade yang lalu.

Saat ini, sebanyak 11 usulan untuk jabatan akademik profesor sudah lolos dari Majelis Guru Besar dan Senat Universitas. Sebagian darinya, sedang diproses di Jakarta.

Selain itu, UII masih mempunyai 248 doktor. Sebanyak 66 di antaranya sudah menduduki jabatan akademik Lektor Kepala. Mereka semua adalah para calon profesor. Semoga semuanya tercapai dalam waktu yang tidak terlalu lama.

 

Dialektika ilmu pengetahuan dan teknologi

Izinkan saya di kesempatan yang membahagiakan ini mengajak untuk melakukan refleksi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya menghadirkan kisah bahagia. Ada dialektika di sana. Selalu saja ada sisi baik dan juga sisi jahat.

Menurut saya, kesadaran yang terkesan sederhana ini perlu dilantangkan. Mengapa? Karena sensitivitas setiap ilmuwan dan intelektual, termasuk profesor di dalamnya, tidak selalu sama. Ada yang melihatnya secara optimistik dan mengabaikan sisi buruknya, dan sebaliknya, bahkan ada yang sangat apati dan menolak potensi baiknya. Tentu, ada gradasi di antara keduanya.

Sensitivitas terhadap dialektika dan konteks dapat diasah. Salah satunya, dengan peningkatan tingkat paparan.

Orang yang lebih banyak membaca topik tertentu sebagai indikasi tingkat paparan, misalnya, akan lebih sensitif dengan topik terkait. Orang yang lebih aktif melakukan diskusi dan refleksi juga demikian. Dan, berlaku sebaliknya.

 

Dimensi sensitivitas

Sensitivitas pun mempunyai dimensi spasial (ruang) dan temporal (waktu). Referensi spasial seseorang yang terbatas dan cenderung seragam, akan berbeda dengan mereka yang sering “piknik” ke wilayah lain yang beragam. Apalagi jika pikniknya lumayan jauh. Pengalaman spasial ini penting untuk mengasah sensitivitas.

Apa misalnya? Tidak semua yang kita bayangkan normal dan baik-baik saja di sebuah konteks spasial, akan juga demikian halnya di konteks lain. Yang berlaku di Yogyakarta, misalnya, belum tentu berlaku di wilayah Indonesia lain.

Sebagai contoh, hasil penelitian bibit padi dengan tanah dan iklim di daerah A belum tentu menghasilkan produktivitas yang sama ketika ditanam di daerah B dengan karakteristik tanah dan iklim yang berbeda.

Sensitivitas terhadap konteks spasial tampaknya lebih mudah dibayangkan, karena kasat mata.

Dimensi sensitivitas lainnya adalah temporal. Ada masa lampau, masa kini, dan masa depan. Apa yang tidak bermasalah di masa lampau, belum tentu sama di masa kini. Juda demikian halnya untuk masa depan.

Kedasaran temporal lebih sulit, karena harus menerka dampaknya di masa depan.

Ketika temuan ilmu pengetahuan dan teknologi diperkenalkan pertama kali, rasa bahagia dan takjub, biasanya hanya akan melihat sisi baiknya saja. Itu sangat wajar dan manusiawi. Tetapi perspektif temporal perlu melihat dalam horizon waktu yang jauh.

Kita ambil beberapa contoh. Robert Oppenheimer, ahli fisika berkebangsaan Amerika, yang dikenal sebagai bapak bom atom, menyesal karena bom atom buatannya telah membunuh ratusan ribu orang. Pada suatu saat, dia menyatakan, “tanganku berlumuran darah”.

Contoh lain. Mikhail Kalashnikov sang penemu senapan serbu AK-47, yang sangat terkenal karena desainnya yang sederhana, mudah diproduksi, dan mudah dirawat. Karena sadar, senapan tersebut digunakan di banyak peperangan dan konflik senjata dan telah membunuh banyak orang, suatu saat menjelang kematiannya, ia mengakui merasakan “penderitaan spiritual yang sangat perih”.

Jarang yang tahu, kalau Alfred Nobel yang kita kenal namanya sebagai sebutan penghargaan bagi tokoh dan ilmuwan dalam beragam bidang, juga yang menemukan dinamit. Awalnya dinamit digunakan untuk kepentingan sipil, tetapi kemudian juga untuk perang.

Sebelum meninggal, dia dihantui oleh kematian dan kerusakan yang diakibatkan oleh temuannya. Di dalam surat wasiat yang ditinggalkan, ia meminta kekayaannya dimanfaatkan untuk mendirikan yayasan yang merayakan pencapaian ilmu pengetahuan dan perdamaian.

Bukan berarti temuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mempunyai sisi positif. Banyak sekali. Namun, sisi negatif yang tidak jarang inheren di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu dimitigasi. Tetapi, kesadaran mitigasi tidak mungkin dilakukan tanpa sensitivitas yang memadai.

 

Dua sisi inteligensi artifisial

Perkembangan mutakhir juga bisa memberikan ilustrasi serupa. Salah satu teknologi yang banyak mendapatkan perhatian adalah artificial intelligence (AI) atau inteligensi artifisial (IA). Sebagian dari kita menyebutnya dengan kecerdasan buatan.

Penelusuran melalui mesin pencari Google dengan kata kunci “artificial intelligence” menemukan 628 juta entri. Ini belum termasuk hasil pencarian dengan variasi namanya, dalam bahasa atau istilah lain.

Seorang pakar IA, Stuart Russell (2019) dari Inggris, yang saat ini menjadi profesor di University of California, Berkey, termasuk yang mengajak kita menyadari potensi masalah yang dapat terjadi ketika IA berkembang ke depan. Ajakan ini merupakan pertanda sensitivitas yang baik.

IA telah banyak disalahgunakan untuk mengeksploitasi manusia oleh manusia lain. Misalnya, IA telah memudahkan surveilans, persuasi, dan juga kendali, termasuk mengendalikan perilaku kita.

Kuasa yang dihasilkan dari penggunaan teknologi seperti ini, oleh Shoshana Zuboff (2019) disebut dengan kuasa intrumentarianisme (instrumentarianism power). Zuboff mengontraskan kuasa jenis ini dengan kuasa totalitarianisme (totalitarianism power). Jika yang kedua menggunakan teror, yang pertama menggunakan teknologi untuk memodifikasi perilaku. IA dapat membantu implementasi pendekatan ini.

IA juga bisa melengkapi pengembangan senjata otonom yang mematikan. Tentu saja, IA juga dapat mengambil alih sebagian pekerjaan yang selama ini memerlukan kehadiran fisik manusia untuk melakukan.

Apa saran Russell?

Kita tidak boleh kehilangan optimisme. Kita juga harus memitigasi pengembangan IA dengan menerapkan prinsip-prinisp baru. Termasuk di antaranya adalah menjadikan IA lebih altrustik untuk kepentingan manusia yang baik, lebih rendah hati dengan mengenalkan ketidakpastian, dan lebih memahami preferensi manusia yang beragam.

 

Referensi

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. London: Profile Books.

Russell, S. (2019). Human compatible: Artificial intelligence and the problem of control. UK: Penguin.

Sambutan pada acara Serah Terima Surat Keputusan Jabatan Akademik Profesor Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D. di Universitas Islam Indonesia pada 19 Januari 2023.

Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia (FMIPA UII), Drs. Allwar, M.S.c., Ph.D. berhasil meraih jabatan akademik tertinggi yakni Guru Besar Bidang Ilmu Kimia. Raihan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 74072/MPK.A/KP.07.01/2022. Dengan raihan ini, Prof. Allwar menjadi Guru Besar ke-3 di Jurusan Kimia UII, ke-6 di FMIPA, dan ke-29 di UII.

Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik dibacakan langsung oleh Penyelia Sumber Daya Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah V D.I. Yogyakarta, Rahman Hakim, S.E., pada Kamis (19/01) di Gedung Kuliah Umum Prof. dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Momen bahagia ini juga disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube UII.

Read more

Guna mempercepat hilirisasi inovasi dan mempertemukan inovator dengan industri, Direktorat Pembinaan & Pengembangan Kewirausahaan/Simpul Tumbuh Universitas Islam Indonesia (DPPK/Simpul Tumbuh UII) menyelenggarakan Innovation Festival (InnoFest) 2023. Acara yang berlangsung pada 18-19 Januari 2023 di Gedung K.H. Mas Mansyur Fakultas Teknologi Industri UII itu juga melibatkan Direktorat Penelitian & Pengabdian Masyarakat (DPPM) dan mitra industri. Acara akbar berskala nasional ini hadir dengan visi untuk mengembangkan ekosistem inovasi dan wirausaha.

Read more

Momen haru sekaligus membanggakan dirasakan oleh keluarga besar Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII). Pasalnya, FK UII menyumpah 105 orang dokter baru yang terdiri dari 32 laki-laki dan 73 perempuan. Sebagaimana disampaikan dr. Ana Fauziyati, M.Sc., Sp.PD. selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter UII pada acara Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Dokter Periode LIX FK UII, pada Rabu (18/1), di Gedung Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir, Kampus UII Terpadu.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) membahas implementasi hibah proyek perdana dari program Erasmus dengan topik Overcoming Digital Divide in Europe and Southeast Asia (ODDEA). Implementasi dana hibah ini berlangsung selama 1 bulan di UII. 

Acara yang dihelat di My Kopi O, Jl. Candrakirana No.21, Terban, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta pada Rabu malam (18/01) dihadiri langsung oleh Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., serta perwakilan dosen Internasional dari University of Economics in Bratislava (UEBA) Slovakia, Prof. Sofia Dimeli.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) melaksanakan acara seremoni penandatanganan nota kesepahaman dengan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi, Jawa Barat. Acara yang digelar di Ruang Teatrikal Lantai 2, Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII pada Selasa (17/01) tersebut dihadiri oleh rombongan STAI Syamsul ‘Ulum. Adapun delegasi UII sendiri dipimpin oleh Rektor, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.

STAI Syamsul ‘Ulum sendiri merupakan lembaga pendidikan dalam naungan Yayasan Pendidikan Islam Pondok Pesantren (YASPI) Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi. Pondok pesantren tersebut didirikan oleh K.H. Ahmad Sanusi, salah satu Pahlawan Nasional yang turut menjadi tokoh pendiri Sekolah Tinggi Islam (STI), cikal bakal UII pada 1945.

Read more

Hanya ungkapan syukur yang pantas kita panjatkan kepada Allah Swt. atas semua nikmat yang tak pernah putus dikaruniakan kepada keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII). Kali ini, sebanyak 105 dokter dilahirkan dari rahim UII. Sampai periode sumpah kali ini, sejak berdirinya, Fakultas Kedokteran UII telah meluluskan 2.208 dokter.

Alhamdulillah, dengan rahmat Allah, para dokter baru dapat melalui proses pendidikan dan ujian dengan ikhtiar yang diiringi kiriman doa terbaik dari orang terkasih, terutama orang tua. Saya yakin banyak cerita bahagia yang menyertainya. Kisah nestapa pun jika ada, insyaallah akan terasa indah pada waktunya.

Atas nama UII, saya mengucapkan selamat atas pencapaian ini. Juga kepada keluarga para dokter baru. Semoga ini akan membuka berjuta pintu kebaikan di masa depan, ketika para dokter berkhitmad kepada sesama.

 

Kedokteran presisi

Saya yakin, bekal pengetahuan dan pengalaman selama pendidikan klinik sudah cukup untuk memulai mengabdi. Namun, kita harus ingat, ilmu kedokteran terus berkembang. Karenanya, jangan berhenti untuk mengikuti perkembangan termutakhir dan menyesuaikan diri dengan cepat.

Salah satu tema “baru” dalam dunia kedokteran adalah kedokteran presisi (precision medicine) (Ashley, 2016). Harian Kompas edisi 16 Januari 2023 juga menurunkan dua tulisan yang cukup panjang terkait dengan isu ini.

Kedokteran presisi atau kedokteran yang dipersonalisasi (personalized medicine) memungkinkan setiap pasien mendapatkan layanan medis yang lebih sesuai dengan karakteristiknya. Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Dante Saksono, dalam sebuah kesempatan, menyampaikan bahwa kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine) tidak lagi mencukupi untuk mengatasi beragam masalah kesehatan publik (Santoso, 2023).

Sebagai contoh, untuk kasus Indonesia, hanya 30% penderita diabetes melitus yang mempunyai gula darah terkendali setelah mengonsumsi obat. Sisanya, sebanyak 70% tidak terkendali gula darahnya. Setiap pasien mempunyai respons terhadap obat yang berbeda. Karenanya, pengobatan tidak bisa dibuat sama.

Hal ini disebabkan oleh beragam hal, termasuk identifikasi fisik, seluler, biomolekuler, genetis, dan identifikasi nonfisik pasien (Santoso, 2023). Kedokteran presisi menggabungkan pemanfaatan beragam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti ilmu genetika atau biologi molekuler, teknologi digital khususnya kecerdasan buatan (artificial intelligence), psikososial, serta pemahaman terhadap lingkungan dan gaya hidup, yang dikombinasikan dengan ilmu kedokteran.

Pemanfaatan kecerdasan buatan yang dilengkapi dengan algoritma yang mampu memetakan gen dan respons epigenetik terhadap perubahan lingkungan dan gaya hidup, misalnya, akan meningkatkan kualitas intervensi medis, baik pada tahap pencegahan, diagnosis, maupun pengobatan (i.e. Corti et al., 2022; Pelter & Druz, 2022). Kedokteran presisi dianggap sebagai keniscayaan untuk layanan kesehatan masa depan.

 

Perangai ilmiah

Tentu saya tidak punya legitimasi untuk melanjutkan paparan, karena latar belakang pendidikan saya yang tidak terhubung langsung dengan kedokteran. Tetapi, literatur terkait dengan kemajuan bidang kedokteran saat ini dapat diakses siapa saja. Saya bukan seorang dokter, namun saya personal cukup sering mengakses literatur bidang kedokteran jika menghadapi sebuah masalah yang tidak membutuhkan keahlian dalam untuk memahaminya.

Sebagai contoh, ketika sembuh dari paparan Covid-19 yang kedua beberapa waktu lalu, saya merasakan gejala long Covid-19, seperti perasaan cepat lelah, cepat lapar, masalah persendian, yang tampaknya lebih parah dibandingkan dengan long Covid-19 ketika paparan pertama. Saya pun berburu literatur, dan menemukan sebuah artikel yang dimuat di majalah sains terkemuka, Nature.  

Aha, ternyata akibat paparan yang berulang mempunyai dampak yang dapat lebih parah. Setelah membaca laporan tersebut dengan kosakata yang terbatas, saya pun sampai pada sebuah kesimpulan: ternyata teman saya banyak. Informasi tersebut sudah cukup membuat saya nyaman, menerima keadaan, dan mengurangi kekhawatiran. Tentu, jika diperlukan tindakan medis lanjutan, kita harus segera menghubungi dokter.

Nah, terkait dengan kedoteran presisi, saya periksa, ternyata diskusi terkait isu tersebut sudah dimulai sekitar 20 tahun lalu di bidang onkologi, atau studi kanker, seperti dilaporkan oleh jurnal terkemuka di bidang kedokteran, The Lancet (Blay et al., 2012; The Lancet, 2021).

Justru, saya akan sangat khawatir kalau para kolega dokter yang hadir di sini tidak cukup awas dengan perkembangan mutakhir dan mencoba meresponsnya sampai level yang mungkin. Saya berhusnuzan, para kolega dokter juga mengikuti perkembangan dengan baik.

Saya juga berharap, para dokter baru, juga membawa kesadaran yang sama. Karena kedokteran membawa pendekatan ilmiah, maka perangai ilmiah (scientific temper) perlu terus diasah sensitivitasnya. Membaca literatur mutakhir, terlihat dalam beragam diskusi dan konferensi, mengambil keputusan berbasis data dan argumentasi yang kuat, merupakan ritual ilmiah yang baik untuk merawat perangai ilmiah.

Karenanya, saya sangat senang, ketika di bandara bertemu dengan rombongan para dokter dari Indonesia sepulang menghadiri sebuah konferensi kedokteran di Eropa, misalnya. “Perjalanan ilmiah” merupakan ikhtiar merawat perangai ilmiah untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Memahami dan mendalami kedokteran presisi, dengan beragam perspektif yang muncul (Pelter & Druz, 2022), juga merupakan upaya dengan maksud serupa.

 

Referensi

Ashley, E. A. (2016). Towards precision medicine. Nature Reviews Genetics17(9), 507-522.

Blay, J. Y., Lacombe, D., Meunier, F., & Stupp, R. (2012). Personalised medicine in oncology: questions for the next 20 years. The Lancet Oncology13(5), 448-449.

Bowe, B., Xie, Y., & Al-Aly, Z. (2022). Acute and postacute sequelae associated with SARS-CoV-2 reinfection. Nature Medicine28(11), 2398-2405.

Corti, C., Cobanaj, M., Dee, E. C., Criscitiello, C., Tolaney, S. M., Celi, L. A., & Curigliano, G. (2022). Artificial intelligence in cancer research and precision medicine: Applications, limitations and priorities to drive transformation in the delivery of equitable and unbiased care. Cancer Treatment Reviews, 102498.

Pelter, M. N., & Druz, R. S. (2022, in press). Precision Medicine: Hype or Hope?. Trends in Cardiovascular Medicine.

Santoso, D. (2023). Mendorong kedokteran presisi. Kompas, 16 Januari.

The Lancet (2021). 20 years of precision medicine in oncology. The Lancet, 397(10287), 1781.

Sambutan pada pelantikan dan sumpah dokter Universitas Islam Indonesia pada 18 Januari 2023.

Dalam upaya memperluas kemitraan dengan perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, Universitas Islam Indonesia (UII) menandatangani nota kesepahaman dengan Institut Teknologi dan Bisnis Nobel Indonesia (Nobel Institute). Penandatangan nota kesepahaman diselenggarakan pada Kamis (12/1) di Ruang Sidang VIP Gedung GBPH Prabuningrat, Kampus Terpadu UII.

Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. selaku Rektor UII beserta jajarannya yang turut hadir dalam acara ini menyambut hangat kedatangan Rektor Nobel Institute, Dr. Ir. H. Badaruddin, S.T., M.M. beserta jajarannya. Kedatangan Nobel Institute ini diniatkan untuk menjalin kerja sama dengan UII dalam hal peningkatan mutu perguruan tinggi.

Read more

Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar acara pelepasan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) angkatan 66 tahun akademik 2022/2023 pada Kamis (12/1). Acara yang diselenggarakan di Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir ini dihadiri oleh seluruh perwakilan mahasiswa dari unit KKN masing-masing.

Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh dr. Edi Fitriyanto, M.Gizi selaku Kepala Pusat KKN UII, bahwa pada tahun angkatan 66 ini, KKN UII menerjunkan sebanyak 827 mahasiswa yang terdiri dari 643 laki-laki dan 184 perempuan dengan model KKN Reguler. 

Read more