Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBW UII) merilis hasil kerja penelitian kebudayaan sebanyak dua laporan. Laporan tersebut berjudul Rekonseptualisasi Abangan di Era Milenial dan laporan tahunan berjudul Islam Indonesia 2022: Resiliensi Masyarakat Muslim Indonesia. Kedua hasil penelitian tersebut disajikan kepada publik melalui sebuah acara yang diadakan pada Rabu (26/1) di Hall Gedung PYBW UII Jl. Cik Ditiro, Yogya.
Ketua Umum Pengurus YBW UII Drs. Suwarsono Muhammad, M.A. turut berbahagia dan berterima kasih kepada tim penelitian yang telah berhasil membuahkan karya. Suwarsono juga memberikan catatan khusus bagi hasil penelitian yang ada. Menurutnya dari keseluruhan artikel yang ada, resiliensi Islam khususnya di masa pandemi belum begitu terlihat dari sisi teknologi dan sains. Ia pun berharap agar ke depannya perlu dilakukan penelitian tentang hal tersebut.
Eksistensi Abangan di Masa Kini
Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si. yang hadir sebagai penanggap laporan menelaah hasil penelitian. Bayu memandang Abangan harus dilihat sebagai wacana yang harus dipraktikkan. Gencarnya modernisasi pertanian menjadi faktor penentu surutnya kuantitas Abangan yang ada di Indonesia. Basis dari eksistensi Abangan adalah masyarakat agraris tropik, sehingga menjadikannya begitu dekat dengan aktivitas pertanian.
Dalam presentasinya, Bayu yang juga pendidik di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menjelaskan kegelisahan yang dialami oleh kaumnya adalah terkait gagal panen dan kehilangan keluarga. “Sehingga pandangan mereka mengenai bertani adalah bagaimana aktivitas pertanian tersebut menjadi satu lahan untuk berharmoni,” jelas Bayu.
Salah satu gagasan yang dibawa oleh Abangan adalah terkait perspektif mereka dalam memandang kehidupan setelah kematian. Dijabarkan kematian bagi mereka adalah refleksi bagi kehidupan sebelumnya serta ajang untuk berkumpul dengan keluarga yang telah mendahului. “Sehingga jangan heran orang Abangan tidak takut mati, wong cuman berkumpul kok,” ungkap Bayu.
Selain itu Bayu juga mengutarakan konsep Abangan perlu dipandang dalam era media baru. Digitalisasi yang ada dianggap belum cukup mampu untuk mengguncang media yang digunakan oleh Abangan. Bayu lantas mencontohkan “untuk menghubungi seseorang, Abangan itu tidak serta-merta melalui WhatsApp, harus face to face,” tuturnya.
Terakhir, menurutnya pandangan sebagai lokalitas juga perlu dilakukan. Lokalitas yang dimaksud adalah terkait pemenuhan sumber daya untuk terus bernegosiasi dalam hal apapun. Di situlah mereka sebagai kekuatan lokalitas menjadi subjek yang aktif terus bernegosiasi dan resisten terhadap hak-hak politik. “Sehingga kesimpulan terhadap hilangnya Abangan, menurut saya hal itu terlalu buru-buru untuk diputuskan,” tutup Bayu yang juga merupakan kaum Abangan.
Transisi Aktivitas Budaya dan Tantangannya
Hadir sebagai pembedah laporan kedua, Dr. K.H. Aguk Irawan MN yang merupakan sastrawan turut berbagi perspektif. Merebaknya pandemi Covid-19 dipandang sebagai suatu hal yang membuat seluruh pihak panik. Kepanikan tersebut dilandasi oleh pemahaman dan cara pandang yang berbeda-beda. Silang pendapat antara agamawan menjadi contoh nyatanya.
“Bagi orang-orang yang taat agama dan budaya, menaati peraturan pemerintah. Tapi yang sebagian lagi tidak. Sebagian itu menggunakan nalar akidah untuk imunitas, bukan nalar fiqih/sains. Itulah yang menimbulkan kepanikan dan kevakuman budaya,” jelas Aguk mengenai rasionalisasi adanya kepanikan.
Ia mengaku selama awal pandemi sempat mengalami penurunan produktivitas sebelum mencoba beradaptasi. Hal itu juga dikarenakan kepanikan yang dirasakan olehnya. Pemberlakuan sistem blended menurutnya membuka pintu untuk bertransformasi untuk lebih dekat dengan teknologi.
Aktivitas kebudayaan dan Islam menjadi begitu leluasa dengan adanya transisi teknologi. “Yang awalnya teknologi dianggap barang ga jelas, menjadi dinikmati. Misalnya shalawatan melalui ruang virtual, kebiasaan itu muncul sendiri. Artinya, ada peningkatan sumber daya bagi orang tua,” ungkapnya.
Namun transformasi tersebut tidak serta-merta membawa dampak positif. Imbas dari sistem campur tersebut membuat orang memiliki opsi yang lebih banyak. Aguk mengilustrasikan, ketika Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dilonggarkan dan aktivitas budaya dibuka kembali, justru menimbulkan fenomena baru. “Maiyah yang dulu heboh, begitu dibuka blended yang datang itu tidak sampai 50, sudah terlanjur menikmati di rumah,” paparnya.
Warna baru yang tercipta juga adalah perihal ketidakseimbangan produksi karya dan pendapatan yang diperoleh. Hal itu terwujud dengan maraknya agenda bedah buku, namun transaksi untuk itu dapat dihitung jari. Aguk juga sedikit heran dan menyayangkan hal tersebut. “Mudah sekali orang buat seminar, namun pembeli buku hampir tidak ada. Tapi kalau saya datang ke pesantren, 500 eksemplar buku rasanya masih kurang untuk dibawa,” imbuhnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada YBW UII, Hadza Min Fadhli Robby, S.I.P., M.Sc. juga memandang ada pergeseran budaya ketika pandemi. Menurutnya masifnya pagelaran aktivitas budaya tidak sebanding dengan insentif ekonomi yang ada. “Tantangan terbesarnya memang blended. Produknya belum dapat dipasarkan dan meraup keuntungan secara langsung,” pungkas Hadza. (KR/ESP)