Saya termasuk yang berbahagia ketika hasil klasterisasi perguruan tinggi (PT) 2021 belum dikeluarkan. Tidak ada penjelasan resmi yang diberikan ke publik. Sikap saya ini sangat mungkin anti arus-utama ketika banyak PT menunggu dengan harap-harap cemas.
Klaster yang dimaknai menjadi peringkat kemudian diglorifikasi dan dikapitalisasi oleh PT papan atas. Sebagian besar mereka adalah PT dengan dukungan dana besar dari negara dalam waktu yang sudah sangat lama.
Sebaliknya, ingar bingar glorifikasi dan pengaburan makna tulen klaster telah menjungkalkan PT yang sedang berkembang. Sebagian pemimpin PT ini bahkan bercerita telah dirundung di kampusnya sendiri ketika posisinya menurun drastis. Di ruang publik pun tidak berbeda, terutama di media sosial.
Karenanya, saya senang ketika dalam banyak kesempatan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek), mengatakan, jika klasterisasi bukan pemeringkatan. Inilah tafsir yang semestinya, meski data olahan yang dibuka ke publik menggiring kepada tafsir peringkat. Ini perlu mendapatkan perhatian.
Masalah pemeringkatan
Setiap pemeringkatan mempunyai logikanya masing-masing dan dibangun di atas metodologi yang tidak selalu mudah dipahami publik, termasuk bahkan publik akademik. Makna setiapnya pun berbeda. Tidak semuanya merujuk kepada kualitas akademik.
Sulit membayangkan hasil pemeringkatan UniRank, dikaitkan dengan kualitas akademik, jika melihat metodologi yang digunakan. Serupa juga dengan pemeringkatan Webometrics. Kita bisa menyebutnya sebagai semi-akademik. Itu pun jika kita rujuk metodologi baru yang digunakan beberapa tahun terakhir. Tentu, ini hanya amsal.
Karenanya, tanpa kehatian-hatian dan pemahaman mendalam atas metodologi yang digunakan, kita akan terjerat. Memang bisa jadi jerat itu menyenangkan bagi sebagian PT papan atas. Pertanyaannya, tegakah kita mengelabuhi publik dengan tafsir peringkat yang hantam kromo? Bukankah salah satu tanggung jawab PT adalah mengedukasi bangsa?
Ini bukan isu kemarin sore. Hanya saja, banyak dari kita yang terjerat pada kecohan bias konfirmasi. Sebagai contoh, UNESCO (2013) sudah menangkap isu ini dan mendokumentasikannya di dalam buku berjudul Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses.
Laporan UNESCO (2021) terbaru bertajuk Reimagining Our Futures Together: A New Social Contract for Education, juga menyinggung isu pemeringkatan yang dikritisi telah memaksakan homogenitas, menafikan keragaman konteks, dan mengorbankan relevansi lokal.Selain itu, pemeringkatan hanya efektif untuk komparasi yang sifatnya indikatif, dan tidak akan pernah komprehensif.
Tentu, tidak ada seorang pun yang dapat memaksa sebuah PT untuk tidak mengapitalisasi peringkat. Inilah salah satu sisi gelap korporatisasi pendidikan.
Tekanan persaingan global yang dikhutbahkan di banyak pertemuan dan didokumentasikan di beragam dokumen, tampaknya tidak selalu mudah diabaikan begitu saja. Semuanya berpulang kepada sensitivitas dan nilai kolektif yang dianut oleh masing-masing PT.
Jalan keluar
Laporan UNESCO memberikan catatan penting. Evaluasi PT jangan terjerat pada peringkat kompetitif, dan sebagai gantinya berusaha untuk meningkatkan kapasitas pengajaran dan penelitiannya untuk mencapai misi publiknya.
Hanya dengan demikian, faktor kesejarahan yang beragam, harapan kolektif yang berbeda-beda, akses sumber daya yang variatif, dan kebutuhan lokal yang tidak sama, akan mendapatkan respons inovatif yang semestinya. Klasterisasi yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pun bisa menjadikan isu ini sebagai konsiderans. Dalilnya sangat jelas: keragaman konteks.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana menjadikan hasil klasterisasi bermakna, baik bagi PT yang masuk papan atas, maupun PT yang baru menginjak anak tangga pertama. Akses terhadap beragam program dan intervensi pengungkitan adalah salah kemungkinkan konsekuensinya.
Semua PT perlu dijaga tetap bermartabat. Jangan sampai PT menghalalkan beragam cara hanya untuk mendapatkan posisi yang dianggapnya terhormat. Menjadikan peringkat sebagai tujuan, dan bukan hanya bonus dari pekerjaan rumah yang ditunaikan dengan baik, dapat menjadi pemantiknya.
Jika ini yang terjadi, maka PT akan terlibat dalam pertarungan ke titik nadir (a race to the bottom). Banyak bukti indikatif yang saya temukan mengarah ke skenario yang menyeramkan ini.
Karenanya, jauhkan klasterisasi dari bingkai dengan dengan semangat menghukum dan menjauhkan dari dukungan. Hal ini kongruen dengan tafsir klasterisasi yang disampaikan oleh Dirjen Diktiristek. Berkah lainnya adalah kemuculan semangat kolaborasi yang tulen, bukan isapan jempol belaka yang sejatinya adalah kompetisi yang tidak selalu sehat dan bahkan cenderung saling menjatuhkan.
Inilah salah satu wujud tanggung jawab negara dalam memajukan PT di Indonesia, secara keseluruhan tak pandang bulu. Memasukkan keragaman konteks secara jujur dan istikamah, ke dalam radar kebijakan nasional adalah bentuk kesadaran yang sangat indonesiawi.
Tulisan ini telah dimuat di rubrik Opini Harian Repubika edisi 3 Februari 2022.