Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Pembukaan Final Statistika Ria dan Festival Sains Data (Satria Data) 2022 dengan tema Genggam Data, Kuasai dunia Menuju Era Otomatisasi. Acara berlangsung di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir pada Rabu (7/12). Satria Data 2022 merupakan agenda dari Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas), Balai Pengembangan Talenta Indonesia (BPTI) serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Risti) yang berkolaborasi dengan UII. 

Ketua Panitia Satria Data 2022, Dr. Edy Widodo, S.Si., M.Si. dalam sambutannya menjelaskan rangkaian acara Satria Data 2022. Acara ini terdiri dari beberapa kegiatan yaitu pengembangan wawasan yang terbagi menjadi Seminar Nasional dan Workshop, lalu kegiatan Kompetisi yang terdiri dari National Statistic Competition (NSC), Statistic Infographic Competition (SIC), Statistic Essay Competition (SEC), dan Big Data Challenge (BDC). Selanjutnya Great Learning yaitu kegiatan perkuliahan interaktif, diskusi serta penugasan dengan pendekatan problem solving.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) mendapat kehormatan menjadi tuan rumah PESTA TRIZ. Acara bertema “Capitalize on Disrupted Recovery with TRIZ” tersebut diadakan secara hybrid di Gedung Prof. dr. Sardjito pada 6-8 Desember 2022. PESTA TRIZ (Theory of Inventive Problem-Solving) adalah acara dua tahunan untuk menyatukan para praktisi TRIZ dan berbagi pembelajaran bersama komunitas. Berbagai kegiatan, seperti workshop, konferensi, dan perlombaan turut memeriahkan acara PESTA TRIZ.

Ini adalah kali perdana UII didaulat sebagai tuan rumah, sekaligus penyelenggaraan pertama di Indonesia sejak 10 tahun terakhir dilaksanakan di Malaysia. TRIZ sendiri merupakan salah satu metodologi inovasi dan pemecahan masalah yang dikenalkan oleh ilmuwan Rusia, E. Genrich Altshuller.

Read more

Delegasi Universitas Islam Indonesia (UII) berhasil menuai hasil positif pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-35 yang digelar di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada 30 November – 4 Desember 2022. UII memperoleh Prestasi Juara 3 atau setara medali perunggu pada Kategori Presentasi di dua ajang Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) berbeda yakni Bidang Kewirausahaan (PKM-K) dan Bidang Pengabdian Masyarakat (PKM-PM). 

Direktur Pembinaan Kemahasiswaan Beni Suranto, S.T., M.Soft.Eng. mengatakan, “Tentu sangat bangga dan bersyukur, UII di PIMNAS ke-35 mendapat dua prestasi, penghargaan setara perunggu untuk presentasi skema pengabdian masyarakat dan kewirausahaan”. Menurutnya, ini merupakan perbaikan dari raihan UII di tahun sebelumnya.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) mensyukuri nikmat dengan lahirnya 1.070 cendekiawan pendorong daya saing bangsa melalui Wisuda Periode II Tahun Akademik 2022/2023 jenjang Doktor, Magister, Sarjana, dan Ahli Madya. Pelaksanaan wisuda ini berlangsung di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir UII, Jalan Kaliurang, Km. 14,5, pada Sabtu (03/12). 

Sejumlah 1.070 wisudawan terdiri terdiri dari 116 orang dari Program Diploma (D3), 862 orang dari Program Strata Satu (S1), 91 orang dari Program Magister, dan 1 orang dari Program Doktor. Dari jumlah tersebut, 615 orang berhasil meraih predikat cumlaude.

Read more

Badan Penjaminan Mutu Universitas Islam Indonesia (BPM UII) mengadakan Induksi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) untuk Akreditasi bagi Pengendali Sistem Mutu Fakultas dan Jurusan/Program Studi (PSMF-J/PS). Acara berlangsung di Griya Persada Convention Hotel & Resort Kaliurang pada 2-3 Desember 2022 dengan dihadiri 71 pengendali sistem mutu fakultas dan jurusan/program studi periode 2022-2026.

Kepala BPM UII, Dr. Rina Mulyati, S.Psi., M.Si., Psikolog dalam sambutannya mengajak, “Mari kita bersama mensupport prodi masing-masing untuk membantu penerapan sistem mutu yang nantinya bermanfaat dalam menunjang proses akreditasi baik untuk prodi maupun untuk universitas,”. 

Read more

Saya berharap, bekal yang Saudara kumpulkan ketika kuliah sudah cukup untuk menapaki dunia berkarya, baik dengan membuka usaha sendiri, bekerja di perusahaan atau lembaga yang sudah ada, maupun melanjutkan studi. Saya percaya, apapun pilihannya, semuanya diniatkan untuk memberikan kontribusi terbaik dan memberikan manfaat kepada liyan.

Meski demikian, Saudara saya yakin sudah sadar bahwa lingkungan terus berubah. Perubahan membutuhkan kecakapan yang lebih tinggi dan bahkan kecakapan baru. Karenanya, semangat untuk terus belajar harus terus dihidupkan. Selalu asah kurva permbelajaran Saudara. Tidak ada garis finis dalam belajar untuk para pembelajar sejati.

 

Ketidakpastian masa depan

Saudara akan menapaki anak tangga masa depan yang sudah direncanakan. Memang sangat mungkin, tidak semuanya berjalan sesuai dengan rencana, tetapi itu tidak menjadi alasan untuk tidak membuat rencana dengan hati-hati. Itulah salah satu karakter masa depan yang penuh ketidakpastian.

Ketidakpastian mengharuskan kita untuk selalu awas dengan perubahan. Kita pun dituntut untuk sigap dalam meresponsnya. Kecakapan merespons dan beradaptasi dengan ketidakpastian inilah, salah satu yang dibutuhkan di masa depan.

Saudara harus menyiapkan diri untuk menerima kejutan-kejutan dalam perjalanan menapaki anak tangga. Kejutan ini dapat membelokkan arah masa depan Saudara. Tetapi jangan khawatir, tugas kita memang merencanakan dengan baik dan menapakinya dengan sepenuh hati. Kita tidak akan tahu akan berakhir di mana, dan dengan kelok seperti apa perjalanan yang akan kita lewati.

Saya mengajak Saudara untuk menyadari ini. Hanya dengan perspektif seperti ini, kita akan menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah menyerah. Kita pun tidak lantas berkembang menjadi manusia yang lebih suka menyalahkan liyan ketika ada masalah menerpa.

Meski tantangan personal kita sudah cukup menyibukkan, tetapi hal itu tidak boleh menjadikan kita menjadi abai terhadap kepentingan bangsa yang lebih besar. Setiap aktivitas kita sudah seharusnya secara kolektif bisa diakumulasikan untuk kemajuan bangsa ini.

 

Akal sehat bangsa

Saudara, sebentar lagi kita sebagai bangsa akan memasuki tahun politik di 2024, ketika pemilihan presiden digelar. Suhunya, saat ini, sudah terasa menghangat. Ketidakpastian juga bagian inheren dari proses ini.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya menitipkan beberapa pesan, tidak hanya untuk para wisudawan tetapi untuk kita semuanya.

Pertama, tetaplah rawat akal sehat. Ini bukan hal mudah, ketika banyak dari kita tidak menjadi pemikir yang merdeka dan mandiri, serta cenderung mengikuti narasi publik yang seringkali dipenuhi dengan beragam kepentingan.

Akal sehatlah yang bisa menepis beragam informasi salah atau hoaks yang berkembang dengan pesat di tengah-tengah kita. Akal sehatlah yang akan menjadikan kita tidak mudah diadu domba dan menerima hasutan.

Jika semua alumni mampu melakukannnya, maka akan terbentuk akal sehat kolektif, yang penting untuk merawat persatuan bangsa ini. Ini adalah warisan mahal dari para pendiri bangsa yang harus kita pertahankan. Kita sudah menjadi saksi sejarah, banyak bangsa yang hancur ketika persatuan tidak bisa dijaga.

Kedua, jadilah manusia yang dapat menerima perbedaan. Pengalaman di kampus yang menjunjung tinggi kebebasan akademik, dapat menjadi basis bersikap. Membayangkan semua orang sependapat dengan kita ibarat mimpi dengan mata terbuka alias tidak mungkin.

Setiap orang mempunyai asal yang berbeda, pengalaman lampau beragam, dan aspirasi yang bervaiasi. Menghilangkan semua perbedaan tersebut dipastikan tidak mungkin. Persatuan bukan dibentuk karena semua seragam, tetapi atas dasar saling menghormati perbedaan dan sepakat mengedepanan persamaan.

Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam sejak berdirinya. Tugas kita saat ini adalah merayakan kekayaan tersebut dengan merajutkan menjadi tenun kebangsaaan yang menyatukan.

Ketiga, kedepankan pendekatan ilmiah dalam melihat banyak hal. Perbedaan pendapat di tahun politik dipastikan ada. Itu hal yang sangat wajar. Ketika itu terjadi, kembalikan kepada ilmu. Biarkan ilmu yang membimbing kita dalam bersikap dan mengambil keputusan. Jangan sampai emosi dan perasaan lebih mendominasi.

Inilah tantangan di era pascakebenaran seperti saat ini. Tidak selalu mudah memang, ketika sentimen kita dimainkan dengan beragam algoritma. Tetapi saya yakin, ketika banyak dari kita melantangkan pendekatan ilmiah dalam menyelesaikan banyak hal, insyaallah ini akan menjadi modal untuk kemajuan di masa depan.

Pendekatan ilmiah akan menjadikan hati kita tetap dingin karena argumentasi logis yang dipertontonkan. Ini juga akan mendidikan bangsa menjadi lebih dewasa dalam berdemokrasi.

Semoga kita sebagai bangsa semakin dewasa dalam berdemokrasi. Saya berharap, Saudara semua akan menjadi bagian penting dari proses tersebut.

 Sebagian sambutan pada acara wisuda Univeritas Islam Indonesia, 3 Desember 2022.

Kegiatan Seminar Nasional bertema “Peluang dan Tantangan Kolaborasi Multisektor dalam Penyediaan Perumahan di Indonesia” serta “Peluncuran Bank Desain Klinik Rumah Swadaya” digelar pada Kamis (1/12) secara hybrid dalam rangka memperingati Hari Bakti Pekerjaan Umum (PU) ke-77. Kegiatan seminar nasional berlangsung di Grand Inna Malioboro, Yogyakarta. 

Dalam pelaksanaannya, Program Pendidikan Profesi Arsitek (PPAr) Jurusan Arsitektur FTSP UII turut andil dalam kerja samanya dengan Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan (P2P) Jawa III. PPAr Jurusan Arsitektur FTSP UII turut meluncurkan bank desain klinik rumah swadaya dalam kesempatan tersebut. 

Read more

Bagi saya, diskusi tentang masa depan selalu menarik. Di sana, ada kegalauan soal masa kini dan juga pengharapan baik terhadap masa mendatang.

Sikap kritis terhadap kondisi mutakhir memang harus selalu dirawat. Tanpanya, masa depan tidak akan menggairahkan, karena kita tidak akan pernah mempunyai mimpi kolektif yang perlu diperjuangkan.

 

Imaji kolektif masa depan

Imaji masa depan pun jangan dibayangkan tunggal, tetapi jamak alias beragam. Karenanya perlu sering untuk didialogkan di ruang publik. Bahkan, bagi Sardar, karena keragaman imaji masa depan, dialog pun tidak cukup, tetapi harus dengan polilog yang melibatkan lebih banyak perspektif.

Berangkat dari kesadaran tersebutlah, diskusi publik kali ini digelar. Karena bentuknya adalah diskusi publik, maka semua hadirin juga diundang untuk berkontribusi dalam memperkaya perspektif. Proses diskusi yang melibatkan banyak orang secara aktif sangat penting untuk membangun kesadaran bersama.

Mengapa diskusi bersama menjadi penting?

Tak satupun kegemilangan peradaban manusia di masa lampau merupakan kerja soliter atau prestasi seorang diri. Ia selalu merupakan akumulasi kerja bersama. Karenanya, mendesain masa depan secara kolektif menjadi sangat penting dan bahkan menjadi titik tolak kritis yang sangat menentukan .

Tanpa imaji kolektif yang disepakati, maka jangan heran jika sepanjang perjalanan banyak energi bocor untuk kembali memperdebatkan sesuatu yang seharusnya sudah selesai di tahapan yang lebih awal.

Fragmen seperti ini dapat terus berulang dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Karenanya, dalam kasus terburuk, kita seperti menaiki sepeda statis. Betul, keringat mengucur deras dan energi terkuras, tetapi kita tidak pernah kemana-mana alias jalan di tempat.

 

Pilihan sikap: bersanding atau bertanding

Berangkat dari kesadaran tersebut, kita bisa mulai dengan mendiskusikan beberapa hal, termasuk kritik jujur terhadap masa kini, bayangan kita terhadap masa depan, desain anak tangga untuk mencapainya, serta kontribusi apa yang bisa kita iurkan.

Dalam konteks diskusi publik kali ini, masa depan mendapatkan tambahan predikat spesifik: peradaban Islam. Di sini, ada unsur primordialisme yang seharusnya mengikat lebih erat, ketika orang Islam mendiskusikan masa depannya sendiri, tetapi bukan tanpa jebakan.

Tentu, kita sadar sepenuhnya, diskursus seperti ini bukan yang pertama. Sudah banyak literatur yang merekam pemikiran dalam topik ini.

Saya berharap kesadaran etis kolektif seharusnya dapat menjadi bahan bakar dengan daya dorong penggerak yang dahsyat. Tetapi jangan lupa, umat Islam tidak sendirian di muka bumi ini. Sejak dahulu kala.

Karenanya, jangan sampai kita terjebak pada pemahaman bahwa peradaban Islam, jika kita merujuk pada Zaman Keemasan Islam ketika Eropa mengalami Zaman Kegelapan, adalah titik kilometer nol peradaban manusia. Pemahaman seperti ini hanya akan mengabarkan bahwa kita bukan pembaca yang baik dan literasi sejarah kita kurang luas. Sejarah mencatat bahwa peradaban dunia justru saling belajar.

Zaman Keemasan Islam justru menjadi menjadi contoh yang sangat baik, bahwa peradaban bisa saling bersanding (saling berkontribusi) dan tidak selalu bertanding (saling berbenturan). Ketika itu para ilmuwan lintaslatar belakang negara dan bahkan agama dapat bekerja sama dengan baik. Kita bisa menjadikan fenomena ini sebagai ilustrasi kosmopolitanisme dalam Islam, misalnya. Tesis yang diusung oleh Huntington tentang benturan peradaban, karenanya, sangat mungkin dibaca ulang dengan kaca mata lain.

Sebetulnya, label peradaban Islam sendiri tidak dikonstruksi pada Zaman Keemasan, tetapi label yang diberikan oleh ahli sejarah modern. Kita juga tahu, secara semiotik, tidak ada label yang bisa merengkuh semua pemahaman secara komprehensif. Selalu saja ada penyempitan dan bahkan distorsi. Karenanya, ia harus diikuti dengan definisi operasional yang memadai.

Hal itu, juga berlaku untuk label yang kita gunakan hari ini, termasuk kapitalisme religius dan kosmopolitanisme. Keduanya memerlukan diskusi untuk memahaminya, tentu dengan ruang yang terbuka lebar untuk keragaman tafsir.

 

Kosmopolitanisme Islam: hubungan dengan liyan

Sejarah awal Islam sangat jelas memberikan pelajaran kepada kita, bahwa ajaran Islam terbuka dan inklusif. Ajaran kosmopolitanisme sudah melekat dengan Islam sejak kelahirannya. Itulah mengapa Islam bisa diterima oleh manusia dengan latar belakang berbeda dan karenanya berkembang dengan pesat. Islam bisa berdialog dan bahkan melebur dengan budaya setempat.

Hubungan Islam dan liyan dalam situasi damai sangatlah harmonis. Piagam Madinah bisa menjadi contoh konkret. Suasana saling menghargai dan bekerja sama dengan liyan merupakan semangat yang dibawa Islam sejak awal. Tentu, pemahaman saya ini terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut.

Saya tidak ingin bernostalgia dengan masa lampau, tapi mengajak hadirin untuk sejenak menengok ke belakang dan merawat pelajaran berharga yang masih sangat relevan untuk masa kini.

Bagi saya, kosmopolitanisme Islam berangkat dari kesadaran bahwa manusia setara dan ajaran Islam bersifat merengkuh. Perbedaan adalah fakta sosial dan kehadirannya tidak lantas menjadi alasan untuk berdiri secara diametral dan selalu berbenturan. Hanya dengan penerimaan kesetaraan, diskusi dan kerja sama lintasaktor dapat dilakukan secara bermakna.

Karenanya, saya juga mengajak untuk tidak terlalu mudah “bermain sebagai korban” untuk banyak masalah yang dihadapi umat Islam. Saya khawatir, hal tersebut muncul karena kegagalan menilai diri sendiri secara jujur.

Sardar, misalnya, meningatkan kita, bahwa masalah umat Islam ada tiga: gagal mengapresiasi kekuatan diri, gagal memahami realitas dunia komtemporer, dan gagal meresponsnya dengan cepat. Akibatnya, umat Islam terjebak dalam sikap yang reaktif, lari dari satu jalan buntu, ke jalan buntu lain; dari satu kuldesak ke kuldesak lain

Karenanya, melihat masa lalu secara jernih sangat penting untuk mendesain masa depan. Di sana akan ditemukan banyak mutiara yang masih valid kita jadikan rujukan, tentu dengan tafsir yang lebih progresif.

Kita ambil satu contoh. Apakah penguasan kapital penting dalam sebuah peradaban? Sebagian dari kita mungkin langsung teringat kemuliaan orang miskin yang bersyukur atau ajaran hidup sederhana. Tapi jangan lupa, kemajuan peradaban memerlukan kapital.

Ketika Zaman Keemasan, misalnya, negara dan para orang kaya menunjukkan rasa gandrung dengan pengembangan sains dengan memberikan dukungan dana yang melimpah. Saat itu, salah satu episentrum pengembangan sains ada di Bagdad. Ketika krisis ekonomi melanda Irak pada abad ke-11, dukungan dana menurun drastis dan para ilmuwan pun akhirnya berpencar. Dua pilar pengembangan sains saat itu, yaitu dukungan dana dan komunikasi antarilmuwan, runtuh.

Sejarah juga mencatat, abad ke-11 merupakan awal kemunduran peradaban Islam, yang dibarengi dengan menurunnya perhatian kepada pengembangan sains. Tentu, jika disepakati, pengembangan sains dapat menjadi salah satu inspirasi strategi kebangkitan peradaban Islam masa depan.

Sambutan pembuka Diskusi Publik “Masa Depan Peradaban Islam: Kapitalisme Religius dan Kosmopolitanisme” yang diselenggarakan pada 1 Desember 2022

Departemen Dakwah Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (DPPM LEM FH UII) menyelenggarakan Diskusi Akademik “Problematika Generasi Z” di Auditorium Lt. 4 Gedung FH UII pada Rabu (30/11). Diskusi ini menghadirkan Habib Husein Ja’far Al-Hadar (Penulis, Pendakwah, dan Content Creator Dakwah Islam) sebagai Pemateri dan Ahmad Sadzali, Lc., M.H. (Dosen FH UII) sebagai moderator.

Dekan FH UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. dalam sambutannya menyampaikan bahwa generasi Z adalah generasi yang usianya rentang dari 9-26 tahun. Generasi Z memiliki beberapa ciri-ciri: Pertama, biasanya mahir dalam menggunakan teknologi informasi. Kedua, senang sekali berkomunikasi dengan memanfaatkan teknologi, dan ketiga, generasi yang suka mengumbar privasi. 

Read more

Saya ingin memulai tulisan ini dengan ilustrasi sederhana.

 

Kepentingan bangsa

Bayangkan, kita diminta mengisi sebuah stoples dengan pasir, kerikil, dan batu besar sepenuh mungkin. Satu atau dua komponen komponen saja tidak mungkin memenuhinya.

Dengan menggunakan akal sehat, tampaknya kita sepakat jika pasir yang dimasukkan pertama kali, maka stoples tidak akan penuh. Begitu juga jika kerikil menjadi pilihan pertama. Batu besar tidak akan mendapatkan tempat.

Untuk memenuhi stoples, batu besar harus didahulukan. Kemudian, kerikil akan mengisi rongga yang tersisa. Selanjutnya, pasir akan memastikan bahwa rongga yang ada terpenuhi semua.

Sekarang, bagaimana kalau batu besar kita ganti dengan kepentingan bangsa, kerikil dengan kepentingan kelompok, dan pasir sebagai kepentingan personal anak bangsa. Saya yakin setiap kita dapat memahami dengan mudah metafora ini. Untuk menjadi bangsa yang utuh, maka kita tahu kepentingan mana yang perlu didahulukan, yaitu yang menjadi hajat hidup orang banyak.

Berbekal perspektif ini, misalnya, kita akan lebih mudah memahami ketika Bung Karno mengusulkan dasar negara dimulai dari nilai yang mengikat persamaan sebagai sebuah bangsa. Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengusulkan lima dasar negara, yakni (1) Kebangsaaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kebangsaaan Indonesia yang mengandaikan kesetaraan sebagai anak bangsa diletakkan paling awal. Perspektif ini tentu jangan lantas dimatikan dengan pertanyaan: berarti agama nomor sekian?

Saya hanya ingin menegaskan, ketika menyampaikan hal tersebut, Bung Karno sebagai tokoh bangsa, berdiri di atas semua anak bangsa, bukan sebagai wakil golongan tertentu, apalagi mewakili sebuah keluarga.

 

Pancasila sebagai pemersatu

Bagi saya, apa yang disampaikan oleh Bung Karno ini telah diwakafkan untuk bangsa ini, dan tak seorang pun berhak mengklaimnya menjadi miliknya sendiri, apalagi memonopoli tafsir. Pendekatan monopolistik ini akan justru menjadi bahan bakar pembelahan di tengah publik: kami dan mereka, minna wa minhum. Ini tidak sehat dalam praktik berbangsa yang beradab.

Tentu ini bertentangan dengan ide menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan aspirasi dan pemikiran publik. Selera dan tantangan zaman selalu berubah. Masa kini berbeda dengan masa silam. Masa depan sangat mungkin, untuk tidak mendahului Tuhan, berbeda dengan masa kini.

Apakah Pancasila masih mampu beradaptasi dengan perubahan? Saya personal, masih sangat optimis, bahwa nilai-nilai abadi yang terkandung di dalam Pancasila masih relevan. Tentu dengan tafsir-tafsir progresif yang sensitif dengan perubahan, dan tidak menjadikan Pancasila terkerangkeng di dalam sangkar waktu lampau yang menjadikannya usang.

Kita telah sepakat bahwa Pancasila adalah dasar negara kita Indonesia, yang tersusun atas komponen bangsa yang pernuh warna. Indonesia adalah negara perjanjian dan persaksian, darul ahdi wasy syahadah. Bagi saya, Pancasila adalah ibarat ikatan yang kuat, mitsaq ghalidl, dan dapat tetap aktual sebagai panduan dan rujukan dalam berbangsa dan bernegara.

Tanpa mengurangi rasa syukur atas capaian kolektif, daftar pekerjaan rumah bangsa ini di masa mendatang masih panjang. Kita bisa sebut beberapa. Di antaranya adalah ketimpangan, korupsi, intoleransi dan pembelahan bangsa, oligarkhi kuasa, kualitas demokrasi yang menurun, dan lain-lain.

Pekerjaan rumah ini dapat diperpanjang, termasuk mengikutikan isu-isu global yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan bersama sebagai warga bumi. Di antaranya adalah perubahan iklim, krisis energi dan bangan, konflik di banyak belahan pojok bumi, dan sebagainya.

Apakah Pancasila masih relevan menjadi basis dan rujukan di masa depan? Saya yakin kuliah umum yang akan diberikan oleh Bapak Dr. Yudi Latif akan mendiskusikan isu ini dengan tajam.

Sambutan pada pembukaan Kuliah Umum untuk mahasiswa baru program profesi, magister, dan doktor yang bertajuk “Pancasila dan Masa Depan Indonesia” oleh Yudi Latif, Ph.D. pada 5 November 2022.