Bagi saya, diskusi tentang masa depan selalu menarik. Di sana, ada kegalauan soal masa kini dan juga pengharapan baik terhadap masa mendatang.
Sikap kritis terhadap kondisi mutakhir memang harus selalu dirawat. Tanpanya, masa depan tidak akan menggairahkan, karena kita tidak akan pernah mempunyai mimpi kolektif yang perlu diperjuangkan.
Imaji kolektif masa depan
Imaji masa depan pun jangan dibayangkan tunggal, tetapi jamak alias beragam. Karenanya perlu sering untuk didialogkan di ruang publik. Bahkan, bagi Sardar, karena keragaman imaji masa depan, dialog pun tidak cukup, tetapi harus dengan polilog yang melibatkan lebih banyak perspektif.
Berangkat dari kesadaran tersebutlah, diskusi publik kali ini digelar. Karena bentuknya adalah diskusi publik, maka semua hadirin juga diundang untuk berkontribusi dalam memperkaya perspektif. Proses diskusi yang melibatkan banyak orang secara aktif sangat penting untuk membangun kesadaran bersama.
Mengapa diskusi bersama menjadi penting?
Tak satupun kegemilangan peradaban manusia di masa lampau merupakan kerja soliter atau prestasi seorang diri. Ia selalu merupakan akumulasi kerja bersama. Karenanya, mendesain masa depan secara kolektif menjadi sangat penting dan bahkan menjadi titik tolak kritis yang sangat menentukan .
Tanpa imaji kolektif yang disepakati, maka jangan heran jika sepanjang perjalanan banyak energi bocor untuk kembali memperdebatkan sesuatu yang seharusnya sudah selesai di tahapan yang lebih awal.
Fragmen seperti ini dapat terus berulang dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Karenanya, dalam kasus terburuk, kita seperti menaiki sepeda statis. Betul, keringat mengucur deras dan energi terkuras, tetapi kita tidak pernah kemana-mana alias jalan di tempat.
Pilihan sikap: bersanding atau bertanding
Berangkat dari kesadaran tersebut, kita bisa mulai dengan mendiskusikan beberapa hal, termasuk kritik jujur terhadap masa kini, bayangan kita terhadap masa depan, desain anak tangga untuk mencapainya, serta kontribusi apa yang bisa kita iurkan.
Dalam konteks diskusi publik kali ini, masa depan mendapatkan tambahan predikat spesifik: peradaban Islam. Di sini, ada unsur primordialisme yang seharusnya mengikat lebih erat, ketika orang Islam mendiskusikan masa depannya sendiri, tetapi bukan tanpa jebakan.
Tentu, kita sadar sepenuhnya, diskursus seperti ini bukan yang pertama. Sudah banyak literatur yang merekam pemikiran dalam topik ini.
Saya berharap kesadaran etis kolektif seharusnya dapat menjadi bahan bakar dengan daya dorong penggerak yang dahsyat. Tetapi jangan lupa, umat Islam tidak sendirian di muka bumi ini. Sejak dahulu kala.
Karenanya, jangan sampai kita terjebak pada pemahaman bahwa peradaban Islam, jika kita merujuk pada Zaman Keemasan Islam ketika Eropa mengalami Zaman Kegelapan, adalah titik kilometer nol peradaban manusia. Pemahaman seperti ini hanya akan mengabarkan bahwa kita bukan pembaca yang baik dan literasi sejarah kita kurang luas. Sejarah mencatat bahwa peradaban dunia justru saling belajar.
Zaman Keemasan Islam justru menjadi menjadi contoh yang sangat baik, bahwa peradaban bisa saling bersanding (saling berkontribusi) dan tidak selalu bertanding (saling berbenturan). Ketika itu para ilmuwan lintaslatar belakang negara dan bahkan agama dapat bekerja sama dengan baik. Kita bisa menjadikan fenomena ini sebagai ilustrasi kosmopolitanisme dalam Islam, misalnya. Tesis yang diusung oleh Huntington tentang benturan peradaban, karenanya, sangat mungkin dibaca ulang dengan kaca mata lain.
Sebetulnya, label peradaban Islam sendiri tidak dikonstruksi pada Zaman Keemasan, tetapi label yang diberikan oleh ahli sejarah modern. Kita juga tahu, secara semiotik, tidak ada label yang bisa merengkuh semua pemahaman secara komprehensif. Selalu saja ada penyempitan dan bahkan distorsi. Karenanya, ia harus diikuti dengan definisi operasional yang memadai.
Hal itu, juga berlaku untuk label yang kita gunakan hari ini, termasuk kapitalisme religius dan kosmopolitanisme. Keduanya memerlukan diskusi untuk memahaminya, tentu dengan ruang yang terbuka lebar untuk keragaman tafsir.
Kosmopolitanisme Islam: hubungan dengan liyan
Sejarah awal Islam sangat jelas memberikan pelajaran kepada kita, bahwa ajaran Islam terbuka dan inklusif. Ajaran kosmopolitanisme sudah melekat dengan Islam sejak kelahirannya. Itulah mengapa Islam bisa diterima oleh manusia dengan latar belakang berbeda dan karenanya berkembang dengan pesat. Islam bisa berdialog dan bahkan melebur dengan budaya setempat.
Hubungan Islam dan liyan dalam situasi damai sangatlah harmonis. Piagam Madinah bisa menjadi contoh konkret. Suasana saling menghargai dan bekerja sama dengan liyan merupakan semangat yang dibawa Islam sejak awal. Tentu, pemahaman saya ini terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut.
Saya tidak ingin bernostalgia dengan masa lampau, tapi mengajak hadirin untuk sejenak menengok ke belakang dan merawat pelajaran berharga yang masih sangat relevan untuk masa kini.
Bagi saya, kosmopolitanisme Islam berangkat dari kesadaran bahwa manusia setara dan ajaran Islam bersifat merengkuh. Perbedaan adalah fakta sosial dan kehadirannya tidak lantas menjadi alasan untuk berdiri secara diametral dan selalu berbenturan. Hanya dengan penerimaan kesetaraan, diskusi dan kerja sama lintasaktor dapat dilakukan secara bermakna.
Karenanya, saya juga mengajak untuk tidak terlalu mudah “bermain sebagai korban” untuk banyak masalah yang dihadapi umat Islam. Saya khawatir, hal tersebut muncul karena kegagalan menilai diri sendiri secara jujur.
Sardar, misalnya, meningatkan kita, bahwa masalah umat Islam ada tiga: gagal mengapresiasi kekuatan diri, gagal memahami realitas dunia komtemporer, dan gagal meresponsnya dengan cepat. Akibatnya, umat Islam terjebak dalam sikap yang reaktif, lari dari satu jalan buntu, ke jalan buntu lain; dari satu kuldesak ke kuldesak lain
Karenanya, melihat masa lalu secara jernih sangat penting untuk mendesain masa depan. Di sana akan ditemukan banyak mutiara yang masih valid kita jadikan rujukan, tentu dengan tafsir yang lebih progresif.
Kita ambil satu contoh. Apakah penguasan kapital penting dalam sebuah peradaban? Sebagian dari kita mungkin langsung teringat kemuliaan orang miskin yang bersyukur atau ajaran hidup sederhana. Tapi jangan lupa, kemajuan peradaban memerlukan kapital.
Ketika Zaman Keemasan, misalnya, negara dan para orang kaya menunjukkan rasa gandrung dengan pengembangan sains dengan memberikan dukungan dana yang melimpah. Saat itu, salah satu episentrum pengembangan sains ada di Bagdad. Ketika krisis ekonomi melanda Irak pada abad ke-11, dukungan dana menurun drastis dan para ilmuwan pun akhirnya berpencar. Dua pilar pengembangan sains saat itu, yaitu dukungan dana dan komunikasi antarilmuwan, runtuh.
Sejarah juga mencatat, abad ke-11 merupakan awal kemunduran peradaban Islam, yang dibarengi dengan menurunnya perhatian kepada pengembangan sains. Tentu, jika disepakati, pengembangan sains dapat menjadi salah satu inspirasi strategi kebangkitan peradaban Islam masa depan.
Sambutan pembuka Diskusi Publik “Masa Depan Peradaban Islam: Kapitalisme Religius dan Kosmopolitanisme” yang diselenggarakan pada 1 Desember 2022