Saya ingin memulai tulisan ini dengan ilustrasi sederhana.
Kepentingan bangsa
Bayangkan, kita diminta mengisi sebuah stoples dengan pasir, kerikil, dan batu besar sepenuh mungkin. Satu atau dua komponen komponen saja tidak mungkin memenuhinya.
Dengan menggunakan akal sehat, tampaknya kita sepakat jika pasir yang dimasukkan pertama kali, maka stoples tidak akan penuh. Begitu juga jika kerikil menjadi pilihan pertama. Batu besar tidak akan mendapatkan tempat.
Untuk memenuhi stoples, batu besar harus didahulukan. Kemudian, kerikil akan mengisi rongga yang tersisa. Selanjutnya, pasir akan memastikan bahwa rongga yang ada terpenuhi semua.
Sekarang, bagaimana kalau batu besar kita ganti dengan kepentingan bangsa, kerikil dengan kepentingan kelompok, dan pasir sebagai kepentingan personal anak bangsa. Saya yakin setiap kita dapat memahami dengan mudah metafora ini. Untuk menjadi bangsa yang utuh, maka kita tahu kepentingan mana yang perlu didahulukan, yaitu yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Berbekal perspektif ini, misalnya, kita akan lebih mudah memahami ketika Bung Karno mengusulkan dasar negara dimulai dari nilai yang mengikat persamaan sebagai sebuah bangsa. Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengusulkan lima dasar negara, yakni (1) Kebangsaaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kebangsaaan Indonesia yang mengandaikan kesetaraan sebagai anak bangsa diletakkan paling awal. Perspektif ini tentu jangan lantas dimatikan dengan pertanyaan: berarti agama nomor sekian?
Saya hanya ingin menegaskan, ketika menyampaikan hal tersebut, Bung Karno sebagai tokoh bangsa, berdiri di atas semua anak bangsa, bukan sebagai wakil golongan tertentu, apalagi mewakili sebuah keluarga.
Pancasila sebagai pemersatu
Bagi saya, apa yang disampaikan oleh Bung Karno ini telah diwakafkan untuk bangsa ini, dan tak seorang pun berhak mengklaimnya menjadi miliknya sendiri, apalagi memonopoli tafsir. Pendekatan monopolistik ini akan justru menjadi bahan bakar pembelahan di tengah publik: kami dan mereka, minna wa minhum. Ini tidak sehat dalam praktik berbangsa yang beradab.
Tentu ini bertentangan dengan ide menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan aspirasi dan pemikiran publik. Selera dan tantangan zaman selalu berubah. Masa kini berbeda dengan masa silam. Masa depan sangat mungkin, untuk tidak mendahului Tuhan, berbeda dengan masa kini.
Apakah Pancasila masih mampu beradaptasi dengan perubahan? Saya personal, masih sangat optimis, bahwa nilai-nilai abadi yang terkandung di dalam Pancasila masih relevan. Tentu dengan tafsir-tafsir progresif yang sensitif dengan perubahan, dan tidak menjadikan Pancasila terkerangkeng di dalam sangkar waktu lampau yang menjadikannya usang.
Kita telah sepakat bahwa Pancasila adalah dasar negara kita Indonesia, yang tersusun atas komponen bangsa yang pernuh warna. Indonesia adalah negara perjanjian dan persaksian, darul ahdi wasy syahadah. Bagi saya, Pancasila adalah ibarat ikatan yang kuat, mitsaq ghalidl, dan dapat tetap aktual sebagai panduan dan rujukan dalam berbangsa dan bernegara.
Tanpa mengurangi rasa syukur atas capaian kolektif, daftar pekerjaan rumah bangsa ini di masa mendatang masih panjang. Kita bisa sebut beberapa. Di antaranya adalah ketimpangan, korupsi, intoleransi dan pembelahan bangsa, oligarkhi kuasa, kualitas demokrasi yang menurun, dan lain-lain.
Pekerjaan rumah ini dapat diperpanjang, termasuk mengikutikan isu-isu global yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan bersama sebagai warga bumi. Di antaranya adalah perubahan iklim, krisis energi dan bangan, konflik di banyak belahan pojok bumi, dan sebagainya.
Apakah Pancasila masih relevan menjadi basis dan rujukan di masa depan? Saya yakin kuliah umum yang akan diberikan oleh Bapak Dr. Yudi Latif akan mendiskusikan isu ini dengan tajam.
Sambutan pada pembukaan Kuliah Umum untuk mahasiswa baru program profesi, magister, dan doktor yang bertajuk “Pancasila dan Masa Depan Indonesia” oleh Yudi Latif, Ph.D. pada 5 November 2022.