Premis yang saya percaya sampai hari ini adalah bahwa perbedaan atau keragaman adalah kenicayaan. Keragaman adalah fakta sosial. Kita tidak mungkin menutup mata darinya. Bahkan, keragaman merupakan sunatullah. Dan, manusia diminta Allah untuk saling mengenal dengan baik (lita’arafu). Karena itulah, semua ikhtiar untuk menjadikan yang beragam menjadi seragam, akan “melawan” sunatullah.
Isunya tidak lagi bagaimana menyeragamkan, tetapi bagaimana menyikapinya keragaman. Penyeragaman dalam banyak kasus tidak operasional dan bahkan kontraproduktif.
Bagaimana jika terjadi perbedaan? Sikap kita terhadap keragaman bisa dibingkai dengan beberapa prinsip, termasuk berpikiran terbuka, saling memahami, dan saling menghormati.
Berpikiran terbuka
Sejarah mencatat bahwa Islam dapat berkembang dengan pesat karena keterbukaan sikap. Kehadirannya dapat bersanding dengan peradaban lain. Ketika Zaman Keemasan, misalnya sebagai ilustrasi, banyak ilmuwan non-muslim yang terlibat aktif di lembaga pengembangan ilmu pengetahuan, Baitul Hikmah.
Selain itu, pemahaman bahwa yang tidak semua yang berbeda selalu berdiri diametral, perlu kita lantangkan. Kita bisa bersama dalam perbedaan. Ini prinsip penting. Yang berbeda bisa jadi saling melengkapi atau saling menginspirasi.
Kita ambil beberapa contoh.
Apakah manusia selalu rasional? Beberapa teori berangkat dari premis ini, termasuk Teori Agensi. Tetapi ada teori lain yang memberikan ruang terhadap pendapat bahwa manusia tidak selalu rasional. Termasuk di dalamnya, Teori Institusional. Bahkan Dan Ariely, seorang ekonom perilaku melabelkan Preditably Irrational untuk judul bukunya yang memotret perilaku manusia.
Apakah keduanya bisa digabungkan? Sebagian ilmuwan mengatakan bisa, sebagian lain berpendapat berbeda. Tetapi, kedua teori ini dapat menjadi lensa analisis untuk konteks yang berbeda.
Bahkan pengembaraan pendek saya ke berbagai bacaan menemukan ada isomorfisme, kesamaan pola atau irisan, di banyak pemikiran dan bahkan disiplin. Konsep isomorfisme ini dikemukakan oleh von Bertalanffy, seorang biolog Austria, penggagas Teori Sistem Umum (General System Theory).
Kita mengenal model komunikasi yang melibatkan pengirim pesan, penerima pesan, dan derau (noise). Model ini dikembangkan oleh Berlo pada 1960. Apakah kita tahu, jika model ini berawal dari model matematika yang dikembangkan oleh Shannon pada 1948.
Atau jaringan syarat tiruan, model matematika yang dikembangkan oleh McCulloch dan Pitts (neurofisiolog dan ahli matematika) pada 1943, didasarkan pada cara kerja syarat secara biologis. Atau, algoritme genetika yang dikembangkan oleh Holland pada 1970an. Idenya algiritme pencarian berbasis populasi, ketika model deterministik terlalu mahal. Ada representasi gen atau kromosom di sana, seleksi, persilangan, dan mutasi.
Saling memahami dan menghormati
Ada kalanya sintesis terhadap beragam pemikiran tidak bisa dilakukan. Tidak masalah. Apalagi jika memang keduanya berpijak dari asumsi yang berbeda.
Jika ini yang terjadi, memupuk semangat saling memahami diperlukan. Kita dapat bersepakat dalam perbedaan.
Dalam konteks ini, yang bisa dilakukan adalah menemukan bingkai bersama yang menegaskan posisi masing-masing, termasuk mencari irisan sekecil apapun. Secara visual, hal ini dapat dilakukan dengan menggambarkannya dalam dalam kontinuum konsep, kontinuum waktu, diagram kartesian, tabel dua dimensi, atau bahkan diagram venn.
Saya yakin, hanya dengan saling memahami dengan tulus, semangat saling menghormati bisa muncul. Ujungnya adalah iklim yang kondusif untuk menghadirkan dialog yang produktif dan konstruktif. Berjalan bersama seperti ini bisa dilandasi kesadaran ilmiah yang anti kebenaran tunggal. Jika memang setiap pendapat mempunyai dasar dan argumen, beri ruang untuk diterima dan berkembang.
Yang demikian itu akan menjadi jalan untuk menghormati martabat atau karamah manusia lain. Dalam Islam, tidak boleh ada dalam beragama, apalagi sekedar memaksakan pendapat. Hanya dengan pendekatan ini, kemerdekaan manusia (termasuk kita) dijunjung tinggi, dan tentu saja setiap pilihan mempunyai konsekuensi masing-masing.
Sambutan pada bedah buku Agama, Filsafat, dan Ilmu Pengetahuan yang digelar oleh Program Studi Hukum Islam Program Doktor Universitas Islam Indonesia pada 29 Juni 2022.