Saya berharap, bekal yang Saudara kumpulkan ketika kuliah sudah cukup untuk menapaki dunia berkarya, baik dengan membuka usaha sendiri, bekerja di lembaga yang sudah ada, maupun melanjutkan studi. Meski demikian, lingkungan terus berubah. Perubahan membutuhkan kecakapan yang lebih tinggi dan bahkan kecakapan baru. Karenanya, semangat untuk terus belajar harus terus dihidupkan.
Di satu sisi, Saudara adalah individu yang terus berusaha untuk mendapatkan kehidupan yang terbaik, tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga untuk orang banyak. Namun di sisi lain, pada saat yang sama, Saudara adalah anggota masyarakat yang merupakan bagian anak bangsa.
Karenanya, kesadaran kebangsaan pun terus juga diperihara. Selalulah bertanya kepada diri sendiri tentang apa yang bisa Saudara kontribusikan untuk kebaikan bangsa ini. Bisa mulai dari hal kecil, sampai sangat besar pada saatnya nanti.
Di kesempatan ini, saya ingin mengajak Saudara melakukan refleksi bersama. Masih banyak pekerjaan rumah kolektif yang perlu mendapatkan perhatian.
Beberapa di antaranya terkait dengan ketimpangan di banyak sektor, korupsi yang seakan tak ada habisnya, kelestarian lingkungan yang semakin terancam, sampai dengan ancaman keterbelahan bangsa sebagai residu proses politik yang belum dewasa.
Kita tidak mungkin hanya menyerahkan masalah ini kepada negara, meski di beberapa masalah, negara harus hadir dengan nyata. Tetapi, kita pun secara kolektif bisa berkontribusi.
Mari kita lihat, apa yang bisa kita kontribusikan untuk masalah-masalah tersebut. Namun, dalam tulisan ringkas ini, saya hanya ingin berfokus pada satu saja: ancaman keterbelahan bangsa.
Keterbelahan bangsa
Residu dari proses politik beberapa tahun terakhir telah menggiring banyak bangsa di dunia kepala keterbelahan atau polarisasi. Indonesia tak terkecuali. Dan, bisa jadi kita menjadi bagian dari proses ini, meski kadang tidak menyadari, atau dengan jemawa, bahkan justru membuat beragam dalih untuk membenarkan. Opini dan perasaan lebih dikedepankan dibandingkan fakta. Inilah era pascakeberanan.
Fenomena ini memantik kesadaran bersama, ternyata banyak yang dari kita belum siap berdemokrasi secara dewasa. Meski sebagian dari pasti dipastikan langsung bersuara tinggi dan tidak rela jika dianggap demikian.
Berdemokrasi secara dewasa membutuhkan beragam prasyarat, termasuk kemampuan berpikir mandiri dan tidak terjebak narasi publik, serta siap berbeda pendapat dengan tetap menghargai pihak lain. Hanya dengan demikian, persatuan bangsa dapat dijada dan energi bangsa tidak bocor karena sesuatu yang kurang bermakna.
Kehadiran media sosial tidak bisa kisa pisahkan dari fenomena keterbelahan bangsa. Karenanya, saya mengajak Saudara untuk memikirkan beberapa isu berikut.
Memahami penyebab
Media sosial memungkinkan kepalsuan pengguna dan informasi. Siapapun bisa membuat akun dan membuat serta menyebarkan informasi. Termasuk kita. Sebuah pesan bersirkulasi dengan cepat tanpa bisa dikendalikan setelah diunggah.
Di waktu lampau, yang menantang adalah mendapatkan informasi. Saat ini, sebaliknya, informasi melimpah. Tantangan berubah, yaitu menyaring informasi. Karenanya, saya mengajak Saudara untuk peduli dengan masalah ini. Jadikan pegguna media sosial yang cerdas dan menjadikan etika sebagai pengendali. Bisa jadi, peran ini terkesan kecil, tetapi jika dilakukan secara kolektif, dampaknya bisa luar biasa.
Mengapa? Gerakan kolektif bisa mengubah bagaimana algoritme media sosial bekerja yang salah satunya mengandalkan algoritme rekomendasi (recommendation algorithm). Suara yang lantang, seperti yang disimbolkan oleh trending topics atau trending hashtags, akan mempengaruhi yang lain.
Algoritme rekomendasi, melalui gelembung tapis (filter bubble), jugalah yang menjadikan kita terpapar informasi yang sudah terpilih berdasar perilaku daring lampau dan profil kita. Jangan heran, misalnya, jika hari ini kita mengetikkan “sepatu kulit” di mesin pencarian sebuah platform media sosial, dalam beberapa hari ke depan, tawaran sepatu kulit akan membanjir. Gelembung tapis telah memilihkan informasi untuk kita.
Hal ini bukan tanpa masalah dalam konteks berbangsa. Inilah juga yang menjadikan jurang keberbelahan semakin menganga, karena kita hanya akan diberi informasi yang sesuai dengan prekonsepsi awal kita, dan paparan terhadap informasi dengan perspektif lain menjadi sangat terbatas.
Sebuah ruang gema (echo chamber) terbentuk. Kita hanya mendengarkan “suara kita” sendiri, atau suara yang sama dengan suara kita. Kita pun akhirnya terjebak pada bias konfirmasi yang menjadikan kita hanya percaya dengan informasi yang sesuai dengan yang kita yakini sebelumnya.
Saudara, kesadaran seperti di atas perlu kita ingat terus untuk menjadi warga negara yang dewasa, pemikir mandiri yang berani bersikap, tidak menjadi buih yang terombang-ambing ombak narasi publik, dan sekaligus sanggup hidup dalam harmoni meski berbeda pilihan.
Ringkasan sambutan pada acara wisuda doktor, magister, sarjana, dan diploma Universitas Islam Indonesia, pada 30 Juli 2022