Setiap bangsa mempunyai takdirnya masing-masing. Dalam lintasan takdir tersebut, ada pasang dan surutnya. Ada pencapaian yang perlu dirayakan, dan juga krisis yang perlu ditangkis. Krisis dapat disebabkan faktor eksternal, seperti serangan negara lain, atau juga gejolak internal, seperti gejolak politik domestik.
Sebagian krisis terjadi secara tiba-tiba, sisanya bertahap. Sebagian bangsa bisa keluar dari krisis dengan cepat, sebagian lain berjuang untuk waktu yang lebih lama.
Perjuangan beragam bangsa untuk keluar dari krisis ini didokumentasikan dengan ciamik dalam buku Upheaval: Turning Points for Nations in Crisis, karya Jared Diamond (2019).
Di sana ada kisah kebangkitan Finlandia setelah diserang Soviet dan narasi transformasi di Jepang selepas kekalahannya pada Perang Dunia Kedua. Ada juga di dalamnya, cerita tentang kebangkitan Indonesia bakda percobaan kudeta pada 1965 dan juga pengalaman Chile sehabis mengalami masalah domestik terkait dengan kudeta militer. Di bagian akhir buku, juga dikisahkan bagaimana Jerman dan Australia bangkit dari krisis yang terjadi secara perlahan.
Saat ini, krisis masih berlangsung, di beberapa negara. Bahkan, krisis bisa terjadi lintasnegara alias mengglobal. Termasuk di antaranya terkait dengan ketidakadilan, imigrasi lintasnegara karena konflik, pasokan energi yang semakin terbatas, manajemen sumber daya alam, perubahan iklim, dan juga polarisasi karena faktor politik.
Krisis Afghanistan?
Saya menduga apa yang terjadi di Afghanistan dapat dimasukkan ke dalam situasi krisis. Dan, ini sudah berlangsung lama. Meski, sebagian orang mungkin menganggapnya berbeda.
Pengambilalihan kekuasan oleh Taliban pada September 2021 menjadi babak baru. Apakah ini menjadi akhir krisis? Tak seorang pun tahu.
Yang jelas, pembacaan kita pada narasi yang beredar, membuat kita berpikir agak mendalam. Misalnya, dengan kata kunci Afghanistan di laman majalah bergengsi Foreign Affairs, saya temukan 271 entri. Tidak semuanya baru. Tetapi, di antara tulisan yang baru, perspektif yang diangkat tidak menggambarkan optimisme. Tulisan pada 8 Desember 2022, sebagai contoh, berjudul When terrorists govern dengan kalimat pengawal artikel “The Taliban’s takeover is inspiring other jihadis”. Tulisan yang lebih mutakhir yang terbit pada 28 Maret 2022, bertajuk The Taliban have not moderated dan diikuti dengan kalimat pembuka “An extremist regime is pushing Afghanistan to the brink”.
Saya juga memeriksa kanal majalah lain, The Economist. Tulisan pada 29 Januari 2022 mengusung hasil survei, dan diberi judul agak panjang: Afghans are more pessimistic about their future than ever, yang dibuka dengan penjelasan ringkas “A new survey paints a grim picture of life under the Taliban”. Atau, yang lebih hangat, pada 14 Mei 2022 sebuah tulisan yang ditayangkan berjudul: The Taliban crave recognition but refuse to do anything to earn it dan dengan kalimat pengawal artikel: “Afghanistan’s neighbours are wondering how on earth to deal with it”. Puluhan kepala berita lainnya juga mengusung tema senada: pesimisme.
Semua kisah tersebut kelabu. Ini bisa menjadi salah satu pertanda krisis, ketika kepercayaan menurun atau paling tidak dipersepsikan sedang menurun.
Merawat optimisme
Pengatasan atas krisis harus dimulai dengan pengakuan akan keberadaanya, yang diteruskan dengan menerima tanggung jawab, dan bukan berlagak menjadi korban dan terus menerus menyalahkan pihak lain. Aksi ini, kemudian, dikuti membuat pagar dengan melakukan perubahan selektif dan juga bisa jadi meminta bantuan negara lain, plus menggunakan pengalaman negara lain sebagai cermin (Diamond, 2019).
Tampaknya, Indonesia, dapat hadir, terutama di bagian akhir ini, untuk memberikan bantuan dan juga menjadi model pembentukan harmoni bangsa yang majemuk. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat diterima oleh faksi-faksi yang bertikai di sana.
Namun demikian, saya masih berkeyakinan, ada banyak kisah optimisme di sana, yang bisa jadi karena satu atau lain hal, belum atau bahkan tidak dimunculkan oleh media. Kekuatan media dengan keleluasaannya memilih sudut pandang, sangat mempengaruhi kita dalam memandang sebuah peristiwa.
Terkait dengan isu ini, kita dapat belajar dari perspektif Edward Said (1978) yang tertuang dalam buku terkenalnya, Orientalism. Di dalamnya, Said membahas bagaimana media Barat membingkai Timur. Dunia Islam termasuk di dalamnya. Krisis pun bisa dengan sengaja dibuat oleh kelompok tertentu. Apa yang terjadi di film, seperti Tomorrow Never Dies, bukan lagi isapan jempol, meski hadir dalam bentuknya yang berbeda.
Terlepas dari beragam cerita pengikutnya, termasuk intervensi negara lain, sebuah bangsa memang harus mendesain masa depan dan memilih takdir sendiri, dengan ikhtiar terbaik.
Referensi
Diamond, J. (2019). Upheaval: Turning points for nations in crisis. New York: Little, Brown and Co.
Said, E. W. (1978). Orientalism. London: Routledge.
Sambutan pembuka pada Ambassadorial Lecture oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Afghanistan Dr. Arief Rachman M.D., pada 9 Juni 2022.