Pertama, saya ingin memberikan selamat kepada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia yang terus menjaga dedikasikan dalam menyelenggarakan the 6th Conference on Communication, Culture, and Media Studies (CCCMS 2022) ini, mulai enam tahun lalu.
Konferensi sangat penting untuk mempresentasikan temuan-temuan penting riset dan menguatkan komunitas akademik. Bagi saya, konferensi merupakan ritual akademik yang akan menguatkan eksistensi sebuah disiplin.
Tema yang diangkat dalam CCMS 2022 ini, visualizing the crisis, bagi saya, sangat penting dan menarik. Dua kata kuncinya, visualisasi dan krisis, sangat relevan untuk saat ini.
Kini, visualisasi data sudah menjadi bagian keseharaian kita dalam mengosumsi informasi. Kita mengosumsi informasi dari visualisasi yang muncul di beragam media, termasuk koran/majalah, televisi, dan Internet.
Sudah lama dipercaya bahwa kita akan mencerna informasi lebih cepat jika ditayangkan dalam bentuk visual dan kita akan cenderung mengingatkan lebih lama. Visualisasi seakan sudah menjadi mantra baru dalam presentasi data.
Dalam sambutan pembuka ringkas ini, saya ingin mengundang untuk memberikan perhatian kepada sisi lain visualisasi. Seperti halnya teknologi yang lain, visualisasi juga hadir dengan sisi baik dan buruknya. Seringkali, sebagian besar perhatian kita berikan kepada sisi positifnya. Kali ini, saya ingin mengajak untuk menengok sisi negatifnya.
Tentu, ini bukan untuk menyebar pesimisme, tetapi justru saya ingin memberikan ajakan untuk menghindari jebakan berpikir naif, dan di saat yang sama, melengkapi cerita visualisasi menjadi lebih utuh.
Kecohan visualisasi
Ada beberapa kecohan (fallacies) dalam interpretasi terhadap visualisasi data. Mari kita ambil sebuah contoh.
Silakan amati peta dunia dua dimensi. Bandingkan ukuran benua Australia yang terletak di sisi kanan bawah peta, dan pulau Greenland, bagian negara Denmark, yang terletak di sisi kiri atas peta.
Berdasar amatan visual, tampaknya tidak sulit untuk bersepakat jika ukuran Greenland tiga kali lebih besar dibandingkan dengan Australia. Tetapi fakta di lapangan tidak demikian halnya. Faktanya justru sebaliknya. Ukuran Australia lebih besat tidak kali lipat dibandingkan dengan Greenland.
Mengapa demikian? Sebagian dari kita mungkin lupa jika proyeksi Mercator dalam menjadikan peta di atas globe menjadi dua dimensi telah menjadikan wilayah yang mendekati kutub menjadi tergambar lebih besar. Sementara itu, wilayah yang berada di sepanjang garis khatulistiwa berukuran proporsional. Negara-negara Eropa, misalnya menjadi terlihat lebih besar.
Tanpa pemahaman yang baik soal beragam proyeksi dalam membuat peta dua dimensi, maka kita sangat mungkin menjadi “salah” dalam membaca peta dunia.
Sebagai sebuah artefak visual, peta dapat menjadi senjata imperialisme, seperti halnya senjata dan kapal perang. Ketika peta digunakan untuk mendukung kolonialisme, dan wilayah jajahan diklaim di atas dahulu sebelum betul-betul ditaklukkan, maka peta telah mendahului imperium, wilayah kekuasaan. Peta, karenanya, mempunyai hubungan yang kuat dengan pengetahuan, yang akhirnya dengan kekuasaan. Inilah kekuatan visualisasi.
Manipulasi persepsi
Dalam visualisasi, persepsi kita dapat dimanipulasi dengan beragam cara, termasuk misalnya, mengabaikan nilai basis dan memanipulasi sumbu y dalam diagram kartesian, menggunakan diagram yang salah, dan memilih data secara selektif dengan pertimbangan tertentu.
Sebagai contoh, perbedaan kedua seri data menjadi tidak berbeda ketika diagram batang hanya diambil puncaknya dan menjadikan sumbu y tidak mulai dari angka nol. Atau, kecenderungan data yang menurun bisa diubah menjadi menaik hanya dengan memilih beberapa titik data yang menguntungkan. Semuanya bisa mengarah kepada interpretasi yang salah.
Kita bisa jadi merasa kesulitan membayangkan visualisasi paragraf di atas. Ini sekaligus menjadi bukti kekuatan visualisasi yang tidak mudah digantikan dengan teks.
Karenanya, selain dapat membantu kita dalam memahami informasi dengan lebih baik, kita harus sadar bahwa visualisasi, di saat yang sama, juga bisa digunakan sebagai kakas atau alat bantu untuk kebohongan melalui manipulasi persepsi.
Jangan-jangan, tanpa sadar, kita juga sering membuat interpretasi yang salah dari visualisasi data, yang dibuat baik tanpa pengetahuan yang cukup, atau yang lebih menakutkan, karena didasari niat yang “jahat” untuk mengecoh.
Elaborasi ringan dari poin-poin dalam sambutan pembuka (yang diindonesiakan) pada The 6th Conference on Communication, Culture, and Media Studies (CCCMS 2022), yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia pada 14 Juni 2022.