Indonesia dibangun di atas keragaman yang ditenun oleh para pendiri bangsa, yang mengedepankan persamaan dan mengesampingkan perbedaan. Semuanya dilakukan dengan kesadaran tinggi, dan bisa jadi dilakukan dengan menurunkan “harga diri” sebagai ikhtiar untuk membuat ruang kolektif yang saling menguatkan.
Prosesnya tentu panjang dan tidak selalu mudah. Bahkan, sampai hari ini, sebagian anak bangsa masih terus menggugat proses kebangsaan yang agung itu.
Pancasila merupakan salah satu kristalisasinya. Ia lahir dari dialog serius para negarawan yang sudah paripurna dengan dirinya. Karenanya, mereka tidak pernah mengklaim bahwa Pancasila lahir dari dirinya saja. Ada proses sintesis saling mengisi di sana.
Pancasila adalah simpul bangsa, ikatan yang kuat, mitsaq ghalidh. Karenanya, setiap upaya yang melemahkan simpul ini, perlu disikapi dengan serius.
Mencari sebab
Tapi mengapa selalu saja ada pihak yang ingin melemahkan? Pertanyaan ini memerlukan jawaban yang lugas, supaya akar masalahnya terurai dan formulasi solusinya tepat sasaran.
Pertama, apakah karena pemahaman kebangsaan yang mengabaikan sejarah lampau? Betul, sejarah memang kita yang menulis, tetapi di sana ada nilai yang ditanamkan. Selama yang ditanam nilai-nilai abadi, seperti keadilan, kejujuran, kesetaraan, maka sejarah tetap perlu diyakini. Ia adalah pijakan untuk mengisi masa kini dan masa depan.
Sayangnya, memori kolektif kita ini berusia pendek. Apalagi di era kemelimpahan informasi yang tidak mudah disaring. Beragam versi sejarah pun bisa muncul dengan mudah.
Sejarah mana yang dipercaya? Sejarah yang manusiawi. Sejarah yang mencatat aktor-aktornya secara wajar dan mempercayai setiap pencapaian merupakan ikhtiar kolektif. Bisa jadi ada tokoh kunci, tetapi itu tidak lantas menjadi alasan menafikan pihak lain. Sejarah harus bersifat kolektif, tanpanya, kesaktian yang dimilikinya untuk menyatukan bangsa ini akan sirna.
Kedua, apakah juga karena pemahaman keagamaan yang sempit? Sangat mungkin terjadi. Eksposur terhadap keragaman tafsir dan pemikiran, karenanya, menjadi penting. Al-Quran dan Hadis, dalam konteks Islam, terbuka untuk selalu dibaca. Setiap pembacaan sangat mungkin memberikan pemahaman baru.
Pesan-pesan seperti perlu dilantangkan. Tidak harus secara vulgar atau ada semacam pesan sponsor. Pemahaman Islam wasyatiyah, proporsional, dan condong kepada keadilan, merupakan yang paling jamak di Indonesia. Hanya saja, bisa jadi, pesannya kurang dilantangkan.
Islam ini kadang ditempeli label untuk menggalang dukungan, menguatkan ikatan, dan memobilisasi gerakan. Labelnya pun beragam. Sebagian bahkan tanpa label. Karena di luaran sana, label kadang membuat orang alergi, sehingga menjadi sekat untuk saling berkomunikasi, meski yang diharapkan tidak demikian.
Hal ini menantang. Bagaimana nilai-nilai proporsionalitas dalam beragama ini tetap lantang, bahkan tanpa label apapun. Karena inilah yang kita yakini sebagai tafsir yang berdasar kuat dan masuk akal.
Selanjutnya, ketiga, ataukah pemahaman keberagamaan sempit ini menyebar di kelompok dengan karakteristik tertentu yang dominan? Kelompok dengan tingkat pendidikan, kesejahteraan, komunitas, akses informasi, pengalaman lampau, kepentingan politik, atau karakteristik tertentu lainnya. Informasi seperti ini penting untuk merumuskan program intervensi.
Sangat mungkin gerakan pelemah simpul bangsa ini tidak berdiri sendiri. Kelompok pendukungnya punya alasan tertentu. Apakah itu terkait dengan kesejahteraan yang timpang, amanah yang terkhianati, keadilan yang tergadai, atau yang lainnya? Ini merupakan pekerjaan rumah yang perlu mendapatkan jawaban serius.
Peran pendidikan
Bagaimana dengan peran pendidikan atau edukasi publik? Hal ini penting dibahas, termasuk strateginya. Penanaman nilai-nilai merupakan hal yang menantang. Apalagi di era seperti sekarang.
Pertama, saya melihat, penanaman nilai, termasuk nilai-nilai Pancasila, tidak bisa seperti mengisi air ke botol dengan corong, semacam pencekokan. Anak didik akan kedodoran dalam mengikuti dan termasuk ada kemungkinan tidak bisa menerima.
Menanamkan nilai ibarat menyuntikkan obat melalui selang infus. Pelan, butuh waktu untuk meresap, dan penerimanya tidak memberi penolakan. Kesadaranlah yang disasar.
Argumentasi dengan beragam ilustrasi yang membuat orang terlibat dalam diakusi sangat penting. Rasionalitas manusia perlu dimuliakan. Dampaknya bisa sangat dahsyat: internalisasi nilai yang kuat.
Penanaman nilai tidak bisa secara vulgar. Apalagi jika yang diinginkan adalah internalisasi. Kevulgaran hanya akan memberikan hasil instan yang bersifat superfisial. Kenyataannya tidak seindah tampilkan pada unggahan media sosial yang penuh kepalsuan.
Belum lagi, ada kemungkinan penolakan. Apalagi dengan tambahan label: minna wa minhum, kelompok kita dan kelompok mereka, yang dideklarasikan publik, termasuk di media sosial. Penyematan label seperti ini berpotensi membelah dan tidak produktif untuk merangkul dan menyatukan.
Kedua, dalam penanaman nilai jangan sampai mempertentangkan Pancasila dengan agama. Ini bukan semata soal sensitif, tetapi pemahaman yang mempertentangkan keduanya, juga merupakan bukti literasi sejarah kebangsaan yang rendah.
Seharusnya tidak sulit bagi seorang muslim untuk memahami bahwa nilai-nilai Pancasila sepenuhnya kompatibel dengan ajaran agama. Saya juga termasuk yang yakin, kesadaran keberagamaan yang mendalam dari para penggagasnya sangat mempengaruhi kelahirannya.
Ketika pendekatan pertentangan dipertontonkan, maka jangan heran jika mereka yang mencintai agamanya, maka menjaga jarak dengan Pancasila.
Kan, tidak semuanya begitu? Lagi-lagi, ini cara “ngeles” yang membahayakan dalam menjaga keutuhan bangsa. Tentu ini bukan yang diinginkan.
Terakhir, negara ibarat orang tua, penyayom semua anak bangsa, bahkan termasuk yang nakal sekalipun. Anak nakal tidak lantas diusir dari rumah yang akhirnya dirawat orang lain yang nilainya mungkin tidak kongruen atau kompatibel dengan kita.
Anak nakal perlu disadarkan. Kadang cukup dinasihati, kadang dicubit, kadang dijewer, atau bahkan ditraktir dulu supaya hatinya menjadi lunak, sebelum nilai baru dimasukkan. Semua tindakan harus didasarkan pada hukum yang berlaku dan selalu memuliakan manusia.
Wallahualam bissawab.
Elaborasi ringan dari poin-poin yang saya sampaikan pada diskusi kelompok terpumpun di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, pada 5 Juni 2022.