Pada gelaran pertandingan badminton hari ketiga peringatan Milad UII ke-79, Kamis (23/6), tersaji partai perebutan juara ketiga dari tim putra dan tim putri di Gedung Olahraga (GOR) Ki Bagoes Hadikoesoema. Perwakilan untuk tim putra dan tim putri sama-sama mempertemukan Fakultas Teknologi Industri (FTI) dan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP).

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Direktorat Pengembangan dan Pembinaan Kewirausahaan/Simpul Tumbuh (DPPK/ST) fokus mengawal pertumbuhan startup binaan di lingkungan universitas. Hal tersebut sebagai tergambar dalam Press Conference Pengembangan Ekosistem Inovasi dan Teknologi melalui Program CPPBT di Gedung Simpul Tumbuh, kampus terpadu UII pada Kamis (23/06).

Read more

Indonesia dibangun di atas keragaman yang ditenun oleh para pendiri bangsa, yang mengedepankan persamaan dan mengesampingkan perbedaan. Semuanya dilakukan dengan kesadaran tinggi, dan bisa jadi dilakukan dengan menurunkan “harga diri” sebagai ikhtiar untuk membuat ruang kolektif yang saling menguatkan.

Prosesnya tentu panjang dan tidak selalu mudah. Bahkan, sampai hari ini, sebagian anak bangsa masih terus menggugat proses kebangsaan yang agung itu.

Pancasila merupakan salah satu kristalisasinya. Ia lahir dari dialog serius para negarawan yang sudah paripurna dengan dirinya. Karenanya, mereka tidak pernah mengklaim bahwa Pancasila lahir dari dirinya saja. Ada proses sintesis saling mengisi di sana.

Pancasila adalah simpul bangsa, ikatan yang kuat, mitsaq ghalidh. Karenanya, setiap upaya yang melemahkan simpul ini, perlu disikapi dengan serius.

 

Mencari sebab

Tapi mengapa selalu saja ada pihak yang ingin melemahkan? Pertanyaan ini memerlukan jawaban yang lugas, supaya akar masalahnya terurai dan formulasi solusinya tepat sasaran.

Pertama, apakah karena pemahaman kebangsaan yang mengabaikan sejarah lampau? Betul, sejarah memang kita yang menulis, tetapi di sana ada nilai yang ditanamkan. Selama yang ditanam nilai-nilai abadi, seperti keadilan, kejujuran, kesetaraan, maka sejarah tetap perlu diyakini. Ia adalah pijakan untuk mengisi masa kini dan masa depan.

Sayangnya, memori kolektif kita ini berusia pendek. Apalagi di era kemelimpahan informasi yang tidak mudah disaring. Beragam versi sejarah pun bisa muncul dengan mudah.

Sejarah mana yang dipercaya? Sejarah yang manusiawi. Sejarah yang mencatat aktor-aktornya secara wajar dan mempercayai setiap pencapaian merupakan ikhtiar kolektif. Bisa jadi ada tokoh kunci, tetapi itu tidak lantas menjadi alasan menafikan pihak lain. Sejarah harus bersifat kolektif, tanpanya, kesaktian yang dimilikinya untuk menyatukan bangsa ini akan sirna.

Kedua, apakah juga karena pemahaman keagamaan yang sempit? Sangat mungkin terjadi. Eksposur terhadap keragaman tafsir dan pemikiran, karenanya, menjadi penting. Al-Quran dan Hadis, dalam konteks Islam, terbuka untuk selalu dibaca. Setiap pembacaan sangat mungkin memberikan pemahaman baru.

Pesan-pesan seperti perlu dilantangkan. Tidak harus secara vulgar atau ada semacam pesan sponsor. Pemahaman Islam wasyatiyah, proporsional, dan condong kepada keadilan, merupakan yang paling jamak di Indonesia. Hanya saja, bisa jadi, pesannya kurang dilantangkan.

Islam ini kadang ditempeli label untuk menggalang dukungan, menguatkan ikatan, dan memobilisasi gerakan. Labelnya pun beragam. Sebagian bahkan tanpa label. Karena di luaran sana, label kadang membuat orang alergi, sehingga menjadi sekat untuk saling berkomunikasi, meski yang diharapkan tidak demikian.

Hal ini menantang. Bagaimana nilai-nilai proporsionalitas dalam beragama ini tetap lantang, bahkan tanpa label apapun. Karena inilah yang kita yakini sebagai tafsir yang berdasar kuat dan masuk akal.

Selanjutnya, ketiga, ataukah pemahaman keberagamaan sempit ini menyebar di kelompok dengan karakteristik tertentu yang dominan? Kelompok dengan tingkat pendidikan, kesejahteraan, komunitas, akses informasi, pengalaman lampau, kepentingan politik, atau karakteristik tertentu lainnya. Informasi seperti ini penting untuk merumuskan program intervensi.

Sangat mungkin gerakan pelemah simpul bangsa ini tidak berdiri sendiri. Kelompok pendukungnya punya alasan tertentu. Apakah itu terkait dengan kesejahteraan yang timpang, amanah yang terkhianati, keadilan yang tergadai, atau yang lainnya? Ini merupakan pekerjaan rumah yang perlu mendapatkan jawaban serius.

 

Peran pendidikan

Bagaimana dengan peran pendidikan atau edukasi publik? Hal ini penting dibahas, termasuk strateginya. Penanaman nilai-nilai merupakan hal yang menantang. Apalagi di era seperti sekarang.

Pertama, saya melihat, penanaman nilai, termasuk nilai-nilai Pancasila, tidak bisa seperti mengisi air ke botol dengan corong, semacam pencekokan. Anak didik akan kedodoran dalam mengikuti dan termasuk ada kemungkinan tidak bisa menerima.

Menanamkan nilai ibarat menyuntikkan obat melalui selang infus. Pelan, butuh waktu untuk meresap, dan penerimanya tidak memberi penolakan. Kesadaranlah yang disasar.

Argumentasi dengan beragam ilustrasi yang membuat orang terlibat dalam diakusi sangat penting. Rasionalitas manusia perlu dimuliakan. Dampaknya bisa sangat dahsyat: internalisasi nilai yang kuat.

Penanaman nilai tidak bisa secara vulgar. Apalagi jika yang diinginkan adalah internalisasi. Kevulgaran hanya akan memberikan hasil instan yang bersifat superfisial. Kenyataannya tidak seindah tampilkan pada unggahan media sosial yang penuh kepalsuan.

Belum lagi, ada kemungkinan penolakan. Apalagi dengan tambahan label: minna wa minhum, kelompok kita dan kelompok mereka, yang dideklarasikan publik, termasuk di media sosial. Penyematan label seperti ini berpotensi membelah dan tidak produktif untuk merangkul dan menyatukan.

Kedua, dalam penanaman nilai jangan sampai mempertentangkan Pancasila dengan agama. Ini bukan semata soal sensitif, tetapi pemahaman yang mempertentangkan keduanya, juga merupakan bukti literasi sejarah kebangsaan yang rendah.

Seharusnya tidak sulit bagi seorang muslim untuk memahami bahwa nilai-nilai Pancasila sepenuhnya kompatibel dengan ajaran agama. Saya juga termasuk yang yakin, kesadaran keberagamaan yang mendalam dari para penggagasnya sangat mempengaruhi kelahirannya.

Ketika pendekatan pertentangan dipertontonkan, maka jangan heran jika mereka yang mencintai agamanya, maka menjaga jarak dengan Pancasila.

Kan, tidak semuanya begitu? Lagi-lagi, ini cara “ngeles” yang membahayakan dalam menjaga keutuhan bangsa. Tentu ini bukan yang diinginkan.

Terakhir, negara ibarat orang tua, penyayom semua anak bangsa, bahkan termasuk yang nakal sekalipun. Anak nakal tidak lantas diusir dari rumah yang akhirnya dirawat orang lain yang nilainya mungkin tidak kongruen atau kompatibel dengan kita.

Anak nakal perlu disadarkan. Kadang cukup dinasihati, kadang dicubit, kadang dijewer, atau bahkan ditraktir dulu supaya hatinya menjadi lunak, sebelum nilai baru dimasukkan. Semua tindakan harus didasarkan pada hukum yang berlaku dan selalu memuliakan manusia.

Wallahualam bissawab.

 

Elaborasi ringan dari poin-poin yang saya sampaikan pada diskusi kelompok terpumpun di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, pada 5 Juni 2022.

Partai semifinal badminton putra dan putri tersaji pada Rabu (22/6) di Gedung Olahraga (GOR) Ki Bagoes Hadikoesoemo. Untuk tim putra, secara keseluruhan partai akan digelar dengan nomor ganda. Sementara untuk tim putri dengan nomor tunggal dan ganda. Partai pertama mempertemukan perwakilan Tim Putri Rektorat Universitas Islam Indonesia (UII) dan Fakultas Teknik Sipil Perencanaan (FTSP). Pertandingan dilakukan dengan sistem beregu diawali dengan tunggal putri lalu ganda putri.

Read more

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Ilya Marsya Rohila, Mahasiswa Farmasi Universitas Islam Indonesia (UII) meraih penghargaan sebagai Duta Kosmetik Aman Terbaik Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diadakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Read more

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Ulil Albab Habibah, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) terpilih menjadi juara 3 (tiga) dari 95 karya feature pada Kompetisi Ramadan Fair UII 2022. Dalam lomba menulis tingkat SMA dan Mahasiswa se-Indonesia ini, ia mengangkat judul feature “Kyai Amin, 20 Tahun Mengabdi Tanpa Gaji”. Awarding UII Ramadan Fair disiarkan melalui channel YouTube dan Instagram UII pada Jumat (10/6).

Read more

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Memperingati Hari Koperasi ke-75 Dinas Perindustrian, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Kota Yogyakarta mengadakan Lomba Tangkas Terampil Perkoperasian (LTTP), pada Kamis (19/5) di Ayola Tasneem Yogyakarta. Peserta lomba merupakan siswa dari SMP, SMA/SMK, dan mahasiswa di Perguruan Tinggi. Setiap tim mengirimkan dua orang perwakilan dan didampingi satu orang pendamping.

Read more

Mindset

Kesehatan mental menjadi salah satu kunci seseorang meraih hidup bahagia. memiliki mental yang sehat akan membuat seseorang cenderung berpikir positif akan berbagai hal. Sebaliknya, seseorang yang memiliki masalah pada mental biasanya memiliki kecenderungan untuk lebih mudah menyikapi suatu tindakan dengan perasaan negatif dan pikiran yang kacau.

Read more

Sejarah panjang manusia memberikan pelajaran penting kepada kita, bahwa tidak ada bangsa atau peradaban di muka bumi ini yang mampu berkembang dan berkemajuan tanpa dukungan sumber daya manusia yang mumpuni. Manusia adalah aktor peradaban yang menavigasi setiap perubahan. Kemampuan manusia dalam memahami lingkungannya serta merespons setiap perubahan dengan tepat dan cepat, dalam konteks ini, sangat penting.

Sumber daya manusia yang mumpuni tak mungkin lahir tanpa pendidikan berkualitas. Rumus ini valid untuk semua konteks, tak terkecuali Indonesia. Karenanya, mendiskusikan dan mengawal pendidikan menjadi sangat kritikal untuk kemajuan sebuah bangsa.

 

Dua masalah

Refleksi atas kondisi mutakhir di Indonesia, paling tidak memunculkan dua isu besar pendidikan nasional yang masih menyisakan pekerjaan rumah kolektif yang harus terus memerlukan perhatian bersama.

Isu pertama terkait dengan kualitas pendidikan. Beragam data yang bisa kita akses mendukung kesimpulan yang tidak mengenakkan ini. Kualitas pendidikan Indonesia, jika dibandingkan dengan bangsa lain dalam beberapa indikator, juga belum menggembirakan.

Kualitas ini bisa terkait dengan banyak aspek, mulai dari hulu sampai hilir. Termasuk di antaranya adalah kebijakan yang jelas dan bebas kepentingan jangka pendek, kualitas pengawal proses pembelajaran, kelengkapan infrastruktur dan fasilitas, sampai dengan kualitas dan koherensi materi pembelajaran untuk semua jenjang.

Pemerataan akses atau kesempatan adalah isu yang kedua. Memperoleh pendidikan yang berkualitas adalah hak seluruh anak bangsa, tak terkecuali. Karenanya, ketersebaran geografik, keterjangkauan biaya, dan ketersediaan kapasitas/kursi perlu mendapatkan perhatian serius. Negara harus hadir di sini.

Ketika negara belum sanggup karena keterbatasan kapasitas, kehadiran masyarakat dalam membantunya, perlu disambung hangat dan dirayakan. Bukan justru sebaliknya, dipersulit dengan kekangan regulasi yang menyita ruang inovasi.

Mereka juga anak kandung yang perlu mendapatkan perhatian seperti halnya lembaga pendidikan yang sepenuhnya atau sebagian besar dibiayai oleh negara. Tentu, itu bukan soal di atas kertas, tetapi mewujud nyata di lapangan.

Itu semua tidak mungkin tanpa dukungan anggaran yang cukup dari negara. Alokasi anggaran yang masuk akal, penggunaan yang tepat sasaran dan bebas kebocoran menjadi sangat penting. Apalagi ketika anggaran yang ada bahkan masih terbatas.

 

Tantangan zaman

Potret di atas perlu dilengkapi dengan peneropongan masa depan. Setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing. Apa yang valid dan cukup di masa lalu, belum tentu relevan untuk masa kini. Demikian juga untuk masa depan.

Karenanya, untuk merespons perubahan yang sangat cepat dan menyiapkan diri untuk masa depan, perlu dilakukan beragam upaya. Peta jalan yang digariskan Unesco pada 2020, dalam laporan bertajuk Education for Sustainable Development, dapat menjadi rujukan awal. Tentu dengan tetap membuka ruang kontekstualisasi.

Kesadaran akan pentingnya pembangunan yang berkelanjutan menjadi pijakan dalam mendesain peta jalan. Terdapat empat area prioritas, yaitu transformasi lingkungan pembelajaran, peningkatan kapasitas pendidik, pemberdayaan dan mobilisasi pemuda, serta akselerasi aksi tingkat lokal.

Transformasi lingkungan pembelajaran dapat dilakukan dalam beberapa aspek, termasuk lingkungan pedagogi, konten pembelajaran, dampak pembelajaran, dan ujungnya adalah transformasi sosial. Semua ini harus dibingkai dengan kesadaran pentingnya pembangunan berkelanjutan. Pembelajaran harus mencakup beragam dimensi: kognitif, sosial dan emosional, juga perilaku.

Pendidik yang berkualitas menjadi faktor kritikal dalam peningkatan kualitas pembelajarn secara khusus dan pendidikan secara luas. Beragam inisiatif harus diambil untuk ini, baik melalui peningkatan tingkat pendidikan, penguasan teknologi pembelajaran, sampai dengan kecakapan dalam memotivasi dan memperdayakan anak didik.

Perhatian lebih juga perlu diberikan kepada pemuda dan posisi sentralnya dalam kemajuan sebuah masyarakat. Mereka adalah anak didik yang membutuhkan fasilitasi dan aspiran yang mengharapkan pendampingan.

Selain itu, sensitivitas terhadap masalah lokal (termasuk nasional) juga perlu diasah. Hanya dengan demikian, kehadiran pendidikan menjadi relevan karena berandil untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Penjaminan kualitas artefak akademik dan lulusan, karenanya, penting untuk dipastikan.

Elaborasi ringan dari poin-poin sambutan pada Seminar Nasional untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional yang dihelat oleh Program Studi Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Indonesia, pada 16 Mei 2022.

K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dan Dr. Tuan Guru Bajang (TGB) Muh. Zainul Majdi, Lc., M.A. hadir dalam acara Ngaji Tafsir Al Qur’an yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Kegiatan ini digelar dalam rangka Milad ke-79 UII.

Read more