Manusia baru
Ketika merayakan Idulfitri, kita diharapkan menjadi manusia baru yang semakin sadar dengan tujuan asal penciptaan kita. Semangat kembali ke fitrah merupakan ikhtiar untuk membandingkan kondisi saat ini dengan karakteristik manusia yang seharusnya, sifat asalnya.
Karakteristik asal ini dapat dirumuskan dengan melihat bagaimana Allah meminta manusia dalam berakhlak. Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang mengindikasikan ini.
Sebagian ayat merujuk kepada fitrah personal, seperti menjadi pribadi yang jujur, menahan amarah, pemaaf, dan suka berderma. Sebagian perintah lain meminta manusia menjaga fitrah kolektifnya. Di sini ada hubungan relasional dan bahkan resiprokal dengan orang lain.
Mari, kita merenungkan kembali fitrah kolektif sebagai sebuah bangsa yang sangat disayang Allah dengan tebaran nikmat yang luar biasa di bumi Indonesia. Hanya saja, sering kali, kita lupa untuk selalu bersyukur kepadaNya.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita juga telah menjadi saksi sebagian anak bangsa yang telah merusak jalinan solidaritas sosial dan tenun kebangsaan. Dan, bisa jadi kita juga menjadi pelakunya, baik yang dilakukan tanpa sadar atau bahkan dengan kepongahan.
Hal tersebut bisa dilakukan, baik ketika berinteraksi secara fisikal maupun di dunia maya. Ujaran kebencian dan kebohongan yang berlalu lalang di media sosial, seakan menjadi kelaziman. Banyak dari kita yang tidak sadar akan akibatnya. Dampaknya bisa sangat dahsyat: mulai tali silaturahmi yang terputus, martabat saudara yang terhina, sampai dengan keselamatan jiwa yang terancam.
Semua itu tak mungkin hadir tanpa intervensi manusia melalui jemarinya yang kelak akan diminta pertanggungjawaban oleh Yang Maha Kuasa.
Fitrah kolektif
Sebagai ungkapan syukur kita di hari yang mulia ini, mari kita sejenak kembali menengok pesan suci Allah di dalam Al-Qur’an yang insyallah akan membimbing kita kembali ke fitrah kolektif sebagai bangsa.
Pertama, perbedaan asal bangsa dan suku adalah sunatullah. Itulah fitrah kolektif manusia. Kita diminta oleh Allah untuk saling mengenal dengan baik (lita’arafu) (QS Hujurat 49:13). Saling mengenal merupakan fitrah kolektif manusia.
Mengenal dengan baik dapat memberikan beragam manfaat. Rasulullah bersabda
Pelajarilah silsilah kalian yang dengannya kalian akan menyambung tali kekeluargaan, karena menyambung tali kekeluargaan itu dapat menumbuhkan kecintaan di dalam keluarga, menambah kekayaan dalam harta, dan memperpanjang usia (HR At-Timidzi, Jami’ At-Thirmizi 1979).
Budaya mudik yang dijalankan oleh banga Indonesia dapat pula dibingkai dengan hadis ini. Jika memungkinkan dilaksanakan, mudik adalah sesuatu yang mulia.
Dalam konteks berbangsa, pesan di atas dalam kita ekstrapolasikan, bahwa mengenal dengan baik perbedaan yang ada antarkelompok atau antarsuku, akan memperkokoh persatuan bangsa yang akan diliputi kedamaian. Ujungnya adalah kesejahteraan kolektif bangsa, karena kegiatan ekonomi dan aktivitas pembangunan lain tidak mungkin dapat dijalankan tanpa suasana damai.
Meski demikian, sebagai mukmin, kita harus menyadari sepenuhnya bahwa yang menjadi sumber kemulian di sisi Allah adalah tingkat ketakwaan kita (QS Hujurat 49:13), yang tertanam di dalam hati dan tercermin melalui tindakan.
Rasulullah bersabda
Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian (HR Muslim, Shahih Muslim 2564c)
Kedua, manusia tidak kalis dari kesalahan. Interaksi dengan manusia lain menjadi wasilah untuk saling mengingatkan dan menasihati. Saling menasihati ini melengkapi keimanan dan amal kebajikan yang dilakukan (QS Al-Ashr 103:1-3). Saling menasihati merupakan fitrah kolektif.
Paling tidak terdapat tiga ranah kerja resiprokal ini yang disebutkan oleh Al-Qur’an, yaitu saling menasihati untuk (a) menaati kebenaran (tawashau bi al-haq), (b) menetapi kesabaran (tawashau bi al-shabr), dan (c) menebar kasih sayang (tawashau bi al–marhamah) (QS Al-Ashr 103:3; QS Al-Balad 90:17).
Menaati kebenaran terwujud dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah. Menetapi kesabaran dijalankan atas segala macam cobaan, takdir, serta gangguan ketika menegakkan kebenaran. Menebar kasih sayang dilakukan kepada sesama di muka bumi.
Rasulullah bersabda
Orang-orang yang penuh kasih akan selalu dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah orang-orang yang ada di muka bumi, niscaya kalian akan dikasihi makhluk yang ada di langit (HR Abu Dawud, Sunan Abi Dawud 4941).
Dalam konteks berbangsa, saling menasihati harus terus dilakukan dengan cara yang sopan, elegan, dan konstitusional. Ini adalah perintah untuk menaati kebenaran. Meskin demikian, jangan sampai pesan untuk perbaikan tersebut menghilangkan optimisme akan masa depan bangsa. Masih terlalu banyak sisi baik yang bisa kita syukuri. Inilah ujian kesabaran. Karenanya, semua ikhtiar saling menasihati harus tetap dibingkai dengan semangat kasih sayang. Kritik harus dilandasi rasa cinta kepada bangsa dan negara.
Untuk menjaga fitrah kolektif manusia, Allah juga menurunkan petunjuk dalam bentuk larangan. Berikut adalah beberapa di antaranya.
Ketiga, salah satu penyakit hati terbesar manusia adalah terjangkit kesombongan. Beragam kisah didokumentasikan Al-Qur’an tentang bagaimana nasib umat terdahulu yang sombong dan menolak kebenaran.
Manusia yang sombong biasanya juga mempunyai kebiasaan merendahkan orang lain. Mereka melupakan fitrah kolektif manusia untuk tidak saling mengolok-olok, tidak saling mencela, dan tidak saling memberikan label buruk.
Ajaran Islam sangat jelas, sebening kristal, terkait dengan ini. Allah berfirman
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Hujurat 49:11).
Hanya kesombonganlah yang menutup hati kita untuk menerima pesan mulia ini. Beragam dalih pun akhirnya tak jarang dibuat sebagai pembenar atas pilihan sikapnya.
Dalam konteks berbangsa, akhir-akhir ini, tidak sulit menemukan bukti bahwa sesama mukmin telah saling mengolok-olok, saling mencela, dan saling memberikan panggilan yang buruk, seperti kecebong atau kadal gurun (kadrun).
Terkadang kita lupa, bahwa praktik pengabaian fitrah kolektif ini telah melahirkan jiwa tuna empati yang menikmati musibah yang menimba saudaranya sebangsa. Muruah saudara seakan tidak berharga sama sekali dan karenanya selalu dihinakan.
Dalam tataran kolektif, praktik ini telah menjadikan bangsa Indonesia terjebak segregasi dan bahkan polarisasi sosial tak berkesudahan. Energi produktif bangsa pun bocor tak terkendali. Jika sebagian kita menjadi bagian dari ini semua, mari sudahi.
Keempat, hati yang kotor biasanya sulit percaya dengan orang lain. Prasangka buruk (suuzan) kepada orang lain menjadi sesuatu yang lazim dan bahkan dipelihara. Akibatnya, tak jarang, mencari kesalahan orang lain menjadi kegemaran.
Fitrah kolektif untuk saling berprasangka baik (husnuzan) sudah diabaikan. Padahal, pesan Allah sangat jelas,
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang (QS Al-Hujurat 49:12).
Bahkan Allah memberi metafor yang sangat menjijikkan, bahwa berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing ibarat memakan daging mayat saudara sendiri.
Dalam konteks berbangsa, budaya baru untuk saling mengasah kepercayaan perlu ditumbuhkan bersama-sama. Jika pun saudara kita membuat kesalahan, harus dipahami, hal tersebut tidak lantas menghapus semua kebaikan yang sudah dilakukannya.
Sikap untuk selalu berupaya obyektif berbasis fakta terverifikasi perlu terus digaungkan untuk menilai banyak hal. Kebencian kita kepada seseorang atau kelompok tertentu jangan sampai menjadikan kita tidak bisa bersikap adil (QS Al-Maidah 5:8).
Kelima, Allah memerintahkan kita untuk berkolaborasi dengan sesama. Saling menolong adalah fitrah kolektif manusia. Namun batasannya sangat jelas, saling menolong harus dibingkai dengan kebajikan.
Ajaran Islam sangat jelas. Allah berfirman
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS Al-Maidah 5:2).
Dalam konteks berbangsa, kita seringkali dituntut untuk menentukan bersikap untuk memberikan dukungan atau bahkan bekerja sama. Dengan bingkai nilai di atas, seharusnya kita tidak salah melabuhkan pilihan kita.
Seharusnya kita tidak mendukung tindakan yang melawan hati nurani bangsa dan menciderai rasa keadilan publik. Praktik korupsi atau perusakan lingkungan adalah contohnya. Kerakusan individu atau kelompok yang mengabaikan kepentingan publik sudah seharusnya tidak mendapatkan tempat. Pintu kerja sama untuk hal seperti ini sudah seharusnya tertutup rapat.
Ringkasan
Sebagai pengingat bersama, mari kita ingat kembali beberapa perintah Allah untuk menjaga fitrah kolektif kita sebagai manusia, sebagai sebuah bangsa.
1. Saling mengenal dengan baik untuk menguatkan tali silaturahmi, meningkatkan kesejahteraan, dan memperpanjang usia.
2. Saling menasihati untuk menaati kebenaran, menetapi kesabaran, dan menebar kasih sayang.
3. Tidak saling mengolok-olok, mencela, dan memberikan label buruk.
4. Tidak saling berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing.
5. Saling menolong dan kebajikan dan ketakwaan, dan tidak saling menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.
Mari, semuanya kita ikhtiarkan secara kolektif dalam rangka meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah, kualitas seorang hamba yang menentukan posisi kita di hadapan Allah subhanahu wata’ala.
Ringkasan khutbah Idulfitri 1443 di Masjid Ulil Albab, Universitas Islam Indonesia pada 1 Syawal 1443/2 Mei 2022