Tidak sulit bagi kita untuk sepakat bahwa perkembangan mutakhir telah menyadarkan kita akan peran penting data. Sebagai ilustrasi, pada 2017, misalnya, majalah The Economist menurunkan sebuah artikel dengan judul yang menegaskan itu: sumber daya paling berharga di dunia tidak lagi minyak bumi, tetapi data. Data adalah minyak bumi di era digital.
Artikel tersebut juga menuliskan contoh pemain raksasa dunia yang mengandalkan data dalam menjalankan proses bisnis, termasuk Alphabet (perusahaan induk Google), Amazon, Apple, Facebook dan Microsoft.
Manfaat data
Data yang melimpah (mahadata) telah mengubah karakteristik kompetisi bisnis. Lapangan permainan pun berubah. Penguasaan data menjadikan pemain bisnis semakin kuat.
Sebagai contoh, para perusahaan raksasa tersebut mendapatkan manfaat luar biasa dari efek jaringan (network effects): semakin banyak pengguna sebuah layanan, semakin menarik bagi orang lain untuk ikut mendaftar. Dengan menggumpulkan data, perusahaan dapat meningkatkan produknya, menarilk semakin banyak pengguna, dan akhirnya mengumpulkan semakin banyak data lagi. Proses ini bersifat iteratif-progresif.
Akses kepada data juga memroteksi perusahaan dari pesaingnya. Pengintaian yang mungkin dilakukan oleh para raksasa ini dapat memindai perilaku penggunanya: Google tahu apa yang orang cari, Facebook tahu apa yang orang bagi, Amazon tahu apa yang orang beli, dan seterusnya. Pengenalan pola ini yang membuat mereka bisa memrediksikan masa depan.
Tak jarang, berdasar data yang mereka punya, para raksasa ini juga mengakuisi perusahaan rintisan dengan ide cemerlang yang kelak akan menjadi pesaingnya. Akuisisi Facebook terhadap WhatApp adalah contohnya.
Nilai yang terlewat
Kisah seperti di atas banyak menghiasi diskusi kelas dan ruang publik. Itu adalah fakta sosial yang tidak bisa ditampik. Nyata adanya. Namun, ada satu aspek yang seringkali terlewat, yaitu soal nilai (values) yang membingkai.
Penguasaan atas data yang melimpah dan tak terbendung, terbukti telah melahirkan kapitalisme jenis baru, yang oleh Shoshana Zuboff, seorang profesor dari Universitas Harvard, sebagai kapitalisme pengintaian (surveillance capitalism).
Kapitalisme pengintaian merupakan sistem ekonomi yang menangkap dan mengkomodifikasi data personal untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Data digunakan unruk memprediksikan masa depan. Beragam aspek terlibat di sini, termasuk pemanfaatan data untuk pemasaran produk dan bahkan untuk manipulasi opini dan perilaku pengguna.
Dalam konteks inilah, nilai sebagai basis etika menjadi sangat penting. Harapannya, supaya penambangan data tidak menjadi sarana eksploitasi antarmanusia untuk mengeruk sebanyak mungkin keuntungan, baik secara finansial maupun secara politik.
Para perusahaan raksana tersebut merupakan contoh konkret, bagaimana data yang ditambang dengan baik memberikan pertumbuhan yang luar biasa. Di bidang bisnis, Amazon, misalnya, menguasai separoh pengeluaran belanja daring di Amerika.
Di bidang politik, skandal Cambridge Analytica yang membantu kampanye Donald Trump pada pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016 bisa menjadi sebuah contoh. Data dari sebanyak 200.000 pengguna Facebook digunakan untuk membuat profil psikologis rinci terhadap 87 juta pengguna. Data tersebut didapatkan tanpa persetujuan (consent) pengguna. Ini adalah contoh bagaimana data disalahgunakan, karena pengabaian nilai.
Tentu, masih banyak deretan contoh lain yang dapat diberikan.
Bingkai nilai
Nilai dalam konteks ini menjadi semacam bingkai (frame). Ibarat lukisan, nilai adalah piguranya. Beragam nilai abadi kemanusiaan dapat didaftar di sini, termasuk di antaranya adalah keadilan, kejujuran, dan kesetaraan.
Pemikiran inovatif dalam pengumpulan dan pemanfaatan data, atau penambangan data, adalah contoh berpikir di luar kotak (out of the box). Dalam konteks ini, menjadi penting untuk ditegaskan, bahwa berpikir di luar kontak sangat dianjurkan, tetapi harus tetap di dalam bingkai.
Inovasi dalam pengumpulan dan pemanfaatan data tidak boleh melanggar nilai-nilai abadi. Jika disepakati, Forum Pendidikan Tinggi Statistika (Forstat) dapat mengidentifikasi nilai-nilai abadi yang akan dijadikan bingkai bersama.
Nilai-nilai yang disepakati itulah, yang akhirnya perlu ditanamkan dalam proses pendidikan. Harapannya, proses pendidikan akan menghasilkan para ahli statistika atau saintis data yang memegang nilai yang kuat.
Hanya dengan inilah, data akan menjadi berkah dan meluhurkan nilai-nilai kemanusiaan, karena bermanfaat untuk banyak orang.
Bukan sebaliknya, data yang melimpah justru menjadi musibah kemanusiaan, karena menjelma menjadi sumber ketimpangan dan alat ekspoitasi manusia atau manusia lainnya. Inilah yang terjadi jika mahadata tuna nilai. Semoga bukan ini kasusnya.
Sambutan pada Pembukaan Musyawarah Nasional Forum Pendidikan Tinggi Statistika (Forstat) yang dituanrumahi oleh Universitas Islam Indonesia pada 21 Mei 2022.