Sebanyak sebelas arsitek muda lulusan Program Studi Profesi Arsitek Universitas Islam Indonesia (UII) secara resmi dilantik dan diambil sumpahnya pada Kamis (11/2) secara daring. Sebelumnya, para arsitek muda yang terdiri dari 5 perempuan dan 6 laki-laki ini telah menempuh pendidikan selama satu tahun akademik. Para lulusan ini juga telah dibekali dengan workshop, research design, magang serta pelatihan kode etik dan tata etika profesi arsitek.

Read more

Sebagai bentuk penghargaan yang diberikan kepada Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. akan kiprahnya, Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menggelar acara Peringatan 30 Tahun Pengabdian Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. bertajuk “Srikandi Konstitusi Pemikiran dan Jejak Langkah 30 Tahun Mengabdi” pada Rabu (10/2).

Read more

Penangkapan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, pasca kudeta militer masih hangat diperbincangkan. Sebagaimana dalam Program Ngalir Live Talk #18 yang diadakan prodi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (HI UII) pada Sabtu (13/2). Acara bertemakan “Kudeta Militer Myanmar” ini menghadirkan pembicara Irawan Jati, M.Hum., M.S.S.

Read more

Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan (DPK) UII mengadakan Bedah Buku Pedoman Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada Selasa (9/2). Acara ini bertujuan menjaring animo mahasiswa untuk berpartisipasi dalam Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS) 2021.

Diungkapkan Direktur DPK UII, Beni Suranto, M.Soft.Eng bahwa pada tahun 2021 ada banyak peraturan PIMNAS yang berubah, seperti skema luring / daring, pendanaan, dan lainnya. Ia berharap banyak proposal dari UII yang bisa lolos PIMNAS 34 tahun ini dan mendapat medali. “Dengan mengikuti kegiatan hari ini saya harap mahasiswa dapat membuat proposal sesuai pedoman dan dapat lolos pendanaan,” pesannya.

Read more

Saat ini, nampaknya tidak sulit bersepakat bahwa teknologi informasi semakin dekat hubungannya dengan desain dan konstruksi bangunan. Literatur mencatat, bahwa sejarah Building Information Modeling (BIM) secara konseptual dimulai di awal 1960an. Dalam dekade terakhir, penggunaan BIM semakin lazim.

Perhatian terhadap BIM pun meningkat tajam. Data cacah artikel di basisdata Science Direct maupun di Google Scholar, misalnya, mengindikasikan hal ini dengan sangat jelas. Dari basisdata Science Direct ditemukan bahwa pada 1997 hanya ada 16 artikel yang mendiskusikan BIM dan pada 2020, angka ini menjadi 692. Pada rentang waktu yang sama, pada 1997 Google Scholar merekam 273 artikel tentang BIM, dan pada 2020 terdapat 15.400 artikel.

Secara kebetulan, pada 2013, saya menulis sebuah artikel terkait dengan BIM untuk konferensi internasional di bidang sistem informasi. Tentu dalam perspektif agama, tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Ndilalah adalah kata yang digunakan oleh Kiai Sholeh Darat Allahu yarhamhu untuk menjelaskan konsep takdir. Inilah cerita tentang takdir saya yang “bersentuhan” dengan BIM, namun mohon dipahami bahwa saya bukan ahli BIM.

Seorang kawan seperjalanan dari Jerman saat itu mengambil studi doktoralnya di program yang sama dengan saya. Karena berkantor di sepanjang koridor yang sama, interaksi pun cukup intens. Tradisi yang dikembangkan di program doktoral yang saya ikut sekitar satu dekade lalu itu memungkinkan semua mahasiswa berbagi cerita tentang risetnya. Obrolan di meja kantin atau di dapur tidak jarang masih terkait dengan keilmuan dan riset. Suasana yang bagi saya ngangeni ini sangat perlu untuk dikembangkan di kampus kita.

Bahkan, kawan seperjalanan lain yang berbagi ruang kantor dengan saya sepakat melabeli ruang kantor sebagai “Socratic Corner”. Mungkin agak berlebihan, tetapi di ruang berukuran sekitar 2,5 x 5 meter persegi, kami berdua, mempertanyakan banyak hal dan berikhtiar mencari jawabnya. Kami berdua, bahkan saat ini, setelah sekitar satu dekade, masih menulis bersama, bersama pembimbing yang kami berdua panggil dengan “guru”.

Fragmen singkat ini paling tidak memberikan gambaran bagaimana takdir “menyentuhkan” saya dengan BIM. Suatu siang, ketika kami mengobrol di meja kantin, diskusi terkait kawan saya berlanjut. Saya pun akhirnya ikut berpikir menggunakan beragam pisau analisis yang kami pelajari bersama. Saya ambil tisu makan dan mencoretkan beberapa gambar dan ide di sana. Coretan di tisu makan itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal artikel kami berdua tentang BIM (Merschbrock & Wahid, 2013).

 

Dua bentuk teknologi

Selain beragam potensi baik yang ditawarkan oleh BIM, kami menemukan beberapa catatan. Semua berangkat dari pemahaman bahwa BIM, sebagai sebuah perangkat lunak, merupakan artefak sosial. Di sana, ada nilai dan intensi desainer yang disuntiknya ke dalamnya. Inilah yang oleh Orlikowski (2000) dilabeli dengan technological artefact, artefak teknologikal, yang sebetulnya per definisi ada aspek sosialnya di sana. Inilah yang sering juga kita dalam informasi tentang produk yang dikeluarkan oleh produsennya. Semua narasi didasarkan pada asumsi yang dibayangkan oleh desainernya ketika mendesain.

Pertanyaannya kemudian adalah: apakah teknologi tersebut, dalam praktik, digunakan persis seperti yang diinginkan oleh desainernya? Ternyata tidak selalu. Konteks tempat teknologi di gunakan bisa mempengaruhinya dengan beragam penyesuaian. Inilah yang disebut dengan technology-in-use. Secara umum, ada tiga kemungkian penggunaan: inersia (digunakan secara sangat terbatas), aplikasi (dengan beragam gradasi), dan perubahan (dengan improvisasi). Karenanya, jika lensa analisis ini digunakan, saran “seharusnya” atau “kudune” menunjukkan adanya pengabaian informasi kontekstual. Perlu dicatat di sini, bahwa penyesuaian tidak selalu buruk.

 

Tantangan

Lensa di atas kami gunakan. Kami menemukan bahwa tidak semua orang bahagia dengan penggunaan BIM. Ini ada tantangan. Ada beragam alasan. Dari sisi klien, mereka tidak mau tahu dengan apa bangunan mereka didesain dan dikonstruksi. Biaya menjadi isu sensitif bagi mereka. Pada kasus ekstrem, klien akan mengatakan, “Silakan pakai apa saja, yang penting bangunan jadi dan berkualitas baik”. Ini temuan dari konteks Norwegia. Cerita di Indonesia mungkin berbeda.

Dalam konteks yang lebih luas, sebetulnya penambahan biaya ini bisa dikompensasi dengan pengurangan biaya di sisi lain, misalnya ketika tahap prefabrikasi komponen atau pemeliharaan paskakonstruksi. Tentu, diskusi lanjutan perlu dilakukan, untuk memvalidasi dan menemukan strategi mitigasi.

Dari sisi aktor yang terlibat dalam rantai proses, aktor yang berada di mata rantai lebih akhir (seperti insinyur dan kontraktor), menjadi kehilangan kemerdekaannya, karena tergantung dengan aktor yang lebih awal (seperti arsitek). Mengapa ini terjadi?

Seringkali, proyek konstruksi bangunan melibatkan organisasi temporer dan karenanya membentuk sistem yang terhubung secara longgar (a loosely coupled system). Di dalam sistem yang longgar, elemen- elemennya saling mempengaruhi “secara tiba-tiba (daripada kontinu), kadang-kadang (daripada konstan), dapat diabaikan (daripada signifikan), tidak langsung (daripada langsung), dan memerlukan waktu (daripada seketika)” (Weick, 1982, h. 380)—dikutip dalam Orton dan Weick (1990).

Perspektif yang saya angkat ini tentu bukan untuk mendemotivasi kajian dan penggunaan BIM dalam praktik, tetapi melengkapi cerita bahwa dalam praktik ada fakta lain. Fakta tersebut adalah bahwa dunia nyata sangat mungkin tidak selalu sesederhana dengan model yang tertulis dalam buku. Betul, model tersebut berasal dari konseptualisasi dunia nyata. Tetapi, model mempunyai keterbatasan menangkap kompleksitas dunia nyata.

Karenanya, sebagai arsitek muda, Saudara dituntut terus untuk mengembangkan kemampuan adaptif dengan tidak lelah dan lengah dalam mengikuti perkembangan serta mengasah sensitivitas untuk meresponsnya.

Cerita singkat saya ini, paling tidak akan menenangkan Saudara ketika terjun di dunia nyata dan menemukan yang terjadi di lapangan tidak seperti yang dibayangkan.

Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk pencapaiannya. Semoga Allah senantiasa memudahkan langkah Saudara untuk berkontribusi di dunia nyata.

 

Referensi

Merschbrock, C., & Wahid, F. (2013). Actors’ Freedom of Enactment in A Loosely Coupled System: The Use of Building Information Modelling in Construction Projects. Proceedings of the 21st European Conference on Information Systems. Utrecht, Belanda, 5-8 Juni.

Orlikowski, W. J. (2000). Using technology and constituting structures: A practice lens for studying technology in organizations. Organization science11(4), 404-428.

Orton, D., & Weick, K. E. (1990). Loosely coupled systems: A reconceptualization. Academy of Management Review, 15(2), 203-223.

Weick, K. E. (1982). Management of organizational change among loosely coupled elements. Dalam P. S. Goodman (Ed.), Change in Organizations (pp. 375-408). San Francisco: Jossey-Bass.

 

Sari sambutan pada Sumpah Profesi Arsitek ke-6 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia, 11 Februari 2021

Sarapan ternyata menjadi hal yang tidak mudah, khususnya bagi para wanita baik yang aktif sebagai ibu rumah tangga maupun menjalani karir sebagai dosen dan peneliti. Fakta ini mendorong jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII menggelar Global Women’s Breakfast (GWB) Seminar 2021. Acara tahunan dari International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) ini berlangsung secara daring pada Selasa (9/2). Tujuannya untuk mendukung para peneliti wanita di seluruh dunia untuk tetap berkontribusi dalam pengembangan sains dan teknologi. Terdapat 371 titik di berbagai belahan dunia yang juga serempak menggelar acara ini mulai dari New Zealand dan berakhir di Hawai.

Read more

Akhir-akhir ini, nampaknya para intelektual, dan bisa jadi termasuk kita, semakin takut menyuarakan kebenaran. Meskipun antena intelektual kita masih sensitif menangkap sinyal ketidakberesan, tetapi melantangkan pesan secara lugas semakin berisiko.

Menjalankan perintah bagian hadis “qul al-haqq walau kāna murran”[i] (katakanlah kebenaran meskipun itu pahit) nampaknya tidak semudah menghapalkannya. Sebagian besar dari kita sejak kecil nampaknya sudah hapal potongan hadis ini.

Bisa jadi kesimpulan ini bisa jadi salah dan tidak komprehensif. Tapi fakta di lapangan nampaknya mendukungnya.

Karenanya, menjalankan peran sebagai intelektual yang tidak hanya menekuni ilmunya tetapi juga punya kepedulian yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negara, semakin menantang. Konsistensi diperlukan di sini.

Tiga hal berikut, nampaknya bisa menjadi pelajaran bersama.

Pertama, saya mengamati, Prof. Ni’mah, demikian kami memanggil (Prof. Ni’matul Huda) sudah terbukti menunjukkan konsistensi. Saya tahu, melakukannya tidak selalu mudah dan bukan tanpa risiko. Kasus teror yang pernah dialamatkan kepada beliau, cukup untuk menjadi bukti yang agak sulit dihapus dari memori kolektif kita.

Saya berdoa, semoga Allah selalu memudahkan dalam semua ikhtiar yang beliau lakukan untuk mengawal negara ini tetap berjalan di atas relnya sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri. Semoga Prof. Ni’mah tetap istikamah.

Kedua, saya juga melihat, Prof. Ni’mah juga mempunyai gayanya sendiri dalam “meniup peluit” sehingga pesan tetap sampai dan yang mendengarkannya tidak merasa sangat terganggu. Salah satunya, nampaknya, karena pendekatan akademik yang dijaga dan dibarengi dengan menjaga kedekatan dengan banyak aktor, tetapi tetap kalis dari kepentingan sesaat. Prof. Ni’mah sangat konsisten mendokumentasikan pemikirannya dalam bentuk buku dan aktif menjadi pembicara di banyak forum yang sesuai dengan bidang keahliannya.

Dalam konteks ini, memastikan bahwa hati nurani tetap hidup dan terjaga sangat penting. Saat ini, tantangannya semakin berat dan sampai level tertentu, kian menakutkan.

Yang menakutkan tidak hanya oknum penguasa yang mungkin lupa asalnya, tetapi juga para pemuja oknum tersebut. Yang pertama kadang jumawa di depan rakyatnya yang seharusnya dilindungi dan dilayaninya, yang kedua, jika tidak segera insaf, akan menjadi anasir jahat yang terus merusak tenun kebangsaan.

Hati nurani yang hidup mungkin bisa menghalau atau mengurangi ketakutan yang mungkin hinggap.

Ini mirip dengan ikan hidup yang berenang di laut. Meskipun air laut asin, tetapi ikan yang hidup tidak menjadi asin. Ikan terpengaruh menjadi asin, hanya ketika sudah mati. Demikian juga halnya, jika hati nurani sudah mati.

Ketiga, pilihan sikap menjaga nurani tetap menyala dan menjaga hubungan dengan penguasa, memerlukan kapasitas personal yang lebih dari cukup. Di samping itu, perlu keberanian bersikap yang sangat mudah disalahpahami. Dalam hal ini, Prof. Ni’mah memberi contoh dengan sangat baik.

Ini mungkin mirip dengan konsep “jalan ketiga” yang diperkenalkan dan ditapaki oleh mendiang Prof. Cornelis Lay, meski dalam suasana dan intensitas yang berbeda. Jalan ini merupakan ikhtiar menyatukan kekuasaan (termasuk kedekatan dengan kekuasaan) dan nilai-nilai kemanusiaan.

Penilaian saya bisa jadi salah, tetapi dengan mengungkapkannya secara terbuka, Prof. Ni’mah akan tahu, kata mata apa yang saya pakai untuk melihat beliau. Beliau bisa meluruskan, jika ada yang kurang pas.

Prof. Ni’mah, tetaplah istikamah dan teruslah menginspirasi. Semoga Allah selalui meridai dan memudahkan langkah.

Terakhir, mari kita terus berdoa bersama untuk kebaikan bangsa dan negara kita, yang tidak lama lagi agak berusia 100 tahun.

Jangan sampai kita lelah mencintai bangsa dan negara ini. Kita dorong terus jika sudah di jalan yang lurus, dan kita ingatkan dengan cara-cara yang elegan dan konstitusional jika keluar dari rel konstitusional yang sudah disepakati.

Ini seharusnya menjadi kerja kolektif semua anak bangsa yang sepakat dengan visi serupa. Sekali lagi, semua ini perlu kita lakukan, bukan karena kebencian kita kepada orang, kelompok, atau partai tertentu, tetapi karena kecintaan dan kerinduan untuk menyaksikan Indonesia masa depan yang lebih demokratis, sejahtera, berkeadilan, dan bermartabat.

[i] Hadis ini yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr dan shahih menurut Ibu Hibban merupakan potongan hadis yang panjang (Bulūgh al-Marām:888).

 

Sambutan pada acara peluncuran buku dan peringatan 30 tahun pengabdian Prof. Ni’matul Huda yang diselenggarakan oleh PSHK FH UII, 10 Februari 2021.

Setelah berhasil memenangkan kompetisi bisnis menggunakan MonsoonSIM pada akhir tahun 2020, pada awal tahun 2021 tim mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menorehkan prestasi gemilang. Di kala pandemi masih belum berakhir, tim mahasiswa UII berhasil meraih juara satu pada kompetisi tahunan Enterprise Resource Planning Simulation (ERPsim) Competition Asia Pasific Japan Cup 2020 yang diselenggarakan oleh SAP University Alliance Asia Pacific Japan pada 28 Januari – 5 Februari 2021.

Read more

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII menyelenggarakan diskusi daring dengan tema “Mengenal Mahkamah Pelayaran Nasional”. Acara yang diadakan bersama Forum Silaturahmi Advokat Alumni (FSAA) FH UII ini menghadirkan dua pemateri. Mereka yakni Peni Pudji Turyani, M.H. (Mantan Ketua Mahkamah Pelayaran) dan Asril Pasaribu, S.H. (Mantan Hakim Mahkamah Pelayaran).

Read more

Kegiatan tahunan Global Women’s Breakfast (GWB) yang diselenggarakan serentak di banyak belahan dunia oleh IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) dan para mitranya selalu menarik, karena beberapa alasan. Pertama, meskipun diberi judul kasual, sarapan pagi, acaranya masih bersifat ilmiah. Mungkin GWB bisa kita semua sebut sarapan pagi ilmiah. Kedua, seperti namanya, acara ini digagas dan dikawal oleh para perempuan yang aktif di bidang sains, terutama kimia.

Salah satu Acara GWB2021 di Indonesia digelar oleh Jurusan Kimia, Universitas Islam Indonesia.

Saat ini, perempuan mewakili hampir separuh penduduk bumi. Data mutakhir yang dapat diakses berstempel waktu 2019, menunjukkan bahwa 49,6% populasi dunia adalah perempuan. Angka rasio jenis kelamin (sex ratio), perbandingan cacah laki-laki untuk setiap perempuan, adalah 1,01. Tentu, ada perbedaan untuk setiap negara. Kasus terekstrem adalah Djibouti dengan rasio jenis kelamin 0,83 (lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki) dan Qatar 3,39 (untuk setiap perempuan, terdapat 3,39 laki-laki).

Di Indonesia, menurut Sensus Penduduk 2020, rasio jenis kelaminnya adalah 1,02. Dari 270,2 juta jiwa, sebanyak 50,58% (136,66 juta jiwa) adalah laki-laki, dan sisanya (49,42%; 133,54 juta) adalah perempuan.

Rasio jenis kelamin untuk semua negara, termasuk Qatar, ketika bayi lahir mendekati 1,0 (antara 0,94 sampai 1,11). Namun, sejalan dengan kelompok umur, rasio jenis kelamin cenderung mengecil, alias semakin banyak perempuan, karena usia harapan hidup perempuan (75,6 tahun) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (70,8 tahun).

Meskipun demikian, beragam sumber menunjukkan bahwa perempuan tidak mempunyai akses yang serupa dengan mitranya, laki-laki. Perempuan dianggap terpinggirkan di banyak konteks, termasuk politik, ekonomi, dan sains, untuk menyebut beberapa saja. Sebagai contoh, data dari Institute for Statistics UNESCO pada 2019, rata-rata proporsi perempuan periset di seluruh dunia hanya 29,3%. Tentu, terdapat perbedaan antarkawasan, negara, dan disiplin.

Proporsi terbesar ditemukan di Asia Tengah (Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan), sebesar 48,2%. Yang menarik, proporsi perempuan periset di negara-negara Arab (41,5%) lebih tinggi dibandingkan, misalnya, dengan Eropa Tengah dan Timur (39,3%) dan Amerika Utara dan Eropa Barat (32,7%). Proporsi ini didasarkan pada cacah orang yang bekerja di bidang riset dan pengembangan (research and development).

Sayang data serupa untuk konteks Indonesia tidak tersedia. Tapi, mari, kita dekati dengan cara lain. Kita anggap perguruan tinggi adalah representasi lembaga ilmiah. Sampai akhir 2019, proporsi perempuan dosen di lebih dari 4.500 perguruan tinggi di Indonesia adalah 43,6%. Data dari Universitas Islam Indonesia memberikan angka serupa: 43,2%. Apakah ini bagus atau kurang bagus? Kita bisa diskusikan.

Terlepas dari beragam interpretasi yang muncul, nampaknya tidak sulit untuk bersepakat bahwa peran perempuan dalam pengembangan sains sangat penting dan tidak mungkin diabaikan. Angka ini juga mengindikasikan ada ruang akses yang serupa di pendidikan tinggi. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019) mengkonfirmasi hal ini. Proporsi mahasiswa perempuan di Indonesia adalah 51,2%. Meski, lagi-lagi, sebarannya bisa beragam antarwilayah dan antardisiplin.

Ada temuan menarik yang ingin saya bagi di sini. Apakah nilai masyarakat mempengaruhi? Saya ambil data khusus dari Sumatera Barat, rumah suku Minangkabau yang menggunakan sistem matrilineal dalam masyarakatnya. Proporsi perempuan dosen di sana lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, yaitu 54,11%. Dengan data ini, kita bisa berhipotesis bahwa sikap kita dalam memandang dan menempatkan perempuan, sangat mungkin mempunyai imbas besar dalam masyarakat. Tentu, riset yang lebih sistematis diperlukan untuk membuktikannya.

Sari sambutan pada Global Women’s Breakfast 2021 (GWB2021) yang diselenggarakan oleh Jurusan Kimia, Universitas Islam Indonesia, 9 Februari 2021.