Saat ini, nampaknya tidak sulit bersepakat bahwa teknologi informasi semakin dekat hubungannya dengan desain dan konstruksi bangunan. Literatur mencatat, bahwa sejarah Building Information Modeling (BIM) secara konseptual dimulai di awal 1960an. Dalam dekade terakhir, penggunaan BIM semakin lazim.
Perhatian terhadap BIM pun meningkat tajam. Data cacah artikel di basisdata Science Direct maupun di Google Scholar, misalnya, mengindikasikan hal ini dengan sangat jelas. Dari basisdata Science Direct ditemukan bahwa pada 1997 hanya ada 16 artikel yang mendiskusikan BIM dan pada 2020, angka ini menjadi 692. Pada rentang waktu yang sama, pada 1997 Google Scholar merekam 273 artikel tentang BIM, dan pada 2020 terdapat 15.400 artikel.
Secara kebetulan, pada 2013, saya menulis sebuah artikel terkait dengan BIM untuk konferensi internasional di bidang sistem informasi. Tentu dalam perspektif agama, tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Ndilalah adalah kata yang digunakan oleh Kiai Sholeh Darat Allahu yarhamhu untuk menjelaskan konsep takdir. Inilah cerita tentang takdir saya yang “bersentuhan” dengan BIM, namun mohon dipahami bahwa saya bukan ahli BIM.
Seorang kawan seperjalanan dari Jerman saat itu mengambil studi doktoralnya di program yang sama dengan saya. Karena berkantor di sepanjang koridor yang sama, interaksi pun cukup intens. Tradisi yang dikembangkan di program doktoral yang saya ikut sekitar satu dekade lalu itu memungkinkan semua mahasiswa berbagi cerita tentang risetnya. Obrolan di meja kantin atau di dapur tidak jarang masih terkait dengan keilmuan dan riset. Suasana yang bagi saya ngangeni ini sangat perlu untuk dikembangkan di kampus kita.
Bahkan, kawan seperjalanan lain yang berbagi ruang kantor dengan saya sepakat melabeli ruang kantor sebagai “Socratic Corner”. Mungkin agak berlebihan, tetapi di ruang berukuran sekitar 2,5 x 5 meter persegi, kami berdua, mempertanyakan banyak hal dan berikhtiar mencari jawabnya. Kami berdua, bahkan saat ini, setelah sekitar satu dekade, masih menulis bersama, bersama pembimbing yang kami berdua panggil dengan “guru”.
Fragmen singkat ini paling tidak memberikan gambaran bagaimana takdir “menyentuhkan” saya dengan BIM. Suatu siang, ketika kami mengobrol di meja kantin, diskusi terkait kawan saya berlanjut. Saya pun akhirnya ikut berpikir menggunakan beragam pisau analisis yang kami pelajari bersama. Saya ambil tisu makan dan mencoretkan beberapa gambar dan ide di sana. Coretan di tisu makan itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal artikel kami berdua tentang BIM (Merschbrock & Wahid, 2013).
Dua bentuk teknologi
Selain beragam potensi baik yang ditawarkan oleh BIM, kami menemukan beberapa catatan. Semua berangkat dari pemahaman bahwa BIM, sebagai sebuah perangkat lunak, merupakan artefak sosial. Di sana, ada nilai dan intensi desainer yang disuntiknya ke dalamnya. Inilah yang oleh Orlikowski (2000) dilabeli dengan technological artefact, artefak teknologikal, yang sebetulnya per definisi ada aspek sosialnya di sana. Inilah yang sering juga kita dalam informasi tentang produk yang dikeluarkan oleh produsennya. Semua narasi didasarkan pada asumsi yang dibayangkan oleh desainernya ketika mendesain.
Pertanyaannya kemudian adalah: apakah teknologi tersebut, dalam praktik, digunakan persis seperti yang diinginkan oleh desainernya? Ternyata tidak selalu. Konteks tempat teknologi di gunakan bisa mempengaruhinya dengan beragam penyesuaian. Inilah yang disebut dengan technology-in-use. Secara umum, ada tiga kemungkian penggunaan: inersia (digunakan secara sangat terbatas), aplikasi (dengan beragam gradasi), dan perubahan (dengan improvisasi). Karenanya, jika lensa analisis ini digunakan, saran “seharusnya” atau “kudune” menunjukkan adanya pengabaian informasi kontekstual. Perlu dicatat di sini, bahwa penyesuaian tidak selalu buruk.
Tantangan
Lensa di atas kami gunakan. Kami menemukan bahwa tidak semua orang bahagia dengan penggunaan BIM. Ini ada tantangan. Ada beragam alasan. Dari sisi klien, mereka tidak mau tahu dengan apa bangunan mereka didesain dan dikonstruksi. Biaya menjadi isu sensitif bagi mereka. Pada kasus ekstrem, klien akan mengatakan, “Silakan pakai apa saja, yang penting bangunan jadi dan berkualitas baik”. Ini temuan dari konteks Norwegia. Cerita di Indonesia mungkin berbeda.
Dalam konteks yang lebih luas, sebetulnya penambahan biaya ini bisa dikompensasi dengan pengurangan biaya di sisi lain, misalnya ketika tahap prefabrikasi komponen atau pemeliharaan paskakonstruksi. Tentu, diskusi lanjutan perlu dilakukan, untuk memvalidasi dan menemukan strategi mitigasi.
Dari sisi aktor yang terlibat dalam rantai proses, aktor yang berada di mata rantai lebih akhir (seperti insinyur dan kontraktor), menjadi kehilangan kemerdekaannya, karena tergantung dengan aktor yang lebih awal (seperti arsitek). Mengapa ini terjadi?
Seringkali, proyek konstruksi bangunan melibatkan organisasi temporer dan karenanya membentuk sistem yang terhubung secara longgar (a loosely coupled system). Di dalam sistem yang longgar, elemen- elemennya saling mempengaruhi “secara tiba-tiba (daripada kontinu), kadang-kadang (daripada konstan), dapat diabaikan (daripada signifikan), tidak langsung (daripada langsung), dan memerlukan waktu (daripada seketika)” (Weick, 1982, h. 380)—dikutip dalam Orton dan Weick (1990).
Perspektif yang saya angkat ini tentu bukan untuk mendemotivasi kajian dan penggunaan BIM dalam praktik, tetapi melengkapi cerita bahwa dalam praktik ada fakta lain. Fakta tersebut adalah bahwa dunia nyata sangat mungkin tidak selalu sesederhana dengan model yang tertulis dalam buku. Betul, model tersebut berasal dari konseptualisasi dunia nyata. Tetapi, model mempunyai keterbatasan menangkap kompleksitas dunia nyata.
Karenanya, sebagai arsitek muda, Saudara dituntut terus untuk mengembangkan kemampuan adaptif dengan tidak lelah dan lengah dalam mengikuti perkembangan serta mengasah sensitivitas untuk meresponsnya.
Cerita singkat saya ini, paling tidak akan menenangkan Saudara ketika terjun di dunia nyata dan menemukan yang terjadi di lapangan tidak seperti yang dibayangkan.
Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk pencapaiannya. Semoga Allah senantiasa memudahkan langkah Saudara untuk berkontribusi di dunia nyata.
Referensi
Merschbrock, C., & Wahid, F. (2013). Actors’ Freedom of Enactment in A Loosely Coupled System: The Use of Building Information Modelling in Construction Projects. Proceedings of the 21st European Conference on Information Systems. Utrecht, Belanda, 5-8 Juni.
Orlikowski, W. J. (2000). Using technology and constituting structures: A practice lens for studying technology in organizations. Organization science, 11(4), 404-428.
Orton, D., & Weick, K. E. (1990). Loosely coupled systems: A reconceptualization. Academy of Management Review, 15(2), 203-223.
Weick, K. E. (1982). Management of organizational change among loosely coupled elements. Dalam P. S. Goodman (Ed.), Change in Organizations (pp. 375-408). San Francisco: Jossey-Bass.
Sari sambutan pada Sumpah Profesi Arsitek ke-6 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia, 11 Februari 2021